Menurut Syafi’iyah,di antara hal-hal yang membatalkan puasa dan wajib
qadha atasnya adalah sebagai berikut: (1) Memasukkan sesuatu ke dalam
rongga perut, walaupun jumlahnya sedikit atau kecil, seperti biji-
bijian. Termasuk juga memasukkan sesuatu ke dalam otak, usus, kandung
kemih, dan menyuntikkan sesuatu melalui lubang zakar atau puting susu,
dan yang semisalnya. (2) Menelan dahak yang bisa dikeluarkan. Adapun
dahak yang tidak sengaja tertelan, tidak membatalkan puasa. (3)
Memasukkan air kumur atau air istinsyaq (air yang dimasukkan ke dalam
lubang hidung) ke dalam rongga perut secara berlebih-lebihan. (4) Muntah
dengan sengaja. (5) Istimna’, yaitu mengeluarkan air mani di luar
persetubuhan, baik yang diharamkan yaitu dengan tangannya sendiri,
ataupun yang dihalalkan seperti dengan tangan istrinya. Termasuk juga
keluar mani karena sentuhan atau ciuman atau yang semisalnya tanpa
pembatas. Sedangkan keluar mani karena khayalan, pandangan dengan
syahwat, atau yang semisalnya tidak membatalkan puasa. (6) Makan di
siang hari karena keliru, mengira sudah waktunya berbuka atau masih
belum waktunya berpuasa (waktu fajar), padahal fajar telah terbit dengan
jelas atau matahari belum terbenam. Namun jika ia berbuka di akhir
siang karena menduga sudah tenggelam matahari, atau makan di saat fajar
karena menduga masih belum terbit fajar, disertai kemungkinan dugaannya
tersebut benar, maka tidak apa-apa. (7) Batal puasa karena ia tiba-tiba
gila, atau murtad, atau tiba-tiba haidh dan nifas bagi perempuan.
Menurut kalangan Syafi’iyah, seseorang yang batal puasanya karena
sebab-sebab di atas (kecuali poin g), setelahnya tetap wajib menahan
diri dari makan, minum, jima’ dan yang semisalnya sampai tenggelam
matahari. Sedangkan hal yang membatalkan puasa dan wajib qadha serta
kaffarah atasnya, menurut Syafi’iyah, hanya satu yaitu jima’
(persetubuhan). Selain wajib qadha serta kaffarah, pelakunya juga
dikenai ta’zir dan setelahnya tetap wajib menahan diri dari makan,
minum, jima’ dan yang semisalnya sampai tenggelam matahari. Hal ini jika
pelaku jima’ tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (8) Ia
sudah berniat puasa di malam harinya. (9) Dilakukan secara sengaja.
Orang yang lupa tidak diwajibkan kaffarah. (10) Pilihan sendiri. Jika ia
dipaksa, ia tidak dibebani kaffarah. (11) Mengetahui keharaman jima’ di
siang hari puasa. Jika ia belum tahu, ia tidak diwajibkan kaffarah.
(12) Jima’ tersebut dilakukan di siang hari bulan Ramadhan. Tidak ada
kaffarah bagi yang melakukan jima’ saat puasa nadzar, qadha atau puasa
sunnah. (13) Puasanya memang batal karena jima’ bukan karena yang lain.
Tidak ada kaffarah bagi yang batal puasanya karena makan atau minum,
kemudian ia melakukan jima’. (14) Orang tersebut berdosa karena
melakukan jima’. Tidak ada kaffarah atas anak kecil, dan orang yang
sedang safar atau sakit walaupun saat itu ia tetap berpuasa. (15) Ia
yakin akan sahnya puasanya sebelumnya. Tidak ada kaffarah jika
sebelumnya ia sudah menganggap puasanya batal. Misalnya sebelumnya ia
makan karena lupa, kemudian menganggap puasanya batal karena makannya
tersebut. (16) Ia tidak keliru menganggap sedang ber-jima’ di luar waktu
puasa. Misalnya ia ber-jima’ di waktu terbit fajar, namun ia menduga
belum masuk waktu fajar, orang ini tidak diwajibkan kaffarah. (17) Ia
tidak gila atau mati setelah melakukan jima’ di siang hari tersebut.
(18) Persenggamaan tersebut dinisbahkan kepadanya. Jika si wanita yang
memasukkan kepala zakarnya ke farji si wanita, maka tidak ada kaffarah.
(19) Jima’ dilakukan dengan memasukkan kepala zakar atau bagian zakar
yang mampu dimasukkan. Jika tidak sampai masuk dan tidak ada upaya untuk
memasukkannya, maka tidak ada kaffarah atasnya. (20) Jima’-nya
dilakukan pada farji. Tidak ada kaffarah bagi yang tidak melakukannya
pada farji. Menyetubuhi wanita pada dubur, atau liwath dianggap sama
dengan jima’ pada farji. (21) Hanya berlaku bagi yang menyetubuhi
(pria), bukan bagi yang disetubuhi (wanita). Tidak ada kaffarah bagi
wanita, ia hanya wajib qadha. Ini berbeda dengan pendapat jumhur, yang
menyatakan pria dan wanita sama-sama wajib membayar kaffarah selama
mereka melakukannya dengan sengaja, tanpa dipaksa. Wallahu ‘Alam
Bisshowab
Home »
Artikel Guru
» Hal Hal Yang Membatalkan Puasa Pada Madzhab Imam Syafi'i
Hal Hal Yang Membatalkan Puasa Pada Madzhab Imam Syafi'i
Written By Unknown on Rabu, 10 Juli 2013 | 09.58
Terima Kasih Telah Membaca Artikel Hal Hal Yang Membatalkan Puasa Pada Madzhab Imam Syafi'i.
Silahkan Klik Tombol Like Atau Share Untuk Berbagi Artikel Ini Atau Silahkan Di Copy Link
https://mtsm-sungaibatang.blogspot.com/2013/07/hal-hal-yang-membatalkan-puasa-pada.html
Terima Kasih.
Label:
Artikel Guru
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !