Siapa yang pernah menyinggahi Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat,
tentu tak pernah melupakan panorama indah danau berair biru itu.
Pemandangan Danau Maninjau dapat disaksikan dari jalan Kelok Ampek
Puluah Ampek. Bak lukisan, keindahan alam ciptaan Tuhan itu memberi
banyak inspirasi bagi orang-orang yang pernah lahir dan besar di negeri
itu.
Indah dan menakjubkan! Itulah kesan pertama saya ketika berkesempatan
menyinggahi Maninjau dalam perjalanan menuju Tanah Sirah, Nagari Sungai
Batang, kampung kelahiran ulama besar Ranah Minang, Buya Hamka. Jalan
berkelok-kelok, bukit yang menghijau, hamparan sawah dengan padi yang
menguning, pedati dengan anak-anak yang tergelak gembira di atasnya,
menciptakan senandung alam yang sangat melankolis. Sungguh, Maninjau
sebuah negeri wisata yang menarik minat banyak wisatawan, baik domestik
maupun mancanegara untuk datang ke sana.
Dalam buku Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, ulama pejuang itu
menulis; “Saya sangat terkesan pada desa kelahiran saya. Saya sudah
sering keliling dunia, tapi rasanya tidak ada pemandangan yang seindah
Maninjau. Desa itu pun mempunyai arti penting bagi hidup saya. Begitu
indahnya seakan-akan mengundang kita untuk melihat alam yang ada dibalik
pemandangan itu…”
Keindahan alam Maninjau itu pula, sempat menggerakkan tangan mantan
Presiden RI Ir. Soekarno, menulis sebait pantun, “Jika adik memakan
pinang, makanlah dengan sirih hijau, jika adik datang ke Minang, jangan
lupa singgah ke Maninjau…”
Pantun Soekarno itu terketik rapi pada selembar kertas putih berbingkai
yang digantung pada dinding ruang tengah Museum Rumah Kelahiran Buya
Hamka di Kampung Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang, Maninjau. Tulisan
itu berjudul “Kenang-kenangan Hidup”. Bung Karno berucap, “Maninjau yang
indah permai”. Dengan danaunya yang dahsyat, dengan sawahnya bersusun,
dengan jalannya berkelok, terlukis dalam sanubari Bung Karno sebagai
negerinya sendiri.
Nagari Sungai Batang memang terletak di tepi Danau Maninjau. Danau yang
dikelilingi bukit Barisan itu, laksana telaga biru yang sangat indah
dipandang mata. Dari jalan Kelok 44 (Minang: Kelok Ampek Puluah Ampek),
secara utuh panorama keindahan alam Danau Maninjau bak lukisan itu dapat
dinikmati. Tak ada yang tak takjub menyaksikan ke-Mahabesaran Tuhan
itu.
Meski kampung itu bernama Sungai Batang, namun Batang bukanlah nama
sebuah sungai. Tak ada sungai besar di Maninjau. Danau Maninjau, konon
menurut tetua-tetua setempat, dibentuk oleh letusan Gunung Api Sitinjau
yang berada di tengah-tengah danau yang meletus sekitar 700 tahun silam.
Gunung api itu kini tak tampak lagi karena telah meletus dan membentuk
kawah besar. Itulah asal usul Danau Maninjau. Ketika cuaca berobah, air
danau sering ikut berobah, kadang berwarna putih susu, hitam, kuning dan
biru. Kadang penduduk sekitar mencium aroma belerang yang dibawa angin
dari danau.
Nagari Sungai Batang hanya memiliki luas 17,38 km² dengan batas-batas,
sebelah Utara Danau Maninjau dan Batang Maninjau, sebelah Timur
Kecamatan Matur dan Malak, sebelah Selatan Nagari Tanjung Sani dan
sebelah Barat Danau Maninjau. Masyarakat sekitar Danau Maninjau, di
Sungai Batang khususnya, mayoritas bermata pencaharian sebagai petani,
pedagang dan keramba ikan. Ikan danau namanya Bada (semacam ikan bilih),
namun masyarakat umumnya beternak ikan Nila dan Gurami yang mereka
panen sekali 3 bulan.
Sekarang, suasana di Sungai Batang telah tersentuh modernisasi.
Jalan-jalan kampung telah beraspal hotmix, penerangan telah masuk,
begitu pula alat-alat telekomunikasi telah dimanfaatkan mayoritas
masyarakat di Sungai Batang.
Yang menarik, bangunan-bangunan rumah penduduk di Sungai Batang masih
mempertahankan arsitektur rumah-rumah lama layaknya zaman Belanda.
Rumah-rumah yang unik dan bernilai khas. Pintu rumah yang lebar dan
tinggi, ukiran-ukiran dinding yang indah, berlantai dua, ada yang beton
ada pula yang terbuat dari kayu papan. Semuanya tampak kokoh meski
ketuaan usia nyaris menghilangkan nilai sejarahnya.
Dengan dipugarnya rumah Buya Hamka menjadi Museum Kelahiran Buya Hamka
yang diresmikan pada tanggal 11 November 2001, bagi masyarakat sekitar
membawa berkah tersendiri. Museum itu pun nyaris tak pernah sepi setiap
hari dari berbagai kunjungan, terutama wisatawan asal Malaysia.
Dampaknya pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar pun hidup. Ada
masyarakat yang membuka warung, menjual makanan dan minuman, seouvenir,
bahkan menjual buku-buku karangan Buya Hamka.
Azizah Rusli (65), yang masih kemenakan Buya Hamka, melakoni
aktivitasnya sebagai penjual buku-buku hasil karangan Buya Hamka, tepat
di ruang depan rumahnya yang berhadapan dengan museum Buya Hamka. Meski
tak seluruhnya buku-buku Buya Hamka ia jual, namun profesi yang ia
geluti sejak tahun 2002 itu setidaknya membantu dirinya dan keluarga
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Alhamdulillah, keuntungannya lumayan karena yang beli umumnya turis
asing khususnya dari Malaysia. Mereka banyak yang ingin mengetahui lebih
dalam tentang karya-karya Buya Hamka,” kata Azizah Rusli yang mengaku
mendapatkan buku-buku itu dari salah satu penerbit besar di Jakarta.
Beberapa buku yang dipajang Azizah Rusli pada sebuah etalase berukuran
sedang di rumahnya, diantaranya berjudul Tasawuf Modern, Tafsir Al
Azhar, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Falsafah Idiologi Islam, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk, Dilamun Ombak Masyarakat, Islam dan Demokrasi,
Revolusi Adat, Revolusi Islam, dan beberapa judul lainnya. Buku-buku
yang dijual Azizah Rusli itu pun berharga variasi, mulai harga
Rp40.000,-an hingga ratusan ribu, seperti Tafsir Al Azhar yang berjumlah
beberapa jilid.
Karena masih ada hubungan kekeluargaan, Azizah Rusli memandang Buya
Hamka sebagai sosok ulama yang cukup berwibawa di kampungnya. Hamka juga
seorang yang lembut, penyabar, meski di masa kecil Hamka dikenal banyak
orang di kampungnya sebagai anak yang nakal. Setelah ia menjadi ulama,
ilmu ayahnya, Inyiak DR. Abdul Karim Amrullah yang juga seorang ulama
besar di Maninjau, seolah diwarisi utuh oleh Hamka.
“Buya Hamka memang jarang pulang ke kampung. Ia lebih banyak diluar,
namun orang kampung banyak menghormatinya,” kenang Azizah Rusli.
Warisan Hamka
Hanif Rasyid Khatib Rajo Endah (70), pengelola Museum Rumah Kelahiran
Buya Hamka yang juga anak kandung Buya Sutan Mansur (guru pertama Buya
Hamka) dengan Umi Fatimah Karim (kakak kandung Buya Hamka), adalah
pengagum sosok Buya Hamka. Sejak rumah kelahiran Buya Hamka dipugar,
Hanif Rasyid bersama kemenakannya Akhyar Saputra (35) setia menerima
berbagai tamu yang datang menziarahi rumah kelahiran Buya Hamka.
Di rumah Buya Hamka yang sederhana itu, puluhan foto-foto kenangan
terpajang di dinding-dinding hampir setiap sudut ruangan, ratusan buku,
majalah dan arsip-arsip tentang Buya Hamka tersimpan rapi dalam almari
kaca. Di ruang tengah rumah itu juga masih menyimpan kursi tua
peninggalan orang tua Hamka Inyiak DR, tongkat Buya Hamka (8 buah), baju
wisuda ketika Buya Hamka menerima anugerah Doktor Honoris Causa dari
Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dan sebuah koper tua ketika Buya
Hamka pertama kali berangkat haji ke tanah suci.
Di ruang kamar, sebuah tempat tidur dengan kain kelambu berwarna putih
masih terlihat kokoh. Di atas kasur tempat tidur itu ada sebuah kertas
yang bertuliskan “tempat tidur DR. H. Abdul Karim Amrullah”. Tempat
tidur itu dibatasi oleh sebuah tali dengan papan pengumuman di atasnya,
“dilarang melewati lintasan”. Artinya, tempat tidur Buya Hamka yang juga
tempat pertama kali ia dilahirkan hanya bisa dilihat saja dan tidak
boleh disentuh. “Kalau tersentuh, khawatir akan rusak karena tempat
tidur itu sudah berusia tua,” kata Hanif Rasyid.
Setiap tahunnya wisatawan yang berkunjung ke Museum Kelahiran Buya Hamka
mencapai 6.000-an orang. Rumah kelahiran Buya Hamka itu dibuka dari
pukul 8.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB. “Namun jika kunjungan banyak
sampai sore hari, kami tetap melayani agar tamu tidak kecewa,” kata
Hanif Rasyid.
Setiap kali pengunjung yang datang ke Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka,
Hanif Rasyid selalu berdakwah memberi wejangan, yang tidak lain adalah
pesan-pesan Buya Hamka kepada umat. “Buya Hamka meninggalkan empat pesan
yang sangat menyentuh bagi orang-orang yang beriman,” kata Hanif
Rasyid.
Keempat pesan itu, pertama, orang yang pintar adalah orang yang merasa
bodoh. Kedua, orang yang bisa berhubungan dengan yang Maha Suci adalah
orang yang mensucikan diri. Ketiga, orang yang berbahagia adalah orang
yang tahu kampung halamannya. Dan keempat, ketika rumahku diketuk oleh
kemiskinan, aku buka jendela dan aku melompat keluar. “Pesan-pesanya ini
sangat menggugah dan merupakan bekal akhirat bagi umat yang paham jalan
hidupnya di dunia,” ujar Hanif Rasyid.
Tentang Hamka
Hamka adalah nama kependekan ulama besar Indonesia, Haji Abdul Malik
Karim Amrullah. Ia dilahirkan di Tanah Sirah Nagari Sungai Batang
Maninjau Pada Tanggal 13 Muharram 1326 Hijriyah bertepatan tanggal 16
Februari 1908 dari pasangan DR. Abdul Karim Amrullah dan Syafiyah.
Buya Hamka dalam memoarnya mengatakan, “Ayahku menaruh harapan atas
kelahiranku agar aku kelak menjadi orang alim pula seperti ayahnya,
neneknya dan nenek-neneknya terdahulu”. Ketika Hamka lahir, ayahnya
mengatakan kepada neneknya bahwa dia akan dikirim ke Mesir agar menjadi
ulama kelak setelah berusia sepuluh tahun.
Sepanjang hidupnya Buya Hamka tak henti-hentinya menulis dan berpidato.
Profesinya itu telah menghasilkan lebih dari 100 buah buku, ratusan
makalah, essay dan artikel yang tersebar dalam berbagai media massa.
Buya Hamka membangun reputasinya sebagai pengarang yang menulis berbagai
hal. Ia juga seorang wartawan dan editor di berbagai majalah, di
samping itu menulis cerita pendek dan novel romantis di masa-masa
sebelum perang.
Hamka adalah satu di antara pengarang terpintar diluar kalangan
kesusasteraan yang resmi seperti ditulis oleh Prof. A Teeaw. Dikatakan
demikian karena Hamka tidak bisa dimasukkan sebagai pengarang Angkatan
Balai Pustaka. Karya Hamka mulanya muncul dalam majalah Islam, Pedoman
Masyarakat dan cerita bersambung. Karena itu ia dapat disebut sastrawan
“berhaluan Islam” dan menjadikan kesusateraan sebagai alat dakwah.
Dalam usia 16 tahun Hamka telah merantau ke Jawa. Alasannya karena kakak
perempuannya, Fatimah Karim Amrullah, ikut suaminya Buya A.R. St.
Mansyur berdagang batik di Pekalongan. Di sini, ia benar-benar
menunjukkan minat belajar yang dipimpin oleh adik ayahnya, Jafar
Amrullah yang menuntut ilmu di Jogya.
Dasar-dasar pengetahuan agama yang telah diperoleh di kampung,
dimanfaatkan Hamka untuk memahami ceramah-ceramah Ki Bagus Hadikusumo
tentang tafsir Alquran di Kampung Kauman, Yogyakarta.
Di samping itu, Hamka mengikuti kursus politik yag diberikan oleh
tokoh-tokoh Serikat Islam, seperti H.O.S. Tjokroaminoto. Sehingga ia
dapat memahami gagasan-gagasan sosialisme dalam masyarakat Islam. Dengan
R.M. Suryo Pranoto ia mendapatkan pelajaran sosiologi dan dengan H.
Fakhruddin, Ketua Muhammadiyah yang juga menjadi bendaharawan SI ketika
itu, ia mendapatkan wawasan keislaman yang lebih baik dari apa yang
diperolehnya di kampung. Ketika itu, komunis sedang menyebarkan pahamnya
di Minangkabau, sehingga ia mudah dapat mengetahui perobahan-perobahan
politik yang sedang terjadi.
Dia menyaksikan tumbuhnya pertentangan-pertentangan antara golongan
Islam, Marxis, dan Nasionalis Sekuler dan telah menetapkan arahnya
sendiri dengan hanya berjuang atas dasar keislaman. Dengan bekal itu ia
berangkat ke Pekalongan belajar tentang Tauhid dan keislaman lebih
mendalam, sehingga tumbuhlah pribadi muslim yang kuat pada dirinya.
Sebagai sastrawan, dalam karyanya Buya Hamka banyak memberikan kritik
terhadap pelaksanaan adat Minangkabau yang tidak sesuai dengan agama.
Beberapa di antara karya sastranya adalah, Si Sabariah (roman yang
dicetak dengan huruf arab berbahasa Minangkabau), Laila Majnun, Di Bawah
Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Merantau ke Deli,
Mati Mengandung Malu (terjemahan dari Manfaluthi), Terusir, Margaretha
Gauthier, Tuan Direktur, Dijemput Mamaknya, Menunggu Bedug Berbunyi,
Mandi Cahaya di Tanah Suci, Empat Bulan di Amerika, Mengembara di Lembah
Nil dan Di Tepi Sungai Dajlah Lam.
Buya Hamka, di Sungai Batang kampung halamannya, adalah sosok yang
biasa-biasa saja bagi masyarakat sekitar. Namun semua orang tahu, bahwa
Buya Hamka besar di rantau karena pemikirannya yang ingin maju dan
berontak dari kemiskinan, mengkritisi adat yang kaku dan polemik
keagamaan yang ketika itu menjadi konsumen publik yang sedang mencari
jati diri hidup di zaman usai kemerdekaan.
Segi yang amat menarik tentang Buya Hamka, baik di kampung halamannya
maupun di rantau, ialah kepribadian dan gaya hidupnya. Beliau ramah,
rendah hati, murah senyum dan menyenangkan dalam percakapan perjamuan.
Semua orang mengakui. Dan, bergaul dengan Hamka adalah suatu pengalaman
yang sangat mengesankan. Tidak sedikitpun terasa ketinggian hati atau
keangkuhan. Wajah Hamka yang teduh, seteduh dan sedamai kampung
halamannya, Maninjau yang permai.
Oleh: Muhammad Subhan
Menelusuri Jejak Hamka di Maninjau
Written By Unknown on Rabu, 15 Mei 2013 | 13.24
Terima Kasih Telah Membaca Artikel Menelusuri Jejak Hamka di Maninjau.
Silahkan Klik Tombol Like Atau Share Untuk Berbagi Artikel Ini Atau Silahkan Di Copy Link
https://mtsm-sungaibatang.blogspot.com/2013/05/menelusuri-jejak-hamka-di-maninjau.html
Terima Kasih.
Label:
Berita
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !