Abstrak
Ilmu
sebagaimana akan kita uraikan nanti, merupakan system pemaknaan akan
realitas dan kebenaran, bersumber pada wahyu yang didukung oleh rasio
dan intuisi. Dengan proses nadzar dan fikr, rasio akan dapat
berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi,
membuat analogi, membuat keputusan, serta menarik kesimpulan. Dalam
worldview Islam, ilmu berkaitan erat dengan iman, ‘aql, qalb, dan
taqwah. Tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara
sistematis, tetapi ilmu juga merupakan suatu metodologi. Dimana
metodologi yang haq tentu tidak akan bertentangan dengan yang haq. Namun
seiring berjalannya waktu, hegemoni dan kolonialisme menyebabkan umat
Islam cenderung meniru dan mengadopsi konsep ilmu pengetahuan Barat
secara buta. Sikap ini tentu saja menyebabkan kebingungan (confusition)
yang berlanjut pada hilangnya identitas. Maka, upaya menggali dan
mengembangkan konsep ilmu dalam al-Qur`an dapat dijadikan landasan bagi
upaya merumuskan kerangka integrasi ilmu pengetahuan yang genuine.
A. Prolog
Ilmu
dan derivasinya muncul berulang kali dalam al-Quran dan menempati
posisi kedua setelah kata tauhid. Dalam shahih Bukhari, bab ilmu (kitab al-`ilm) disandingkan dengan bab iman (Kitab al-iman). Hal ini menunjukkan betapa konsep terpenting dan komprehensif yang terkandung dalam al-Qur`an dan as-Sunnah adalah ilmu (`ilm)
setelah iman. Signifikansi ini dapat dilihat dari fakta lima ayat
pertama yang diturunkan dalam al-Qur`an, serta puluhan hadith nabi yang
menegaskan wajibnya mencari ilmu. Senada dengan hal ini, Franz
Rosental mengungkapkan bahwa di dalam Islam ilmu menempati posisi yang
tidak ada padanannya dalam peradaban atau agama lain.
Namun
seiring berjalannya waktu, hegemoni dan kolonialisme menyebabkan umat
Islam cenderung meniru dan mengadopsi konsep ilmu pengetahuan Barat
secara buta. Kecenderungan sikap imitative ini menyebabkan kebingungan (confusition)
yang berlanjut pada hilangnya identitas. Dengan demikian, upaya
membangkitkan kembali konsep ilmu dalam Islam, urgen dan krusial. Tentu
saja dengan menggali dan mengembangkan konsep ilmu dalam al-Qur`an dapat
dijadikan landasan bagi upaya merumuskan kerangka integrasi ilmu
pengetahuan yang genuine.
Berangkat dari pemikiran ini, makalah
ini mencoba mendeskripsikan konsep ilmu dalam Islam sesuai dengan
al-Qur`an dan as-Sunnah. Berikut akan dikemukakan defenisi ilmu, ilmu
dan kaitannya dengan pandangan hidup (worldview) , sumber, metode, klasifikasi dan tujuan memperoleh ilmu dalam Islam.
B. Defenisi Ilmu
Secara
etimologis, kata `ilmu berasal dari bahasa Arab al-`ilm yang berarti
mengetahui hakekat sesuatu dengan sebenar-benarnya. Badr al-Din
al-‘Aini mendefinisikan, bahwa ilmu secara bahasa merupakan bentuk
masdar dari pecahan kata kerja ‘alima yang berarti tahu; meskipun
demikian, tambahnya, kata ilmu berbeda dengan kata ma’rifah. Kata
ma’rifah memiliki makna yang lebih sempit dan spesifik, sementara ilmu
mempunyai makna yang lebih umum.
Tidak sedikit upaya yang telah
dilakukan para pemikir Muslim terdahulu untuk mendefinisikan kata ilmu.
berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli teolog dan ahli
hukum, filsuf dan linguists. Yang pertama menurut al-Raghip
al-Ishfahani (443/1060). Dalam Mufradat Alfaz al-Qur’annya, ilmu didefinisikan sebagai "Persepsi akan realitas sesuatu" (al-ilmu idrak al-shay’ bi-haqiqatihi)
Ini berarti bahwa hanya memahami kualitas (misalnya bentuk, ukuran,
berat, volume, warna, dan properti lainnya) dari suatu hal bukan
merupakan ilmu. Definisi ini didasari pandangan filosofis bahwa setiap
substansi terdiri dari esensi dan eksistensi. Esensi adalah sesuatu yang
menjadikan sesuatu itu, sesuatu itu akan tetap dan sama sebelum,
selama, maupun setelah perubahan. Artinya, ilmu adalah semua yang
berkenaan dengan realitas abadi itu.
Definisi kedua diajukan
oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 505/1111) yang menggambarkan
ilmu sebagai “pengetahuan akan sesuatu sebagaimana adanya” (ma‘rifat al-shay’ ‘ala mahuwa bihi)
: Pada definisi ini, untuk mengetahui sesuatu adalah dengan mengenali
sesuatu sebagaimana ia. Artinya, ilmu adalah pengakuan, merupakan
keadaan pikiran-yaitu, suatu kondisi dimana sebuah objek tidak lagi
asing bagi seseorang sejak objek itu diakui oleh pikiran seseorang.
Pemaknaan ini tentu tidak seperti istilah idrak
(digunakan dalam definisi al-Ishfahani) yang tidak hanya menyiratkan
aktivitas olah fikir atau perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, tetapi
juga menunjukkan bahwa pengetahuan datang ke dalam pikiran seseorang
dari luar, dalam definisi Imam al-Ghazali istilah ma'rifah menyiratkan
fakta bahwa ilmu selalu merupakan jenis penemuan makna pada diri subjek
akan suatu objek. Pada pemaknaan ini; firasat, dugaan, ilusi,
halusinasi, mitos, dan sejenisnya tidak bisa dikatakan sebagai ilmu.
Definisi
lain ditawarkan oleh pemikir yang dikenal sebagai ahli logika Atsir
al-Din al-Abhari (d. 663/1264). Ilmu, ia tegaskan adalah sampainya
gambar maupun abstraksi dari suatu hal dalam akal subjek (حصول صورة
الشيئ في العقل) . Konon definisi ini berasal dari Ibnu Sina (w.
428/1037) pemaknaan ini menjelaskan bahwa upaya mengetahui suatu objek
adalah membentuk ide tentang objek tersebut, untuk memiliki gambar hal
ini diwakili dalam pikiran. Dengan kata lain, upaya mengetahui adalah
konseptualisasi. Pengetahuan adalah representasi atau konsepsi dari hal
yang dikenal.
Al-Sharif Al-Jurjani (w. 816/1413) dalam
at-Ta’rifatnya mendefinisikan ilmu sebagai sampainya pikiran pada makna
dari suatu objek. Definisi al-Jurjani dan definisi yang dikemukakan
Ibnu Sina dan al-Abhari selanjutnya dipadukan oleh Profesor Syed
Muhammad Naquib al-Attas dalam monografnya yang berjudul The Concept of
Education in Islam. Menurut al-Attas, definisi terbaik atas ilmu adalah
'sampainya makna dalam jiwa serta sampainya jiwa pada makna' العلم هو
حصول معني الشيئ في النفس و حصول النفس إلي معني الشيئ)) Satu hal yang
jelas dalam definisi ini; ilmu adalah tentang makna. Objek apapun,
fakta maupun suatu peristiwa dikatakan diketahui seseorang jika bermakna
baginya. Dengan demikian, dalam proses kognisi, pikiran tidak sekedar
penerima pasif, tetapi ia aktif dalam arti mempersiapkan diri untuk
menerima apa yang ia ingin terima (mengolah dan menyeleksi makna yang
diterima secara sadar).
Dari sekian defenisi yang dikemukan, tampak
bahwa sebenarnya untuk mendefinisikan ilmu bukanlah hal yang mudah.
Definisi ilmu telah jadi bahan perdebatan yang melibatkan tidak sedikit
dari pemikir Muslim. Namun fakta tersebut mengukuhkan betapa dalam
peradaban Islam, ilmu mendapat perhatian yang tiada bandingannya dalam
peradaban lain.
C. Ilmu dan Pandangan Hidup (worldview)
Setiap
masyarakat dalam kehidupannya senantiasa dipenuhi oleh nilai-nilai,
aturan-aturan, dan sistem kepercayaan yang mampu membentuk pola berfikir
dan berperilaku para anggotanya. Dalam kehidupan sosial, biasanya
seperangkat nilai, aturan, dan kepercayaan itu akan teralirkan dari satu
generasi ke generasi melalui suatu proses sosialisasi yang pada
akhirnya membentuk suatu tradisi di tengah masyarakat. Itu sebabnya,
sebagai suatu konsep sosio-logis, tradisi biasa diartikan meliputi
worldview yang terkait dengan nilai-nilai, aturan-aturan, sistem
kepercayaan, dan pola berfikir masyarakat dalam keseluruhan tata cara
hidupnya.
Masyarakat muslim adalah suatu kelompok masyarakat
yang dikenal memiliki akar-akar tradisi yang kokoh, karena Islam yang
mereka peluk menjadi bagian dari mata rantai sistem kepercayaan
universal yang telah ada -mungkin- ratusan abad sebelumnya, sejak masa
Nabi Adam. Pandangan ini didasarkan pada penegasan berbagai surat di
dalam al-Qur’an, bahwa para nabi dan rasul terdahulu mewariskan paham
Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid) kepada umatnya masing-masing
sebagaimana Nabi Muhammad mengajarkannya pada umat Islam. Kokohnya akar
tradisi ini juga dikarenakan al-Qur’an secara tegas memerintahkan
orang-orang Islam agar menjadikan tawhid sebagai titik temu ‘kalimah
sawa’ dan pandangan hidup bersama di antara sesama agama samawi. Dengan
kata lain, Tuhan menegaskan kepada umat Islam agar terus menghidupkan
tauhid itu sebagai akar-akar tradisinya, yang menjadi sumber nilai,
aturan, norma, dan landasan kepercayaan hidup di berbagai fase sejarah
dan dalam sistuasi sosio-kultural apapun.
Berangkat dari makna ilmu
sebagaimana didefinisikan oleh al-Attas, jelas bahwa dalam worldview
Islam ilmu berkaitan erat dengan iman, ‘aql, qalb, dan taqwah. Ilmu
tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis,
tetapi juga merupakan suatu metodologi. Dimana metodologi yang haq
tentu tidak akan bertentangan dengan yang haq.
D. Sumber Ilmu dan Metode Memperoleh Ilmu
Sumber
ilmu adalah bahasan fundamental dalam bahasan epistemology. Dari mana
kita mendapatkan pengetahuan? Adakah suatu sumber ilmu? Dalam hal ini,
tidak sedikit ditemukan ayat-ayat dalam al-Quran yang mengisyaratkan
bahwa realitas (tampak maupun tidak ) bisa menjadi sumber ilmu. Walau
dalam kedudukannya, realitas sebagai sumber ilmu berada setelah Allah
dan wahyu. Dalam surat al-ghasiyah misalnya, terdapat isyarat bahwa
realitas fisik, jika diteliti akan menyampaikan informasi yang bisa
dikembangkan jadi sebuah ilmu bagi penelitinya. Atau dengan kata lain,
ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa dalam proses pencapaian ilmu
dibutuhkan proses penalaran yang melibatkan rasio. Senada dengan hal
ini, Imam al-Bazdawiy menyatakan (cara manusia mengetahui sesuatu itu)
ada tiga; Perspektif indera, reportase (khabar) dan Pembuktian
(akal/rasio).
Al-Attas menyatakan ilmu dapat diperoleh melalui empat jalan. (1), Panca indera yang sehat (sound senses). Panca indera kemudian dibagi menjadi dua, yakni eksternal dan internal. (2), Khabar yang benar dan otoritatif (authoritative true reports). Di sini, khabar tersebut di bagi menjadi dua, yakni mutlak (absolute authority)
yang meliputi otoritas ketuhanan yang berasal dari Al-Qur’an dan
otoritas kenabian yang berasal dari Rasulullah. Sedangkan yang nisbi (relative authority) meliputi kesepakatan ulama dan khabar dari orang terpercaya secara umum. (3) Akal yang sehat (sound reason). (4), Ilham (intuition).
Dengan
demikian ilmu dari Allah yang sampai pada manusia melalui empat jalan
di atas, ditanggapi oleh akal sebagai realitas ruhani dalam kalbu
manusia sekaligus yang mengendalikan proses kognitif manusia. Melalui
kalbu, jiwa rasional (an-nafsu an-natiqah) bisa membedakan antara kebenaran (al-haq) dari kesalahan (al-bathil). Akal dalam arti kata ratio atau reason tidak berlawanan dengan intuisi (wijdan). Artinya, dalam hal ini, akal dan intuisi saling berkaitan dan bersatu melalui intelek (intellect).
E. Klasifikasi Ilmu
Berangkat
dari keterbatasan potensi yang dimiliki rasio. Dalam proses
pencariannya dibutuhkan pembatasan-pembatasan yang berkaitan dengan ilmu
itu sendiri. Pembatasan-pembatasan ini kita sebut sebagai klasifikasi
ilmu. Pengklasifikasin ini bisa berdasarkan sifat absoluditasnya ilmu,
objek yang diteliti, metode ilmu itu dihasilkan ataupun subjek dari
objek ilmu itu sendiri. Menurut Imam al-Baqillani ilmu makhluk (yakni
pengetahuan manusia) itu ada dua jenis; Pengetahuan yang bersifat pasti
dan pengetahuan yang diperoleh melalui nalar akal. Pengetahuan yang
bersifat pasti itu adalah pengetahuan inderawi, pengetahuan manusia
tentang dirinya sendiri dan pengetahuan khabar/laporan mutawatir lebih
lanjut Imam Ibnu Jawziy mengklasifikasikan ilmu dalam tiga macam. Ilmu
pasti yang diperoleh secara a prioriy atau intuitif maupun secara
diskursif, Ilmu yang didapat melalui panca indera, dan Ilmu yang
diperoleh lewat berita, secara mutawatir maupun perorangan.
Abu
Hamid Al-Ghazali membagi ilmu menjadi empat sistem klasifikasi yang
berbeda: pertama, berdasarkan pembedaan antara intelek teoretis dan
intelek praktis, yang umumnya diterapkan pada ilmu-ilmu agama, bukan
filosofis. Kedua, pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan huduri dan
pengetahuan husuli yang didasarkan atas perbedaan tentang cara-cara
mengetahui. Pengetahuan huduri terbebas dari kesalahan dan keraguan,
yang memberikan kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran
spiritual. Ketiga, pembagian atas ilmu-ilmu agama (syari`ah) dan
intelektual (`aqli,yah, gayr al-syari`ah),
yang didasarkan atas pembedaan sumber wahyu dan sumber akal. Keempat,
pembagian ilmu-¬ilmu menjadi fardlu ain dan fardlu kifayah, didasarkan
atas perbedaan hukum keharusan dalam pencarian ilmu.
“Ilmu nonagama” masih bisa diklasifikasikan kepada ilmu yang terpuji (mahmud), dibolehkan (mubah) dan tercela (madzmum).
Sebagai contoh: ilmu sejarah bisa dikategorikan ilmu mubah; sihir
dikategorikan “ilmu” tercela. Ilmu-ilmu terpuji, yang bermanfaat dalam
kehidupan sehari-hari, bisa dikategorikan wajib kifayah. Misalnya; Ilmu
tentang obat, matematika, politik dan kerajinan-kerajin¬an yang
diperlukan oleh masyarakat.
Al-Ghazali mengklasifikasikan "ilmu agama" dalam dua kelompok: terpuji (mahmud) dan tercela (madzmum).
Yang dimaksud dengan "ilmu agama tercela" adalah ilmu yang tampaknya
diarahkan kepada syariah, tapi nyatanya menyimpang dari
ajaran-ajarannya. Sedangkan "ilmu agama terpuji" dan dikategorikan wajib
kifayah, dibagi dalam empat kelompok: pertama; Ilmu Ushul (dasar-dasar;
yaitu: Al-Quran, Al-Sunnah, ijma' atau konsensus dan tradisi
[kebiasaan] para sahabat Nabi). Kedua; Furu`(masalah-masalah sekunder
atau cabang; yaitu: masalah-masalah fiqih, etika, dan pengalaman mistik.
Ketiga; Studi-studi pengantar (qaidah, sharaf, bahasa Arab, dan
lain¬-lain). Keempat; Studi-studi pelengkap (membaca dan menerjemahkan
Al-¬Quran, mempelajari prinsip-prinsip fiqih, `ilm al--rijal atau
penyelidikan biografi para perawi hadis-hadis, dan lain-¬lain). Dalam
hal ini, Al-Ghazali memandang ilmu yang tercakup di dalam empat
ke-lompok di atas sebagai wajib kifayah.
Konsep klasifikasi ilmu
yang telah dikemukakan baik oleh Imam al-Baqillani, Ibnu Jawziy maupun
al-Ghazali diatas dapat dinilai sebagai pendapat yang saling menguatkan
dan melengkapi. Kesemua pandangan tersebut sangat erat kaitannya dengan
pandangan hidup Islam (worldview Islam),
dan sejalan dengan epistemologi Islam. Ini tentu secara tegas berbeda
dengan Barat, yang tidak melibatkan Tuhan dalam kelahiran, proses dan
arah pengembangan ilmunya. Ilmu yang dikonsepsikan insan bertauhidy
tentunya akan melahirkan hasil maupun karya yang sejalan dengan
fitrahnya sebagai manusia. Sebagai contoh; peneliti biologi yang
bertauhidi tentunya tidak akan membenarkan teori evolusi sebagaimana
dirumuskan oleh Darwin. Dan satu hal terpenting, berbeda dengan
peradaban lain, dalam Islam memperoleh Ilmu adalah upaya sesempurna
mungkin untuk memanfaatkan potensi diri. Hal tersebut dilakukan demi
mendapatkan derajat yang tinggi dihadapan Sang Khaliq.
F. Epilog
Dari
uraian diatas, dapat kita simpulkan betapa Islam sebagai peradaban
sangat menaruh perhatian besar pada ilmu. Baik pemaknaan, sumber dan
klasifikasinya diwarnai oleh pandangan akan hadirnya Tuhan dalam setiap
proses kehidupan manusia. Ilmu sebagaimana diuraikan diatas merupakan
system pemaknaan akan realitas dan kebenaran, bersumber pada wahyu yang
didukung oleh rasio dan intuisi. Olah rasio tersebut meliputi nalar (nadzar) dan alur fikir (fikr).
Dengan proses tersebut akal akan dapat berartikulasi, menyusun
proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, membuat analogi, membuat
keputusan, serta menarik kesimpulan. Sebagai instrumen penuntun
manusia, ilmu memungkinkan manusia untuk mengetahui (‘ilm), mengenal (ma‘rifah), memilih (ikhtiyar), memilah (tafriq), membedakan (tamyiz), menilai dan menentukan (hukm) atas segala sesuatu. Wa Allah al-Hadi Ila al-Shawab.
Daftar Pustaka
A. Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Islamabad, 1970)
Abd al-Rahman Badawi, Mu’allafat al-Ghazali (Kuwait: Wakalat al-Matbu‘at, 1977).
Abdul
Hamid Rajih al-Kurdi, Nazariah al-ma`rifah bain al-Qur`an wa
al-Falsafah, Riyadh, Makrabah Muayyad wa al-Ma`had al-`Ali li al-Fikr
al-Islami, al-Mamlakah al-`Arabiyah al-Su`udiyah
Abi ‘Abdillah al-Bukhari. Sahih Bukhari. Hadits ke 77
Al-Isfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, ed. Safwan ‘A. Dawudi (Damascus: Dar al-Qalam, 1412/1992)
Dr Syamsuddin Arif, Defining and Mapping Knowledge In Islam, dalam makalah yang disampaikan pada seminar Pascasarjana di ISID
Fazlurrahman, Major Thems of The Qur`an, Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994,
Franz Rosental, Knowledge Triumphat: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, Leiden: E.J.Brill, 1970
Imam
al-Ghazali, Freedom and Fulfillment: An Annotated Translation of
al-Munqidz min al-dhalal and Other Relevant Works of al-Ghazali, terj.
R.J. McCarthy, Boston, 1980
Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1420/1999), Jilid I
Imam Fakhruddin Ar-Razi, Muhashal Al-Afkar Al-Mutaqaddimin wa Al-Mutaakhirin, Al-Mathba’ah Al-Husayniyyah, Kairo
Majma`
al-Lughah al-Arabiyah, Mu`jam al-Wasith, Istanbul: Dar al-Da`wah, 1990
Badr al-Dîn al-‘Aini. ‘Umdah al-Qârî. Juz 2, (Bairut: Dar al-Fikr). Tth.
Maulana Muhammad Ali, A Manual of Hadith, London: Curzon, 1977
Mehdi Goslani, The Holy Qur`an and Science of Nature, Teheran; Islamic Propagation organization, 1984
Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, cetakan pertama, Gema Insani Press, Jakarta: 2008
Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, A Commentary on The Hujjat Al-Siddiq of Nur
Al-Din Al-Raniri, The Ministry of Culture, Malaysia: 1986, h. 31.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995)
Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for An Islamic Philosophy of Education, ISTAC, Kuala Lumpur:
1991, h. 14.
Wan Muhammad Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam: its Implications for Education In Developing Country
Yasien Mohammed, The Path to Virtue (Kuala Lumpur: ISTAC, 2006).
Home »
Artikel Guru
» Konsep Ilmu dalam Islam
Konsep Ilmu dalam Islam
Written By Unknown on Rabu, 03 Juli 2013 | 10.11
Terima Kasih Telah Membaca Artikel Konsep Ilmu dalam Islam.
Silahkan Klik Tombol Like Atau Share Untuk Berbagi Artikel Ini Atau Silahkan Di Copy Link
https://mtsm-sungaibatang.blogspot.com/2013/07/konsep-ilma-dalam-islam.html
Terima Kasih.
Label:
Artikel Guru
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !