Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Ia dijuluki "Singa
Podium". Sebuah julukan yang sangat beralasan demikian karena kefasihan
kemampuan berorasi mampu mengobarkan semangat setiap orang yang mendengarnya.
Pemuda yang bertubuh pendek, gemuk dengan bahu yang agak bungkuk ini lahir di
Maninjau, Sumatera Barat, 1 Juli 1916.
Di usianya yang masih remaja, Isa
Anshari telah terjun ke dunia politik. Di kota kelahirannya itu ia sudah
menjadi kader PSII dan aktif sebagai mubaligh Muhammadiyah. Seperti halnya para
pemuda lainnya, Isa Anshari merantau ke pulau Jawa dan menetap di kota Bandung.
Di kota Kembang inilah ia bertemu dengan Soekarno. Selain dikenal sebagai
pemuda yang taat beragama, aktivitas politiknya makin menggebu-gebu. Di usianya
yang muda, ia telah memimpin beberapa organisasi, yaitu Ketua Persatuan
Muslimin Indonesia Bandung, Pemimpin Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia Bandung,
Sekretaris Partai Islam Indonesia Bandung serta ikut mendirikan Muhammadiyah
cabang Bandung.
Dalam pergerakan itu, ia bergabung dengan kelompok pemuda yang
disebut-sebut radikal, seperti M. Natsir. Aktivitasnya di Persis yang sempat
dipimpinnya beberapa periode seakan-akan semakin tersemai subur. Ia juga
menjadi anggota Indonesia Berparlemen, Sekretaris Umum Komite Pembela Islam dan
pemimpin redaksi majalah Daulah Islamyah.
Satu hal yang mencolok dari tokoh yang pernah menjadi pembantu tetap Pelita
Andalas dan Perbincangan ini adalah sikapnya yang tegas. Ia sering dinilai
tidak bersikap kompromistis. Tidak mengherankan kalau Herbert Feith menyebutnya
dengan figur politisi fundamentalis yang memiliki keyakinan teguh. Oleh karena
itu, pada zaman Jepang, ia telah mengomandoi gerakan Anti Fasis (Geraf), Biro
Penerangan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) Priangan, memimpin Angkatan Muda
Indonesia dan mengorganisasi Majelis Islam yang membentuk kader-kader Islam.
KH. Isa Anshari adalah salah satu pilar yang membangun Persis. Pada tahun 1935-1960 ia sempat menjadi ketua umumnya. Selama memimpin Persis, perannya sangat menonjol. Ia selalu memberikan arahan dan warna bagi organisasi itu. Pidatonya selalu bergelora membuat pandangan yang mendengarkan selalu tertuju kepadanya. Bukan sekali dua kali ia ditegur oleh aparat keamanan karena “garangnya” pidato yang ia sampaikan. Dalam hal tulis menulis analisisnya cukup tajam. Di antaranya hasil karyanya adalah Bahaya Merah Indonesia (1956), Barat dan Timur (1948), Islam Menentang Komunisme (1956), Tuntunan Puasa (1940), Umat Islam Menghadapi Pemilihan Umum (1953), dan lain-lain.
KH. Isa Anshari adalah salah satu pilar yang membangun Persis. Pada tahun 1935-1960 ia sempat menjadi ketua umumnya. Selama memimpin Persis, perannya sangat menonjol. Ia selalu memberikan arahan dan warna bagi organisasi itu. Pidatonya selalu bergelora membuat pandangan yang mendengarkan selalu tertuju kepadanya. Bukan sekali dua kali ia ditegur oleh aparat keamanan karena “garangnya” pidato yang ia sampaikan. Dalam hal tulis menulis analisisnya cukup tajam. Di antaranya hasil karyanya adalah Bahaya Merah Indonesia (1956), Barat dan Timur (1948), Islam Menentang Komunisme (1956), Tuntunan Puasa (1940), Umat Islam Menghadapi Pemilihan Umum (1953), dan lain-lain.
Dalam kancah politik, Masyumi menjadi ladangnya. Bagi para ulama kritis ,
berpolitik merupakan bagian tuntutan agama. Mereka selalu meneriakkan kebenaran
walaupun pahit dirasakan. Bagi mereka, berpolitik adalah alat untuk mencapai
cita-cita umat Islam. Di bawah bendera Masyumi, ia semakin memperkuat posisinya
sebagai politisi. Tahun 1949, ia memimpin sebuah kongres Gerakan Muslimin
Indonesia. Keterlibatan KH. Isa Anshari dalam pentas politik membuat dia harus
menghadapi risiko yang tidak kecil. Ketika terjadi razia terhadap orang-orang
yang diisukan ingin membunuh presiden dan wakil presiden pada bulan Agustus
1951 oleh PM Sukiman Wirdjosandjoyo, KH. Isa Anshari ditangkap. Namun beberapa
saat kemudian ia dilepaskan dan dinyatakan tidak bersalah. Sepak terjangnya di
bidang politik sempat menyedot perhatian massa. Di mana ia memberikan pidato,
pasti dipenuhi massa yang ingin mendengarkan suaranya. Biasanya massa yang
hadir bukan hanya partisipan Masyumi, tapi juga masyarakat umum. Pada masa
Soekarno, Masyumi menjadi salah satu lawan politik pemerintah yang terus
digencet. Saat tragedi Permesta meledak (1958), banyak tokoh-tokoh yang
diciduk. Termasuk KH. Isa Anshariyang saat itu berada di Madiun bersama
Prawotomangkusasmito, M. Roem, M. Yunan Nasution dan EZ.Muttaqien serta beberapa
tokoh lainnya.
Pada masa demokrasi parlementer, muncul beberapa konflik antar kelompok. Ada
yang menginginkan Indonesia berideologi sekuler-nasionalis dengan dasar negara
Pancasila. Di sisi lain ada yang menginginkan terbentuknya negara Islam, atau
paling tidak negara yang berideologikan hukum-hukum Islam. Di tubuh Masyumi,
cita-cita untuk membangun Negara Islam sangat subur. KH. Isa Anshari tetap
menjadi juru bicara yang ulet bagi Masyumi. Namun sayang, keinginan mereka
untuk mewujudkan Negara Islam gagal.
Ketidakberhasilan ini disebabkan beberapa hal, di antaranya munculnya polarisasi mengenai bentuk dan konsep negara Islam itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa aturan dan ajaran Islam harus terwujud lebih dahulu yang nantinya dengan sendiri akan terbentuk negara Islam. KH. Isa Anshari termasuk dalam kelompok ini.
Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa negara Islam harus di bentuk dahulu, baru kemudian diberi corak dan warna Islam. Di Luar itu, muncul kelompok yang lebih keras lagi. Maka meledaklah peristiwa DII/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh serta gerakan Ibnu Hajar di Kalimantan. Gerakan-gerakan itu dapat dipadamkan oleh Soekarno.
Pada era berikutnya, KH. Isa Anshari terus berkecimpung dalam membangun umat. Di usianya yang kian lanjut, ia lebih banyak mengkader generasi muda. Ia tidak lagi menjadi pemimpin di organisasi yang membesarkannya, tapi cukup sebagai penasehat. Begitulah contoh seorang pemimpin yang mengetahui keadaannya. Kendati demikian ia tetap saja mendapat halangan. Ia sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh Soekarno. Dari balik terali besi ia masih sempat mengirimkan tulisan-tulisan ke para sahabatnya. KH. Isa Anshari tidak mengenal lelah. Menjelang akhir akhir hayatnya ia tetap bekerja untuk umatnya. Pada 11 Desember 1969 atau sehari setelah Hari Raya Idul Fitri 1369 H ia meninggal dunia, di RS Muhammadiyah Bandung. Sehari sebelumnya ia menyatakan bersedia memberikan khutbah Idul Fitri, namun takdir berkehendak lain. Naskah khutbah itu sempat diketiknya dua halaman, dan tak sempat terbacakan.
Ketidakberhasilan ini disebabkan beberapa hal, di antaranya munculnya polarisasi mengenai bentuk dan konsep negara Islam itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa aturan dan ajaran Islam harus terwujud lebih dahulu yang nantinya dengan sendiri akan terbentuk negara Islam. KH. Isa Anshari termasuk dalam kelompok ini.
Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa negara Islam harus di bentuk dahulu, baru kemudian diberi corak dan warna Islam. Di Luar itu, muncul kelompok yang lebih keras lagi. Maka meledaklah peristiwa DII/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh serta gerakan Ibnu Hajar di Kalimantan. Gerakan-gerakan itu dapat dipadamkan oleh Soekarno.
Pada era berikutnya, KH. Isa Anshari terus berkecimpung dalam membangun umat. Di usianya yang kian lanjut, ia lebih banyak mengkader generasi muda. Ia tidak lagi menjadi pemimpin di organisasi yang membesarkannya, tapi cukup sebagai penasehat. Begitulah contoh seorang pemimpin yang mengetahui keadaannya. Kendati demikian ia tetap saja mendapat halangan. Ia sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh Soekarno. Dari balik terali besi ia masih sempat mengirimkan tulisan-tulisan ke para sahabatnya. KH. Isa Anshari tidak mengenal lelah. Menjelang akhir akhir hayatnya ia tetap bekerja untuk umatnya. Pada 11 Desember 1969 atau sehari setelah Hari Raya Idul Fitri 1369 H ia meninggal dunia, di RS Muhammadiyah Bandung. Sehari sebelumnya ia menyatakan bersedia memberikan khutbah Idul Fitri, namun takdir berkehendak lain. Naskah khutbah itu sempat diketiknya dua halaman, dan tak sempat terbacakan.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !