HAMPIR sebulan sejak serangan tiba-tiba pesawat tempur Israel ke
dalam wilayah Suriah akhir Januari lalu, ancaman pembalasan dari Iran
dan rezim Assad ternyata tak kunjung tiba. Saat serangan terjadi di
Pusat Penerlitian Ilmiah Jamraya, dekat dengan ibu kota Damaskus pada
Rabu (30/1/2013), sebagian analis Arab melihat bahwa Iran dan rezim
Suriah akan melakukan pembalasan sebagai upaya untuk menarik kembali
simpati publik Arab.
Jet-jet tempur Israel telah melanggar zona udara Suriah dan menyerang
sebuah pusat riset militer, menewaskan serta menciderai tujuh orang.
Media Zionis mengutip sumber-sumber militer mengklaim, serangan ini
ditujukan untuk menghancurkan kiriman militer Suriah ke Libanon serta
klaim media itu dipertegas oleh pejabat tinggi Israel yang saat itu
sedang menghadiri Konferensi Keamanan di Munich, Jerman.
Menteri Perang Israel, Ehud Barak, pada Ahad (3/2/2013) mengakui
bahwa pesawat-pesawat tempur Israel melancarkan serangan terhadap pusat
penelitian ilmiah di Jamraya, luar kota Damaskus dan mengatakan kepada
para wartawan di Jerman bahwa insiden tersebut merupakan bukti bahwa
ancaman negerinya sungguh-sungguh. "Kami tidak berharap pihaknya harus
diizinkan untuk membawa sistem senjata canggih ke Libanon," sambil
kembali mengklaim Bashar al-Assad, akan lengser dalam waktu dekat
sehingga bakal menjadi pukulan telak bagi Iran.
Serangan udara Israel itu menurut seorang pejabat AS menghantam
peluru kendali darat-ke-udara dan sebuah kompleks militer terdekat di
pinggiran Damaskus, karena Israel takut senjata tersebut akan dikirimkan
kepada Hizbullah. Laporan-laporan sebelumnya mengisyaratkan
pesawat-pesawat tempur Israel mungkin telah menargetkan dua lokasi
terpisah dalam serangan tersebut yakni satu situs militer di luar ibu
kota dan konvoi senjata di dekat perbatasan Libanon.
Paling tidak ancaman negeri zionis itu untuk menyerang Suriah apabila
merasa sebagian senjata canggih yang masih dikuasi rezim Assad bakal
dipindah ke Hizbullah Libanon, telah dibuktikan dan tidak menutup
kemungkinan ke depan untuk melakukan serangan serupa bahkan dalam skala
yang lebih besar bila semakin yakin Assad akan jatuh. Nah bagaimana
dengan ancaman pembasalan dari Iran yang belum kunjung dilakukan?
Melihat pendapat sebagian besar analis dan publik Arab saat itu,
sepertinya mereka setengah memastikan bahwa tidak akan ada pembalasan
terhadap serangan negeri Zionis itu, karena dukungan mutlak Iran kepada
rezim Assad hanya difokuskan pada pembantaian rakyat Suriah yang
menentangnya. Melihat kenyataan hingga hampir sebulan serangan tersebut,
tampaknya prediksi terakhir ini benar adanya.
Bagi pemerhati yang memprediksikan adanya pembalasan, umumnya
memperkirakan akan dilakukan secara tidak langsung atau lewat serangan
dari Hizbullah Libanon ke target dalam Israel. Apabila pembalasan
benar-benar terjadi selain akan memperbaiki citra rezim sekaligus
mempersulit posisi oposisi yang hingga saat ini masih belum berhasil
menjatuhkan Assad secara militer.
Prediksi akan adanya pembalasan tersebut didasari pernyataan sejumlah
petinggi negeri Persia itu yang hingga seminggu sejak serangan
berlangsung terus mengeluarkan ancaman pembalasan. Sekretaris Dewan
Tinggi Keamanan Nasional Iran, Saeed Jalili pada Selasa (5/2/2013)
misalnya, memperingatkan kembali plot Israel tersebut bahwa serangan ke
Suriah akan membuat Israel menyesal.
"Sama seperti ketika mereka menyesali serangannya pada Perang 33
Hari, 22 Hari dan delapan hari di Gaza, Israel juga akan menyesali
serangannya ke Suriah,'' ujarnya sambil menegaskan Suriah adalah bagian
penting dari dunia Islam, mengingat ia berada di garis depan dalam
melawan Israel. Ia juga mengingatkan bahwa Republik Islam Iran akan
mengerahkan kapasitas internasional untuk mendukung Suriah.
Meskipun serangan balasan tak kunjung tiba hingga memasuki minggu
keempat sejak serangan itu dilancarkan, namun dengan masih alotnya
perkembangan krisis Suriah, tetap tidak menutup kemungkinan serangan
balasan tersebut masih terbuka bila serangan itu bukan bagian dari
konspirasi. Hanya saja, bila serangan balasan atas negeri zionis itu
terjadi nantinya hampir dapat dipastikan tidak akan menggoyahkan
keinginan mayoritas rakyat Suriah dan publik Arab untuk menjatuhkan
rezim dukungan Iran itu.
Sikap tersebut disebabkan karena momentum serangan balasan yang sudah
terlambat sehingga akan menimbulkan kesan hanya mencari sensasi. Sebab
lainnya, karena korban jiwa yang sangat dahsyat melewati angka 90 ribu
orang yang gugur, disamping semakin terungkapnya aksi penyiksaan atas
ribuan warga Suriah oleh rezim termasuk ratusan wanita dan anak-anak
serta eksekusi biadab rezim atas para penentangnya.
Pura-pura
Terlepas dari masih terbuka tidaknya kemungkinan serangan balasan
tersebut, penulis tertarik dengan sebuah artikel bertajuk dibalik
serangan Israel atas Suriah yang ditulis oleh seorang analis Arab, Jarir
Khalaf. Apabila melihat geliat negeri zionis itu dan Iran saat ini yang
sama-sama bersaing untuk mendominasi Arab yang mayoritas Sunni, artikel
tersebut ada baiknya juga untuk disimak.
Semula penulis tidak begitu tertarik membaca artikel tersebut, dan
lebih melihat bahwa serangan tersebut sebagai gladiresik serangan Israel
atas Iran di kemudian hari dan ujicoba senjata baru angkatan udara
negeri zionis itu. Namun setelah setelah sekian lama tak kunjung ada
serangan balasan, artikel yang ditulis di harian arabonline itu cukup
menarik untuk dikaji ulang.
Menurut Jarir, serangan yang dilakukan oleh Israel atas pusat riset
militer dekat Damaskus itu bukan taktik militer dan juga tidak logis
sebab pemindahan senjata-senjata canggih dan senjata kimia milik rezim
Assad ke Libanon untuk disimpan di arsenal senjata milik Hizbullah telah
berlangsung setahun belakangan ini.
"Dua pihak yang dianggap sebagai gerakan perlawanan (rezim Assad dan
Hizbullah) adalah perlawanan yang berpura-pura dengan pendukung utamanya
sama yakni Iran. Kedua pihak ini telah lama berkoordinasi untuk
menyimpan senjata di kawasan bukan untuk membebaskan Palestina dan tidak
pula membebaskan Dataran Tinggi Golan (milik Suriah pen.)," paparnya.
Lebih lanjut, salah satu penulis Arab ini mengingatkan bahwa
berlanjutnya posisi permusuhan dekoratif (pura-pura) di permukaan
tersebut sangat penting untuk memelihara kepentingan masing-masing pihak
dalam hal ini Israel, Hizbullah dan Suriah. Menurutnya, pengedepanan
masalah keamanan Israel dalam setiap isu di kawasan, membuat tidak semua
orang dapat mencermati dengan mudah setiap aksi negeri zionis itu
termasuk yang berkaitan dengan serangan kali ini.
"Hampir semua pihak ternasuk Israel yakin bahwa mau atau tidak mau,
rezim Assad akan segera berakhir sehingga negeri zionis ini khawatir
bila kondisi baru di perbatasan sebelah utara akan mengancam
keamanannya. Kita akan lebih mudah memahami maksud serangan itu apabila
melihat kondisi di lapangan terkait kemajuan al-Jeish al-Hurr (Tentara
Kebebasan) melawan pasukan rezim Assad," paparnya lagi.
Tentara Kebebasan sebagai seteru pasukan pro Assad dilaporkan
berhasil mengalihkan arah tujuan konvoi kendaran angkut pembawa senjata
canggih rezim Assad yang sedianya akan dibawa ke gudang senjata
Hizbullah. Selain itu, beberapa batalion Tentara Kebebasan ini juga
sudah berada sekitar satu kilo meter dari pusat riset militer yang
diserang Israel itu, yang berarti hampir dapat menguasai gudang senjata,
senjata kimia dan berbagai jenis senjata canggih lainnya buatan Rusia
yang dipastikan dapat dimanfaatkan untuk segera mengakhiri rezim Assad.
"Nah pada saat itulah pesawat tempur Israel terlibat dengan mengebom
pusat riset tersebut dan konvoi kendaran angkut senjata dimaksud sebagai
salah satu balas budi kepada rezim Suriah. Jadi bukan untuk melemahkan
rezim yang dianggap sebagai rezim perlawanan terhadap Israel sebagaimana
pernyataan Iran. Serangan ini adalah prestasi bersama untuk
memperpanjang nafas rezim Assad," tandasnya.
Jarir menambahkan bahwa konspirasi tersebut sebenarnya jauh lebih
besar dari apa yang terlihat dengan kasat mata dan apa yang didengar
dari berbagai pernyataan Parai Ba`ath Suriah dan Hizbullah Libanon.
"Banyak yang percaya bila rezim Suriah adalah rezim perlawanan (terhadap
Israel pen.). Rezim ini telah lama melakukan pembantaian terhadap
rakyat tiga negara Arab," tandasnya lagi.
Ia mencontohkan pembantaian terhadap warga Palestina di Tel Za`tar,
Nahr al-Bared dan al-Badawi menyebabkan 30 ribu orang tewas. "Selama
tiga dekade menguasai Libanon, puluhan ribu rakyat Libanon juga menjadi
korban. Adapun jumlah korban tewas dari rakyat Suriah selama 43 tahun
masa kekuasaan rezim yang dianggap perlawanan terhadap Isreal itu, lebih
dari dari 250 ribu orang," papar Jarir lagi.
Terperangkap
Terlepas dari benar tidaknya analisa tersebut, yang jelas kenyataan
di lapangan setelah dua tahun umur krisis Suriah semakin dapat dicerna
oleh masyarakat umum Arab atas "permainan" yang sedang berlangsung. Apa
yang terjadi sesungguhnya di negeri bekas pusat Kekhalifahan Umawiyah
itu semakin terkuak akhir-akhir ini sehingga publik Arab tampaknya tidak
bisa lagi termakan orasi berapi-api tokoh-tokoh yang dianggap selama
ini sebagai pemimpin perlawanan terhadap Israel.
Hizbullah yang selama ini memegang teguh sikapnya bahwa senjata yang
dimilikinya hanya diperuntukkan melawan penjajah Israel kelihatannya
sudah mulai berubah. Gerakan ini dilaporkan telah terperangkap dalam
perang Suriah secara terang-terangan melawan para petempur anti Assad di
sejumlah front baik di perbatasan dengan Libanon maupun di dalam
wilayah Suriah.
Tentara kebebasan seperti dilaporkan sejumlah media Arab Rabu
(20/2/2013), mengancam untuk menyerang posisi-posisi pertahanan
Hizbullah di dalam wilayah Libanon. Ancaman ini dilontarkan setelah
Kepala Staf Tentara Kebebasan, Salim Idris menuduh Hizbullah terlibat
menyerang posisi para petempur anti Assad di Suriah.
Kepada kantor berita Perancis (AFP), Idris juga menyebutkan bahwa
Hizbullah mengirim tentaranya untuk bertempur membela Assad di Damaskus,
pedesaan Damaskus dan Homs.
"Kami memiliki bukti tentang hal ini, tapi dalam sepekan belakangan
ini mereka mengubah taktik dengan melakukan serangan dari dalam
Libanon,"paparnya.
Bahkan petinggi militer Tentara Kebebasan itu dilaporkan memberikan
batas waktu terakhir bagi Hizbullah untuk menghentikan serangannya atas
posisi-posisi Tentara Kebebasan hingga Kamis (21/2/2013). Harian al-Quds
al-Arabi yang terbit di London, dalam tajuknya, Rabu (20/2/2013), juga
mengingatkan bahwa Hizbullah telah terperosok dalam perang krisis Suriah
secara terang-terangan.
Menurut Idris, bila serangan terus berlanjut setelah batas waktu itu
maka ia akan memerintahkan kelompok-kelompoknya yang memiliki senjata
jarak jauh untuk menyerang posisi asal serangan Hizbullah. "Sebenarnya
kami tidak ingin memperluas perang karena kami hanya berperang melawan
tirani," tegasnya sambil mengingatkan serangan Hizbullah itu sebagai
pelaksanaan ancaman sejumlah petinggi rezim Suriah dan Iran.
Bila demikian halnya, maka krisis Suriah ibaratnya benang kusut dan
semua pihak termasuk Israel ikut membantu mempersulit situasi. Karenanya
beralasan dugaan yang menyebutkan bahwa Iran tidak akan melakukan
serangan balasan terhadap Israel, apalagi nanti terbukti serangan
tersebut memang bertujuan untuk menggagalkan Tentara Kebebasan
mendapatkan senjata canggih milik rezim Assad./Sana`a, 11 R. Thani 1434
H*
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman