Mei 2013 - Website Resmi MTs Muhammadiyah Sungai Batang
Headlines News :

STRATEGI PENGEMBANGAN KOMPETENSI SISWA DENGAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Written By Unknown on Jumat, 31 Mei 2013 | 11.11

PENDAHULUAN
Dunia pendidikan Indonesia saat ini setidaknya menghadapi empat tantangan besar yang kompleks. Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah (added value), yaitu bagaimana meningkatkan nilai tambah dalam rangka meningkatkan produktivitas, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan. Kedua, tantangan untuk melakukan pengkajian secara komprehensif dan mendalam terhadap terjadinya transformasi (perubahan) struktur masyarakat, dari masyarakat yang agraris ke masyarakat industri yang menguasai teknologi dan informasi, yang implikasinya pada tuntutan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat,yaitu bagaimana meningkatkan daya saing bangsa dalam meningkatkan karya-karya yang bermutu dan mampu bersaing sebagai hasil penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks). Keempat, munculnya kolonialisme baru di bidang iptek dan ekonomi menggantikan kolonialisme politik. Dengan demikian kolonialisme kini tidak lagi berbentuk fisik, melainkan dalam bentuk informasi. Berkembangnya teknologi informasi dalam bentuk komputer dan internet, sehingga bangsa Indonesia sangat bergantung kepada bangsa-bangsa yang telah lebih dulu menguasai teknologi informasi. Inilah bentuk kolonialisme baru yang menjadi semacam virtual enemy yang telah masuk ke seluruh pelosok dunia ini.
Kemajuan ini harus dapat diwujudkan dengan proses pembelajaran yang bermutu dan menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, profesional, unggul, berpandangan jauh ke depan (Visioner), memiliki percaya dan harga diri yang tinggi. Untuk mewujudkan hasil di atas diperlukan strategi yang tepat, diantaranya adalah bagaimana strategi mengembangkan kompetensi siswa berdasarkan kemampuan, sikap, sifat serta tingkah laku siswa sehingga membuat siswa menyenangi proses pembelajaran. Peningkatan kompetensi siswa tidak bisa dipandang secara pragmatis, terpisah dari bagian bagiannya yang utuh. Peningkatan kompetensi siswa harus dilihat secara pendekatan sistem, menyeluruh, utuh dan tidak terpisah-pisah dari bagian-bagiannya sehingga dapat dilihat progress reports terhadap laju perkembangan kompetensi siswa seperti yang diharapkan. Selain dari pada itu, pengembangan kompetensi siswa dengan konsep pendekatan sistem terutama sistem manajemen berbasis sekolah akan sangat mudah dan efektif untuk mengevaluasi sistem apa yang perlu ditinjau, dimodifikasi ataupun diubah menurut kebutuhan.
Manajemen berbasis sekolah merupakan sebuah sistem yang memberikan hak atau otoritas khusus kepada pihak sekolah untuk mengelola sekolah sesuai dengan kondisi, lingkungan dan tuntutan ataupun kebutuhan masyarakat di mana sekolah tersebut berada. Berdasarkan analisa di atas, bagaimanakah wujud masyarakat Indonesia baru yang seharusnya ?. Jawabannya adalah masyarakat yang berpendidikan (Educated Sociaty). Oleh karena itu setiap lembaga pendidikan, khususnya dalam menghadapi masa depan harus ditujukan pada reformasi kelembagaan secara total, agar pendidikan nasional memiliki kemampuan untuk melaksanakan peran, fungsi dan misinya secara optimal.
KAJIAN TEORI
  1. Kompetensi
Kompetensi meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap dan minat. Dalam konsep pelatihan yang berbasis kompetensi dijelaskan bahwa kompetensi merupakan gabungan antara keterampilan, pengetahuan dan sikap. Kompetensi digunakan untuk melakukan penilaian terhadap standar, memberikan indikasi yang jelas tentang keberhasilan dalam kegiatan pengembangan, membentuk sistem pengembangan dan dapat digunakan untuk menyusun uraian tugas seseorang. Standar kompetensi disusun sedemikian rupa mengacu kepada kesepakatan internasional tanpa harus mengabaikan berbagai aspek dan budaya yang bersifat lokal atau nasional. Standar kompetensi yang telah ada hendaknya dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak terutama dunia pendidikan dalam hal peningkatan kemampuan dasar siswa serta penyusunan kurikulum.
  1. Manajemen Berbasis Sekolah
Menurut Malen dkk. dalam Abu-Duhou (2002) manajemen berbasis sekolah secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan. Manajemen sekolah yang selama ini terstruktur dari pusat telah menghambat kran komunikasi atau setidaknya terjadinya distorsi informasi antara pusat dan daerah, sehingga menimbulkan mis-implementation pada tataran riil di sekolah. Hal inilah yang menjadi bahan dilahirkannya sebuah sistem manajemen yang mampu menanggulangi permasalahan tersebut, yaitu suatu manajemen yang diberi kewenangan penuh kepada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri dalam batas-batas yang rasional.
Candoli dalam Abu (2002) menjelaskan bahwa manajemen berbasis sekolah merupakan suatu cara untuk "memaksa" sekolah mengambil tanggung jawab atas apa yang terjadi menurut justifikasi sekolah. Konsep ini menerangkan bahwa ketika sekolah diberi tanggung jawab penuh dalam mengembangkan program-program kependidikannya yang bertujuan melayani kebutuhan-kebutuhan para stakeholder maka pihak sekolah akan dipaksa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
  1. Otoritas Sekolah dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Secara khusus hal-hal yang di desentralisasikan adalah yang secara langsung berhubungan dengan para peserta didik, seperti keputusan tentang program pendidikan, alokasi waktu, dan kurikulum. Tetapi menurut Caldel dan Spinks dalam Abu (2002) membagi beberapa hal yang menjadi otoritas sekolah dalam MBS, diantaranya yaitu:
  1. Pengetahuan (Knowledge); otoritas keputusan berkaitan dengan kurikulum, tujuan dan sasaran pendidikan.
  2. Teknologi (Technology); otoritas mengenai srana dan prasaran pembelajaran
  3. Kekuasaan (Power); kewenangan dalam membuat keputusan.
  4. Material (Material); kewenangan mengenai penggunaan fasilitas, pengadaan dan peralatan alat-alat sekolah.
  5. Manusia (People) kewenangan atas keputusan mengenai sumber daya manusia, pengembangan profesionalisme dan dukungan terhadap proses pembelajaran.
  6. Waktu (Time); kewenangan mengalokasikan waktu
  7. Keuangan (Financial); kewenangan dalam mengalokasikan dana pendidikan.
Sedangkan Thomas dalam Abu (2002) mengelompokkan kewenagan sekolah dalam manajemen berbasisi sekolah dalam empat hal, yaitu:
  1. Penerimaan (admission); kewenangan untuk menentukan siswa mana yang akan diterima diseklolah.
  2. Penilaian (Assessment); kewenangan untuk menentukan berapa siswa yang akan dinilai.
  3. Informasi (Information); kewenangan untuk menseleksi data mengenai kinerja sekolah dan mempublikasikannya.
  4. Pendanaan (Funding); kewenangan untuk menentukan uang masuk bagi penerimaan siswa.
PEMBAHASAN
    1. Kompetensi Siswa
Untuk merespons berbagai kondisi sebagaimana yang telah diuraikan pada pendahuluan di atas, maka salah satu kebutuhan yang sangat penting adalah tersedianya sistem pendidikan dan pelatihan yang mampu menghasilkan SDM yang berkualitas setara dengan standar internasional. Untuk melaksanakan sistem pendidikan yang baik dibutuhkan suatu standar kompetensi yaitu kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang untuk melakukan pekerjaan sebagai patokan kinerja yang diharapkan. Salah satu bentuk sistem pendidikan yang mampu meningkatkan kompetensi siswa adalah sistem manajemen berbasis sekolah yang memberi hak sepenuhnya atau otonomi kepada sekolah untuk mengelola sekolah sesuai dengan kondisi, lingkungan dan kebutuhan tempat di mana sekolah berada.
    1. Strategi Pengembangan Kompetensi Siswa
Dunia pendidikan dewasa ini yang semakin banyak menghadapi tantangan, salah satu diantaranya ialah bahwa pendidikan itu berlangsung dalam latar lingkungan yang dibuat-buat, karena pendidikan itu harus membina tingkah laku yang berguna bagi individu di masa akan datang dan bukan waktu sekarang. Akibat dari latar lingkungan yang dibuat adalah terjadinya suasana pembelajaran yang tidak menyenangkan. Masalah lain yang dihadapi dunia pendidikan adalah sekolah masih menggunakan cara yang bersifat aversif, di mana para siswa menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya terutama untuk menghindari stimulus-stimulus aversif seperti kecaman guru, ejekan di muka kelas, menghadap kepala sekolah jika tidak membuat tugas di rumah.
  1. Untuk memecahkan masalah untuk perbaikan pendidikan itu pernah diusulkan beberapa pemecahan masalah yang diantaranya:
  1. Mendapatkan guru yang berkualitas
  2. Mencari terobosan baru untuk menandingi sekolah unggul
  3. Menaikkan standar pembelajaran
  4. Mereorganisasi kurikulum.
Akan tetapi pemecahan masalah yang pernah ditawarkan tersebut tidak menyentuh esensi permasalahan dunia pendidikan itu sendiri. Menurut Skinner satu hal yang perlu dilakukan untuk memecahkan kebuntuan tersebut adalah bagaimana guru bertanggung jawab mengembangkan pada siswa tingkah laku verbal (kompetensi) atau kemampuan siswa yang merupakan pernyataan keterampilan dan pengetahuan mata pelajaran. Konkritnya Skinner menjelaskan yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan siswa atau kompetensi siswa adalah:
  1. Membangun khazanah tingkah laku verbal dan non verbal yang menunjukkan hasil belajar.
  2. Menghasilkan dengan kemungkinan yang besar, tingkah laku yang disebut minat, antusiasme dan motivasi untuk belajar.
Sehingga dengan tugas seperti ini pembelajaran itu berfungsi memperlancar pemerolehan pola-pola tingkah laku verbal dan nonverbal yang perlu dimiliki setiap siswa. Menurut Weiner, dengan teori atribusinya, satu sumbangan penting untuk pendidikan adalah berkenaan dengan analisa terjadinya interaksi di kelas. Hal yang penting diperhatikan dalam interaksi di kelas dalam konteks proses pembelajaran serta dalam rangka meningkatkan kemampuan atau kompetensi siswa ialah ciri siswa, ciri-ciri siswa yang perlu dipertimbangkan ialah perbedaan perseorangan, kesiapan untuk belajar dan motivasi:
  1. Perbedaan Perseorangan
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan ialah tingkat perkembangan siswa dan tingkat rasa harga diri siswa. Untuk mengimbangi adanya perbedaan perseorangan dalam proses pembelajaran diantaranya dapat dilakukan pengajaran dengan kelompok kecil (cooperative learning), tutorial, dan belajar mandiri serta belajar individual.
  1. Kesiapan untuk belajar
Kesiapan seorang siswa dalam kegiatan pembelajaran sangat mempengaruhi hasil pembelajaran yang bermanfaat baginya. Karena belajar sifatnya kumulatif, kesiapan untuk belajar baru mengacu pada kapabilitas, dimana kesiapan untuk belajar itu meliputi keterampilan-keterampilan yang rendah kedudukannya dalam tata hierarki keterampilan intelektual.
  1. Motivasi
Ciri khas dari teori-teori belajar ialah memperlakukan motivasi sebagai suatu konsep yang dihubungkan dengan asas-asas untuk menimbulkan terjadinya belajar pada diri siswa. Konsep ini memusatkan perhatian pada dilakukannya manipulasi lingkungan yang bisa mendorong siswa seperti membangkitkan perhatian siswa, mempelajari peranan perangsang atau membuat agar bahan ajar menarik bagi siswa.
Ketiga hal di atas harus diperhatikan yang dibarengi dengan penciptaan suasana kelas yang menyenangkan sehingga tingkah laku, respons yang dikeluarkan oleh siswa menghasilkan suasana pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan akibat dari stimulus lingkungan yang dimanipulasi tersebut. Di samping ketiga hal di atas yang perlu diperhatikan dalam konteks peningkatan kompetensi siswa, maka kurikulum juga merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan kompetensi siswa dalam pembelajaran. Untuk mengimbangi peningkatan kemampuan siswa dalam konteks tingkah laku, maka kurikulum juga perlu menjadi perhatian sehingga siswa benar-benar memiliki kompetensi yang sangat memadai.
Kurikulum saat ini, terutama kurikulum pendidikan nasional akan dikembangkan apa yang dinamakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) (Competency Based Curriculum). Dalam konsep ini, kurikulum harus dikuasai oleh siswa setelah ia menyelesaikan satu unit pelajaran, satu satuan waktu dan satu satuan pendidikan. Materi kurikulum harus ditekankan pada mata pelajaran yang sanggup menjawab tantangan global dan perkembangan iptek yang sangat cepat. Di samping itu kurikulum yang dikembangkan harus berlandaskan pendidikan etika dan moral yang dikembangkan dalam mata pelajaran agama dan mata pelajaran lain yang relevan.
Selain itu kurikulum harus bersifat luwes, sederhana dan bisa menampung berbagai kemungkinan perubahan di masa yang akan datang sebagai dampak dari perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat. Kurikulum hanya bersifat pedoman pokok dalam kegiatan pembelajaran siswa dan dapat dikembangkan dengan potensi siswa, keadaan sumber daya pendukung dan kondisi yang ada. Semua alternatif solusi diatas tidak ada artinya jika tidak dimanajemeni atau dikelola dengan profesional. Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem manajemen berbasis sekolah, di mana pihak sekolah memiliki otoritas yang cukup untuk mengelola konsep-konsep yang akan diterapkan dalam rangka meningkatkan kompetensi siswa.
Masalah kurikulum, tujuan pendidikan, keputusan atau kebijakan sekolah, fasilitas yang akan digunakan, pengembangan SDM sekolah, pengaturan waktu dan biaya pendidikan, haruslah sepenuhnya dikelola oleh sekolah sehingga langkah-langkah teknis di atas dapat terwujud.
PENUTUP
Untuk meningkatkan kompetensi siswa ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya, ciri-ciri siswa antara lain, perbedaan perseorangan, kesiapan belajar dan motivasi yang dibarengi oleh pemanipulasian suasana pembelajaran menjadi lebih disukai oleh siswa sehingga dengan mempertimbangkan kondisi ini apa yang diharapkan sesuai dengan tujuan. Akan tetapi jika menspesifikasi pendidikan ke dalam tingkah laku sama dengan membatasi guru menjadi upaya untuk merubah tingkah laku siswa. Pada hal, pendidikan tidak hanya sebatas tutorial yang akan mengakibatkan pendidikan kurang manusiawi dan terlalu mekanistik. Akan tetapi pendidikan lebih dari itu, di mana pendidikan memerlukan tingkat kecerdasan dan kebebasan berpikir yang tinggi, kompetensi dan moral atau tingkah laku yang kompleks untuk mengarunginya.
Secara kelembagaan dalam rangka meningkatkan kompetensi siswa perlu sebuah sistem yang mampu mengakomodir tujuan tersebut. Salah satu bentuk dari sistem tersebut adalah manajemen berbasis sekolah yaitu sebuah sistem manajemen yang memberi keluasan kepada pihak sekolah untuk mengelola sekolah masing-masing menurut kebutuhan, kondisi, dan tuntutan lingkungan di mana sekolah tersebut berada.
DAFTAR PUSTAKA
Abu, D. I. 2002. School Base Management. Diterjemahkan oleh Noryamin Aini, Suparto, dan Abas Al-Jauhari. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Dahar, R. W. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud.
Gredler, E. B. M. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Diterjemahkan Munandir. Jakarta: CV. Rajawali.
Sudjana, N. 2001. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sidi, I. D. 2001. Menuju Masyarakat Belajar (Menggagas Paradigma Baru Pendidikan). Jakarta: Paramadina.
Suryabrata, S. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Snelbecker, G. E. 1974. Learning Theory, Intructional Theory, and Psycoeducational Design. New York: McGraw-Hill Book Company.

Peningkatan Profesional Guru

  1. Pendahuluan
Persaingan yang semakin kompetitif pada era modemisasi dan globalisasi pada saat ini harus dihadapi dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, merupakan salah satu sektor yang perlu mendapatkan perhatian serta prioritas utama. Sebab lembaga pendidikan formal merniliki peranan penting dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mewujudkan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Profesi guru merupakan kunci strategis dalam proses pendidikan, sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Melalui komunikasi dan interaksi antara murid dan guru yang berlangsung secara efektif tentunya akan menghasilkan suatu produk pendidikan yang bermutu, selain keberhasilan dalam rangka memberantas keterbelakangan serta kebodohan, juga merupakan tolak ukur kemajuan bangsa.
Peranan besar tersebut yang menuntut seorang guru agar bersikap profesional. Tetapi jika kita simak di berbagai media massa, maka banyak sekali keluhan-keluhan yang dilontarkan oleh sebagian masyarakat yang menilai bahwa profesionalisme guru-guru kita dianggap masih kurang memadai. Anggapan tersebut dapat dianggap wajar apabila kita hubungkan dengan berbagai tantangan yang akan dihadapi di masa depan akibat dari pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.
Guru yang telah memahami kedudukan dan fungsinya sebagai pengajar dan pendidik, akan selalu terdorong untuk tumbuh dan berkembang menjadi profesional. Namun tidak semua guru dapat tumbuh dan berkembang sendiri untuk menjadi profesional. Sehingga guru-guru perlu mendapatkan bantuan dan binaan melalui usaha peningkatan profesionalisme guru.
Oleh sebab itu diperlukan suatu usaha pengembangan dan pembinaan profesi yang dilaksanakan secara serius oleh pemerintah, disamping adanya kemauan dari pribadi guru itu sendiri untuk menjadi seorang guru yang profesional. Usaha tersebut harus menggunakan alternatif model pengembangan dan pembinaan profesi guru, yang dirancang secara tepat dan berencana.
  1. Pembahasan
1. Pentingnya Sumber Daya Manusia yang Berkualitas
Dalam perkembangan masa depan Indonesia di era moderenisasi pada saat ini, terdapat dualisme sikap yang muncul kepermukaan. Pertama, yang terkait dengan sikap optimis. Era modernisasi diharapkan akan membawa masyarakat Indonesia kepada kehidupan yang lebih baik dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Modernisasi diharapkan akan membawa perubahan sistem dalam segala aspek kehidupan, sehingga meningkatakan kualitas pendidikan dan sumber daya manusia. Kedua, sikap yang menggambarkan rasa kecemasan karena kekhawatiran bahwa era moderenisasi disamping telah menghasilkan kemajuan pesat di berbagai bidang kehidupan, juga akan membawa malapetaka pada sistem nilai dan budaya luhur bangsa. Nilai luhur budaya bangsa Indonesia suatu saat bisa hilang diganti oleh nilai-nilai budaya barat.
Oleh sebab itu perlu dipersiapkan masyarakat Indonesia agar menjadi sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan era modernisasi dan sekaligus dapat mempertahankan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Upaya yang harus ditempuh untuk menjawab tantangan diatas adalah dengan cara mengembangkan kualitas sumber daya manusia melalui program pendidikan, dengan mengutamakan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi dengan keteguhan iman dan taqwa. Untuk itu perlu dimantapkan sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, yang berorientasi pada penguasaan Iptek dan penanaman Imtaq yang kuat.
2. Profesionalisme Jabatan Guru
Sekolah merupakan salah satu bentuk organisasi/lembaga pendidikan formal yang lahir dan berkembang dari pemikiran efisiensi dan efektifitas dalam pemberian pendidikan bagi masyarakat. Sekolah menerima tanggung jawab dan pelimpahan kepercayaan dari orang tua siswa untuk mendidik anak-anak mereka menjadi pribadi yang memiliki sejumlah kemampuan dan keterampilan yang diharapkan. Sekolah ditata dan dikelola secara formal, mengikuti haluan yang tercermin di dalam falsafah dan tujuan, penjenjangan, kurikulum, pengadministrasian serta pengelolaannya.
Peranan guru dalam lembaga pendidikan formal adalah sebagai tokoh kunci dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia, karena guru yang berinteraksi secara langsung dengan siswanya dalam proses belajar mengajar. Dalam proses ini seorang guru mempunyai fungsi sebagai pendidik dan pengajar. Sebagai pengajar, guru bertugas menyampaikan atau mentransfer berbagai pengetahuan dari berbagai sumber, supaya terjadi perubahan pada diri seseorang, dari tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan sebagai pendidik, guru bertugas untuk mengubah perilaku subjek didik sehingga dapat terbentuk suatu sikap dan kepribadian yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Tantangan di era modernisasi menyebabkan orientasi pendidikan masa depan harus lebih diarahkan pada penyiapan anak didik untuk menjadi seorang ahli profesional serta sebagai sumber daya manusia yang handal dan berguna bagi nusa dan bangsa. Dalam hal ini peranan tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang lengkap menjadi sangat penting. Dan yang tidak kalah penting lagi adalah dibutuhkannya tenaga pendidik dan pengajar atau guru yang profesional dalam bidang yang diajarkannya.
Guru dikategorikan profesional bila guru tersebut telah menunjukkan kemampuannya sebagai seorang guru, ia bukan hanya tahu banyak, tetapi juga bisa berbuat banyak. Selain itu guru yang profesional akan selalu mengikuti ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang dengan cepat. Sehingga guru tersebut memiliki kualitas mengajar yang tinggi sesuai dengan perkembangan zaman.
Sahertian (1994) menyatakan bahwa profesional mengandung makna yang lebih luas daripada hanya berkualitas tinggi dalam hal teknis saja. Makna profesional disini dapat dipandang dari tiga dimensi yaitu:
a. Ahli (expert)
yaitu ahli dalam bidang mengajar dan mendidik. Seorang guru tidak saja menguasai isi materi pengajaran yang diajarkan, tetapi juga mampu menanamkan konsep mengenai pengetahuan yang diajarkannya kepada subjek didik. Melalui pengajaran, guru membentuk konsep berpikir, sikap jiwa, dan dapat menyentuh inti kemanusiaan subjek didik. Pengetahuan dan pelajaran yang diberikan oleh guru adalah untuk membentuk pribadi yang utuh dari subjek didik. Sehingga guru dapat menumbuhkan prakarsa serta motivasi agar subjek didik dapat mengaktualisasi dirinya sendiri. Kiat mengajar seperti itulah yang dikatakan ahli dalam memberi pengetahuan, mengemhangkan pengetahuan dan menumbuhkan apresiasi.
b. Memiliki Otonomi dan Rasa Tanggang Jawab
Otonomi mempunyai arti suatu sikap yang profesional yang disebut mandiri. Guru profesional telah memiliki otonomi atau kemandirian dalam mengemukakan apa yang harus dikatakan berdasarkan keahliannya. Guru dapat menguasai apa yang akan diajarkannya serta mampu memberi pertanggungjawaban dan bersedia untuk dimintai pertanggungjawaban.
c. Memiliki Rasa Kesejawatan
Melalui organisasi profesi diciptakan rasa kesejawatan. Semangat korps dikembangkan agar harkat dan martabat guru dijunjung tinggi, baik oleh korps guru sendiri maupun masyarakat pada umumnya. Usaha meningkatkan citra guru di masyarakat diperjuangkan melalui organisasi profesi, di samping rasa sejawat diantara guru itu sendiri.
Profesionalisme mengandung arti menjalankan suatu profesi dengan baik sebagai sumber penghidupan. Dari pengertian ini maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa antara profesi dengan profesionalisme mempunyai arti yang hampir sama. Profesi berkaitan erat dengan pengertian suatu pekerjaan saja, yang kita lakukan sehari-hari secara rutin. Sedangkan profesionalisme didalamnya terkandung suatu keinginan untuk lebih berkualitas dengan dilandasi oleh suatu keahlian serta panggilan dari hati nuraninya untuk menjalankan tugasnya secara baik dan benar.
Sahertian (1994) menyebut profesionalisme dengan istilah profesionalisasi Profesionalisasi adalah suatu usaha untuk mencapai tingkat profesional. Usaha ini memiliki arti seluruh kegiatan yang dimaksudkan untuk memngkatkan mutu profesi mengajar dan mendidik. Kegiatan tersebut berupa suatu proses pertumbuhan, perawatan dan pemeliharaan profesi yang dilaksanakan sejak guru mulai mengajar dan berlangsung seumur hidupnya. Guru harus senantiasa berusaha menambah pengetahuan baru melalui membaca dan terus belajar.
Usaha meningkatkan profesionalisme guru dapat dilaksanakan melalui sistem pembinaan dan pengawasan. Sistem pembinaan dilakukan melalui program pre-service education, in-service education, dan in-service training. Sedangkan sistem pengawasan dilakukan melalui program supervisi pendidikan.
Semua usaha peningkatan profesionalisme tersebut tidak akan bisa berhasil secara sempurna bila tidak ada keinginan dari dalam diri guru itu sendiri untuk berkembang. Untuk itu diperlukan dorongan yang lahir dari keinginan guru itu sendiri untuk meningkatkan kualitas dirinya demi meraih kemajuan-kemajuan disertai dengan sarana dan prasarana yang dapat menunjang profesionalismenya.
3. Pembinaan
Peningkatan profesionalisme guru sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas guru. Meningkatkan kualitas guru tidak lepas dari bidang studi pendidikan yang disajikan kepada peserta didik, sebab pendidikan lebih ditumbuhkembangkan sejalan dengan perkembangan masyarakat yang semakin rasional, kritis, dan lebih berorientasi kepada pengalaman daripada perkataan. Dalam hal ini diperlukan metode mengajar dan keterampilan menyampaikan pendidikan oleh guru yang sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dengan menggunakan alat pelajaran yang memadai, serta contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pembinaan dan peningkatan mutu guru semakin diarahkan pada peningkatan aspek profesionalisme guru, yang menyangkut pembinaan teknis edukatif yang meliputi kemampuan menguasai bidang studi yang akan diajarkan dan kemampuan untuk menguasai metode mengajar yang tepat. Sehingga guru dapat menguasai secara mendalam materi yang akan diajarkannya serta metode pengajarannya kepada muridnya yang dilandasi oleh rasa tanggungjawab serta dapat memantau basil belajar muridnya melalui berbagai bentuk teknik dan evaluasi. Baik melalui cara pengamatan terhadap perilaku murid sampai dengan tes hasil belajar. Seorang guru yang profesional akan mampu berpikir secara sistematis tentang apa yang telah diajarkannya kepada muridnya, serta dapat belajar dari pengalamannya tersebut untuk lebih meningkatkan lagi kualitas kegiatan belajar mengajar di kelas.
Sahertian (1994) mengatakan bahwa belajar secara terus dan membaca adalah suatu usaha untuk meningkatkan profesionalisme guru. Usaha serta upaya untuk meningkatkan profesionalisme ini bisa timbul dari dua segi, yaitu :
  1. Dari segi eksternal yaitu pimpinan yang mendorong guru untuk mengikuti penataran, kegiatan akademik, atau adanya lembaga-lembaga pendidikan yang memberi kesempatan bagi guru untuk belajar lagi.
  2. Dari segi internal, yaitu guru dapat berusaha sendiri untuk bertumbuh dalam jabatannya melalui belajar secara terus menerus. Dengan cara demikian guru akan lebih efektif dan efisien dalam melakukan tugas profesinya.
Usaha profesionalisme guru dapat dilaksanakan oleh pemerintah dengan cara menyediakan lembaga-lembaga pendidikan formal dengan berbagai program yaitu:
a. Program pre-service education
adalah program pendidikan untuk mendidik serta menyiapkan sumber daya manusia agar siap bekerja sebagai guru. Lembaga pendidikan yang melaksanakan program ini disebut sebagai lembaga pengadaan tenaga kependidikan.
b. Program in-service education
adalah program pendidikan guru yang difungsikan untuk meningkatkan kualitas guru yang sudah mempunyai jabatan dan bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan dan peranannya sebagai seorang pendidik dan pengajar.
c. Program in-service training
umumnya dilakukan melalui kegiatan penataran, agar kemampuan guru meningkat sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mempunyai kualifikasi formal tertentu sesuai dengan standar yang ditentukan.
Agar guru-guru yang dihasilkan dari lembaga pendidikan betul-betul bisa mendidik dan mengajar, maka diperlukan pengalaman dengan fasilitas dan peralatan praktek yang representatif dan memadai. Selain itu, pemerintah juga. diharapkan agar dapat memberikan beasiswa kepada guru-guru bidang studi tertentu untuk mengikuti pendidikan baik di dalam maupun di luar negeri, agar guru tersebut dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada tataran internasional yang selalu berkembang dengan cepat dan pesat.
Masalah lain yang perlu diperhatikan ialah tentang kondisi para guru di daerah terpencil yang pada saat ini masih cukup memprihatinkan. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas serta profesionalisme guru di daerah terpencil, maka perlu diadakan studi tour ke beberapa daerah sebagai suatu studi perbandingan. Melalui studi tour ini diharapkan akan lebih memotivasi dan memperluas cakrawala pandangan serta pengetahuan para guru di daerah terpencil tersebut, sehingga dapat diaplikasikan di tempat ia mengajar. Disamping itu, perlu untuk lebih diintensifkan kembali pengadaan koran masuk desa ataupun suplai buku-buku pelajaran yang dapat menunjang keberhasilan pendidikan di daerah terpencil tersebut. Dengan adanya koran masuk desa dan suplai buku dari pemerintah, maka diharapkan akan menambah pengetahuan tentang mengajar dan para guru di daerah terpencil tersebut.
4. Pengawasan
Pelaksanaan pengawasan tidak harus secara formal dilaksanakan oleh pejabat formal pengawas, tetapi dapat langsung dilakukan oleh kepala sekolah. Burhanuddin (2002) menyatakan bahwa pendidik/guru dan pegawai akan bekerja dengan semangat yang tinggi, dan para siswa akan bisa belajar dengan tenang, apabila kepala sekolah mampu mempengaruhi, mengarahkan, mendorong, dan menggerakkan mereka ke arah pencapaian tujuan sekolah secara efektif. Tugas-tugas kepala sekolah tersebut pada hakikatnya adalah bagian dari fungsi supervisi (kepengawasan) yang merupakan salah satu sarana utama untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme guru.
Supervisi pendidikan merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk memperbaiki atau meningkatkan kemampuan pengajaran guru demi tercapainya hasil belajar siswa yang optimal, sehingga inti dari supervisi adalah pemberian bantuan (Wiyono, 2004). Berkaitan dengan pemecahan masalah guru, salah satu model pendekatan yang dianggap baik adalah model supervisi klinis (clinical supervision). Supervisi klinis adalah suatu bentuk bantuan profesional pada guru berdasarkan kebutuhannya melalui siklus perencanaan, pengamatan cermat, dan pemberian balikan yang segera secara obyektif tentang penampilan pengajarannya untuk meningkatkan keterampilan mengajar serta sikap profesionalismenya (Maisyaroh, 2001).
Adapun secara khusus supervisi hendaknya dilaksanakan secara a) sistematis yaitu dilaksanakan dengan perencanaan yang matang; b) obyektif dan realistis yaitu dilaksanakan sesuai dengan keadaan/kenyataan sebenarnya dan mudah dilaksanakan; c) konstruktif dan kreatif yaitu dilaksanakan dengan tujuan membangun motivasi kerja serta menimbulkan untuk dorongan meningkatkan semangat kerja; d) antisipatif yaitu diarahkan untuk mengahadapi kesulitan yang mungkin terjadi; e) kooperatif yaitu dapat menciptakan perasaan kebersamaan antara supervisor dengan guru untuk mengembangkan situasi pembelajaran yang lebih baik; dan f) preventif yaitu berusaha jangan sampai timbul hal-hal yang negatif.
Selain itu, guru hendaknya juga diberikan kesempatan yang lebih luas dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi program supervisi pendidikan. Dengan demikian, kegiatan supervisi pendidikan bisa benar-benar sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan guru. Sehingga pada akhirnya akan bisa mengembangkan kemampuan profesional guru secara maksimal (Wiyono, 2004).
C. Kesimpulan dan Saran
Persaingan yang semakin kompetitif di era modemisasi pada saat ini harus dihadapi dengan sumber daya manusia berkualitas tinggi, yang mampu menjawab tantangan era modemisasi. Usaha yang harus ditempuh dalam hal ini adalah dengan cara menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi melalui program pendidikan yang dilaksanakan oleh sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
Peranan guru dalam lembaga pendidikan formal adalah sebagai tokoh kunci dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Seiring dengan kemajuan di era modernisasi, maka dibutuhkan guru profesional untuk mendidik dan mengajar siswanya sehingga menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
Seorang guru dikatakan profesional apabila ia memiliki keahlian, tanggung jawab, dan kesejawatan. Namun tidak semua guru dapat tumbuh/berkembang sendiri untuk menjadi profesional. Maka diperlukan suatu usaha peningkatan profesionalisme guru yang harus dilaksanakan secara serius oleh pemerintah, disamping adanya kemauan dari pribadi guru itu sendiri untuk menjadi seorang guru yang profesional.
Usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme guru dapat dilakukan dengan program pembinaan melalui pre-service education, in-service education, dan in-service training, serta dengan program pengawasan melalui kegiatan supervisi pendidikan. Selain itu, seorang guru juga dapat meningkatkan profesionalismenya sendiri dengan cara membaca dan belajar secara terus menerus.
Sedangkan untuk meningkatkan kualitas serta profesionalisme guru di daerah terpencil, pemerintah dapat melakukan usaha pembinaan melalui studi tour, koran masuk desa, serta menggalakkan suplai buku-buku pelajaran ke sekolah pedesaan. Bentuk pembinaan lain adalah pemberian beasiswa kepada guru-guru bidang studi tertentu untuk mengikuti pendidikan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Agar berhasil secara sempurna, semua usaha peningkatan profesionalisme tersebut harus diimbangi dengan dorongan yang lahir dari keinginan guru itu sendiri untuk meningkatkan kualitas dirinya demi meraih kemajuan-kemajuan disertai dengan sarana dan prasarana yang dapat menunjang profesionalismenya.

Analisa Biaya Satuan Pendidikan di MTS

Written By Unknown on Selasa, 21 Mei 2013 | 10.01

Studi tentang Analisis Biaya Satuan Pendidikan di Madrasah  dilatarbelakangi oleh fakta penyelenggaraan pendidikan di madrasah yang begitu memilukan, baik dari aspek substansi, proses, dan konteks penyelengaraan maupun keterlibatan unsur pemerintah dan masyarakat dalam pembiayaannya. Sudah tentu, kedua aspek tersebut begitu berpengaruh terhadap mutu pendidikan yang dihasilkan madrasah. Keterlibatan pemerintah dalam pembiayaan pendidikan di madrasah, berkaitan dengan realisasi pelaksanaan kehendak perundang-undangan pendidikan yang masih relatif kecil, bila dibandingkan dengan satuan pendidikan di luar Departemen Agama. Padahal dilihat dari aspek fungsi, tugas dan peranan kelembagaan satuan pendidikan madrasah memikul tanggung jawab yang sama dengan satuan pendidikan lainnya. Salah satu kelemahan mendasar dalam sistem pembiayaan pendidikan di madrasah ialah alokasi biaya penyelenggaraan tidak didasarkan pada analisis komponen-komponen dan aktifitas-aktifitas manajemen yang harus dibiayai secara riil. Dan ketika  menghitung kebutuhan biaya per siswa masih didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru. Sehingga, pada saat menentukan besaran anggaran untuk satu satuan pendidikan pun kurang dapat dipertanggungjawabkan secara riil.
Studi ini bertujuan untuk menghitung biaya minimal pendidikan pada masing-masing jenjang pendidikan  madrasah swasta, baik untuk tingkat MI dan MTs. Berdasarkan tujuan umum tersebut, maka tujuan khusus studi ini ialah untuk mendapatkan informasi tentang:
1) Komponen-komponen yang harus dibiayai dalam penyelenggaraan satuan pendidikan pada masing-masing jenjang pendidikan madrasah swasta tingkat MI dan MTs;
2) Aktivitas-aktivitas dari setiap komponen yang harus dibiayai dalam penyelenggaraan satuan pendidikan di masing-masing jenjang pendidikan madrasah swasta tingkat MI dan MTs;
3) Besaran jumlah biaya satuan minimal pendidikan pada masing-masing jenjang pendidikan madrasah.
Penelitian ini  berkesimpulan  bahwa Komponen-komponen yang seharusnya dibiayai dalam penyelenggaraan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan madrasah swasta tingkat MI dan MTs agar memiliki kualitas dan daya saing dengan jenis-jenis pendidikan persekolahan lainnya adalah meliputi; Komponen Kesejahteraan Personel terdiri dari;
a) Gaji/honor, b) Tunjangan, c) Kesra, d) Transport, e) Seragam, f) Kelebihan jam mengajar/kerja, g) THR, h) Dana Sosial, i) Insentif atas prestasi. Komponen Pengembangan Personel terdiri dari; a) Kegiatan lokakarya, b) Seminar, c) Magang, d) Pelatihan-pelatihan, e) Penataran-penataran. Komponen Penunjang KBM terdiri dari; a) Pensil, b) Pulpen, c) Berbagai Jenis Tinta, d) Berbagai Jenis Penghapus, e) Berbagai Jenis Buku, f) Berbagai Jenis Kertas, g) Berbagai Jenis Penggaris, h) Berbagai Jenis Amplop, i) Berbagai Jenis Spidol, j) Stepler. Komponen Pemeliharaan dan Penggantian terdiri dari; a) Penyediaan Alat dan Bahan Kebersihan, b) Pengecatan Tembok Gedung dan Pagar, c) Penggantian Genteng yang Rusak, d) Pemeliharaan Mebel, e) Pemeliharaan Kelas, f) Pemeliharaa Kelas, g) Pemeliharaan Kantor, h) PemeliharaanHalaman, i) Pemeliharaan Alat Pelajaran. Komponen Daya dan Jasa terdiri dari; a) Langgana Telepon, b) Listrik, c) Air, d) Koran, e) Gas. Komponen Pembinaan Kesiswaan terdiri dari; a) Pramuka, b) PMR, c) UKS, d) Prestasi Olah raga, e) Prestasi Kesenian, f) Lomba Cerdas Cermat, g) Perpisahan kelas terakhir, h) Kegiatan Keagaaan, i) Majalah Dinding, j) Buletin Madrasah, k) lain-lain. Komponen Rumah Tangga Madrasah (Overhead) terdiri dari; a) Rapat Intern Sekolah, b) Rapat Tingkat Kecamatan, c) Rapat Tingkat Kabupaten, d) Overhead Pembinaan oleh Depag/Diknas, e) Overhead Tamu LSM, f) Overhead Tamu Wartawan, g) Menjamu Tamu dan Aparat Pemerintah, h) Overhead Tamu Lainnya, i) Penyusunan dan Pelaporan.
Beberapa rekomendasi yang perlu menjadi perhatian, yaitu: 1) Biaya minimal untuk setiap komponen pembiayaan operasional madrasah memiliki kesenjangan yang tinggi dan bervariasi untuk setiap propinsi, dan konsekuensinya prosentase kesenjangan itu harus dapat dipenuhi.  Pemerintah dapat melakukan bermacam cara untuk membantu madrasah diantaranya dengan bentuk bantuan langsung berupa biaya kegiatan madrasah atau bentuk pembantuan dalam melibatkan masyarakat melalaui stimulasi kepada komite madrasah; 2) Untuk mengetahui kebenaran dari biaya operasional maksimal yang diperlukan dalam penyelenggaraan madrasah, perlu dilakukan studi yang secara khusus menggali sisi maksimal kebutuhan pembiayaan madrasah dengan pola pelibatan madrasah dalam pelatihan dan penyusunan rencana anggaran belanja madrasah; 3) Besar kecilnya biaya satuan minimal dan maksimal (menurut pengakuan pada kepala madrasah/responden) pada MIS dan MTsS di masing-masing daerah, belum mencerminkan kebutuhan biaya minimal dan maksimal yang sesungguhnya yang dianggap oleh tim studi merupakan komponen yang memicu aktivitas yang harus dibiayai secara ideal pada madrasah, pada kenyataannya oleh para pengelola madrasah dianggap kompoen yang di sinyalir hanya berlaku untuk madrasah/sekolah negeri.  Sehingga, komponen minimal dan maksimal yang harus dibiayai tidak dianggap sebagai yang harus dibiayai oleh madrasah swasta.  Sekalipun komponen itu ada dan dilakukan madrasah swasta, pembiayaannya hanya mengandalkan sumbangan, infak, atau keikhlasan pribadi personil untuk melaksanakan aktivitas tersebut; 4) Perubahan budaya keterlibatan masyarakat dalam madrasah dari pola lama harus dirubah ke dalam pola baru dimana masyarakat terlibat tidak hanya sekedar pada infak tentatif akan tetapi sampai kepada infak yang bekelajutan; 5) Komponen-komponen kritis yang ditemukan dari prosentase kesenjangan antara biaya minmal dan maksimal dari sisi kebutuhan biaya harus menjadi perhatian dalam pembiayaan pendidikan di madrasah. Sehingga apabila ada pola-pola bantuan dari pemerintah baik yang berupa proyek maupun bantuan lainnya mengutamakan komponen tersebut.  Dengan demikian prioritas bantuan pemerintah ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan pembiayaan yang tidak dapat dipenuhi pada komponen-komponen yang bersangkutan; 6) Untuk memperkecil disparitas dari pembiayaan yang beragam, maka perlu standarisasi minimal dalam pembiayaan yang meliputi komponen-komponen tersebut dalam kesimpulan.  Juga model dan proses pembiayaan yang dilakukan mengacu kepada standar yang dikembangkan, contoh untuk kasus madasah yang dalam pembiayaannya masih tergantung kepada sumber perorangan ataupun yayasan dengan pola pengeluaran uang karena kebutuhan mendesak; 7) Perhitungan satuan biaya operasional ninimal dan maksimal untuk MIS dan MTsS di setiap wilayah, sebagaimana ditunjukan pada tabel-tabel di atas,masih bersifat versi lapangan (kepala madrasah/responden).  Untuk menghitung dan menganalisis biaya satuan yang benar-benar ideal, diperlukan proses analisis dengan mempertimbangkan bukan hanya sekedar pengakuan dan harapan pengelola madrasah, namun harus pula mempertimbangkan karakteristik politik, sosial ekonomi masyarakat daerah (PDRB, daya beli/pendapatan per kapita masyarakat, laju inflasi, dan pertimbangan para ahli.  Dengan demikian, diperlukan pengkajian yang mendalam tentang model-model pengelolaan pembiayaan madrasah yang sesuai dengan karakteristik dan tipologi masyarakat dimana madrasah itu berada.

Pendidikan Dalam Keluarga

Written By Unknown on Senin, 20 Mei 2013 | 12.20

Pendidikan dalam Keluarga adalah tanggungjawab orang tua, dengan peran Ibu lebih banyak. Karena Ayah biasanya pergi bekerja dan kurang ada di rumah, maka hubungan Ibu dan anak lebih menonjol. Meskipun peran Ayah juga amat penting, terutama sebagai tauladan dan pemberi pedoman. Kalau anak sudah mendekat dewasa peran Ayah sebagai penasehat juga penting, karena dapat memberikan aspek berbeda dari yang diberikan Ibu. Oleh karena hubungan Ayah dan anak terbatas waktunya, terutama di hari kerja, maka Ayah harus mengusahakan agar pada hari libur memberikan waktu lebih banyak untuk bersama dengan anak.
Jika penghasilan keluarga tergantung pada penghasilan Ayah yang kurang memadai untuk kehidupan keluarga dapat menimbulkan persoalan pendidikan yang tidak sedikit. Ada pendapat berbeda tentang pendidikan dalam keluarga, yaitu tentang pemberian kebebasan kepada anak. Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya sejak permulaan diberikan kebebasan maksimal kepada anak. Dalam hal ini faktor pendidikan kepada anak sudah berakhir sebelum anak itu dewasa. Dalam kenyataan terbukti bahwa keluarga yang menerapkan pendidikan keluarga dapat menghasilkan pribadi-pribadi anak yang menjadi baik. Pendidikan dalam Keluarga dapat memberikan pengaruh besar terhadap karakter anak. Sebab itu kunci utama untuk menjadikan pribadi anak menjadi baik yang terutama terletak dalam pendidikan dalam keluarga.
Dan karakter yang ditumbuhkan adalah faktor yang amat penting dalam kepribadian anak, karena banyak mempengaruhi prestasi dalam berbagai bidang. Ilmu pengetahuan dan kemampuan teknik adalah penting untuk pencapaian keberhasilan, tetapi tidak akan mampu mencapai hasil maksimal kalau tidak disertai karakter. Hal itu terutama karena pada waktu ini faktor karakter kurang menjadi perhatian dalam penyelenggaraan pendidikan. Ini semua harus menjadi salah satu hasil penting usaha pendidikan, baik pendidikan dalam keluarga, pendidikan sekolah maupun pendidikan dalam masyarakat. Akan tetapi karena pendidikan pada anak paling dulu dilmulai dalam pendidikan dalam keluarga, maka pendidikan dalam keluarga yang seharusnya memberikan dasar yang kemudian diperkuat dan dilengkapi dalam pendidikan sekolah dan pendidikan dalam masyarakat.
Akhirnya memang tergantung pada para orang tua sendiri apakah pedoman itu dilaksanakan atau tidak. Akan tetapi karena secara alamiah orang tua ingin anaknya menjadi baik dan sukses, maka banyak kemungkinan orang tua akan berusaha menerapkan pedoman itu dalam hidup mereka.

Menelusuri Jejak Hamka di Maninjau

Written By Unknown on Rabu, 15 Mei 2013 | 13.24

Siapa yang pernah menyinggahi Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tentu tak pernah melupakan panorama indah danau berair biru itu. Pemandangan Danau Maninjau dapat disaksikan dari jalan Kelok Ampek Puluah Ampek. Bak lukisan, keindahan alam ciptaan Tuhan itu memberi banyak inspirasi bagi orang-orang yang pernah lahir dan besar di negeri itu.
Indah dan menakjubkan! Itulah kesan pertama saya ketika berkesempatan menyinggahi Maninjau dalam perjalanan menuju Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang, kampung kelahiran ulama besar Ranah Minang, Buya Hamka. Jalan berkelok-kelok, bukit yang menghijau, hamparan sawah dengan padi yang menguning, pedati dengan anak-anak yang tergelak gembira di atasnya, menciptakan senandung alam yang sangat melankolis. Sungguh, Maninjau sebuah negeri wisata yang menarik minat banyak wisatawan, baik domestik maupun mancanegara untuk datang ke sana.
Dalam buku Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, ulama pejuang itu menulis; “Saya sangat terkesan pada desa kelahiran saya. Saya sudah sering keliling dunia, tapi rasanya tidak ada pemandangan yang seindah Maninjau. Desa itu pun mempunyai arti penting bagi hidup saya. Begitu indahnya seakan-akan mengundang kita untuk melihat alam yang ada dibalik pemandangan itu…”
Keindahan alam Maninjau itu pula, sempat menggerakkan tangan mantan Presiden RI Ir. Soekarno, menulis sebait pantun, “Jika adik memakan pinang, makanlah dengan sirih hijau, jika adik datang ke Minang, jangan lupa singgah ke Maninjau…”
Pantun Soekarno itu terketik rapi pada selembar kertas putih berbingkai yang digantung pada dinding ruang tengah Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka di Kampung Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang, Maninjau. Tulisan itu berjudul “Kenang-kenangan Hidup”. Bung Karno berucap, “Maninjau yang indah permai”. Dengan danaunya yang dahsyat, dengan sawahnya bersusun, dengan jalannya berkelok, terlukis dalam sanubari Bung Karno sebagai negerinya sendiri.
Nagari Sungai Batang memang terletak di tepi Danau Maninjau. Danau yang dikelilingi bukit Barisan itu, laksana telaga biru yang sangat indah dipandang mata. Dari jalan Kelok 44 (Minang: Kelok Ampek Puluah Ampek), secara utuh panorama keindahan alam Danau Maninjau bak lukisan itu dapat dinikmati. Tak ada yang tak takjub menyaksikan ke-Mahabesaran Tuhan itu.
Meski kampung itu bernama Sungai Batang, namun Batang bukanlah nama sebuah sungai. Tak ada sungai besar di Maninjau. Danau Maninjau, konon menurut tetua-tetua setempat, dibentuk oleh letusan Gunung Api Sitinjau yang berada di tengah-tengah danau yang meletus sekitar 700 tahun silam. Gunung api itu kini tak tampak lagi karena telah meletus dan membentuk kawah besar. Itulah asal usul Danau Maninjau. Ketika cuaca berobah, air danau sering ikut berobah, kadang berwarna putih susu, hitam, kuning dan biru. Kadang penduduk sekitar mencium aroma belerang yang dibawa angin dari danau.
Nagari Sungai Batang hanya memiliki luas 17,38 km² dengan batas-batas, sebelah Utara Danau Maninjau dan Batang Maninjau, sebelah Timur Kecamatan Matur dan Malak, sebelah Selatan Nagari Tanjung Sani dan sebelah Barat Danau Maninjau. Masyarakat sekitar Danau Maninjau, di Sungai Batang khususnya, mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, pedagang dan keramba ikan. Ikan danau namanya Bada (semacam ikan bilih), namun masyarakat umumnya beternak ikan Nila dan Gurami yang mereka panen sekali 3 bulan.
Sekarang, suasana di Sungai Batang telah tersentuh modernisasi. Jalan-jalan kampung telah beraspal hotmix, penerangan telah masuk, begitu pula alat-alat telekomunikasi telah dimanfaatkan mayoritas masyarakat di Sungai Batang.
Yang menarik, bangunan-bangunan rumah penduduk di Sungai Batang masih mempertahankan arsitektur rumah-rumah lama layaknya zaman Belanda. Rumah-rumah yang unik dan bernilai khas. Pintu rumah yang lebar dan tinggi, ukiran-ukiran dinding yang indah, berlantai dua, ada yang beton ada pula yang terbuat dari kayu papan. Semuanya tampak kokoh meski ketuaan usia nyaris menghilangkan nilai sejarahnya.
Dengan dipugarnya rumah Buya Hamka menjadi Museum Kelahiran Buya Hamka yang diresmikan pada tanggal 11 November 2001, bagi masyarakat sekitar membawa berkah tersendiri. Museum itu pun nyaris tak pernah sepi setiap hari dari berbagai kunjungan, terutama wisatawan asal Malaysia. Dampaknya pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar pun hidup. Ada masyarakat yang membuka warung, menjual makanan dan minuman, seouvenir, bahkan menjual buku-buku karangan Buya Hamka.
Azizah Rusli (65), yang masih kemenakan Buya Hamka, melakoni aktivitasnya sebagai penjual buku-buku hasil karangan Buya Hamka, tepat di ruang depan rumahnya yang berhadapan dengan museum Buya Hamka. Meski tak seluruhnya buku-buku Buya Hamka ia jual, namun profesi yang ia geluti sejak tahun 2002 itu setidaknya membantu dirinya dan keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Alhamdulillah, keuntungannya lumayan karena yang beli umumnya turis asing khususnya dari Malaysia. Mereka banyak yang ingin mengetahui lebih dalam tentang karya-karya Buya Hamka,” kata Azizah Rusli yang mengaku mendapatkan buku-buku itu dari salah satu penerbit besar di Jakarta.
Beberapa buku yang dipajang Azizah Rusli pada sebuah etalase berukuran sedang di rumahnya, diantaranya berjudul Tasawuf Modern, Tafsir Al Azhar, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Falsafah Idiologi Islam, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Dilamun Ombak Masyarakat, Islam dan Demokrasi, Revolusi Adat, Revolusi Islam, dan beberapa judul lainnya. Buku-buku yang dijual Azizah Rusli itu pun berharga variasi, mulai harga Rp40.000,-an hingga ratusan ribu, seperti Tafsir Al Azhar yang berjumlah beberapa jilid.
Karena masih ada hubungan kekeluargaan, Azizah Rusli memandang Buya Hamka sebagai sosok ulama yang cukup berwibawa di kampungnya. Hamka juga seorang yang lembut, penyabar, meski di masa kecil Hamka dikenal banyak orang di kampungnya sebagai anak yang nakal. Setelah ia menjadi ulama, ilmu ayahnya, Inyiak DR. Abdul Karim Amrullah yang juga seorang ulama besar di Maninjau, seolah diwarisi utuh oleh Hamka.
“Buya Hamka memang jarang pulang ke kampung. Ia lebih banyak diluar, namun orang kampung banyak menghormatinya,” kenang Azizah Rusli.
Warisan Hamka
Hanif Rasyid Khatib Rajo Endah (70), pengelola Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka yang juga anak kandung Buya Sutan Mansur (guru pertama Buya Hamka) dengan Umi Fatimah Karim (kakak kandung Buya Hamka), adalah pengagum sosok Buya Hamka. Sejak rumah kelahiran Buya Hamka dipugar, Hanif Rasyid bersama kemenakannya Akhyar Saputra (35) setia menerima berbagai tamu yang datang menziarahi rumah kelahiran Buya Hamka.
Di rumah Buya Hamka yang sederhana itu, puluhan foto-foto kenangan terpajang di dinding-dinding hampir setiap sudut ruangan, ratusan buku, majalah dan arsip-arsip tentang Buya Hamka tersimpan rapi dalam almari kaca. Di ruang tengah rumah itu juga masih menyimpan kursi tua peninggalan orang tua Hamka Inyiak DR, tongkat Buya Hamka (8 buah), baju wisuda ketika Buya Hamka menerima anugerah Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dan sebuah koper tua ketika Buya Hamka pertama kali berangkat haji ke tanah suci.
Di ruang kamar, sebuah tempat tidur dengan kain kelambu berwarna putih masih terlihat kokoh. Di atas kasur tempat tidur itu ada sebuah kertas yang bertuliskan “tempat tidur DR. H. Abdul Karim Amrullah”. Tempat tidur itu dibatasi oleh sebuah tali dengan papan pengumuman di atasnya, “dilarang melewati lintasan”. Artinya, tempat tidur Buya Hamka yang juga tempat pertama kali ia dilahirkan hanya bisa dilihat saja dan tidak boleh disentuh. “Kalau tersentuh, khawatir akan rusak karena tempat tidur itu sudah berusia tua,” kata Hanif Rasyid.
Setiap tahunnya wisatawan yang berkunjung ke Museum Kelahiran Buya Hamka mencapai 6.000-an orang. Rumah kelahiran Buya Hamka itu dibuka dari pukul 8.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB. “Namun jika kunjungan banyak sampai sore hari, kami tetap melayani agar tamu tidak kecewa,” kata Hanif Rasyid.
Setiap kali pengunjung yang datang ke Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka, Hanif Rasyid selalu berdakwah memberi wejangan, yang tidak lain adalah pesan-pesan Buya Hamka kepada umat. “Buya Hamka meninggalkan empat pesan yang sangat menyentuh bagi orang-orang yang beriman,” kata Hanif Rasyid.
Keempat pesan itu, pertama, orang yang pintar adalah orang yang merasa bodoh. Kedua, orang yang bisa berhubungan dengan yang Maha Suci adalah orang yang mensucikan diri. Ketiga, orang yang berbahagia adalah orang yang tahu kampung halamannya. Dan keempat, ketika rumahku diketuk oleh kemiskinan, aku buka jendela dan aku melompat keluar. “Pesan-pesanya ini sangat menggugah dan merupakan bekal akhirat bagi umat yang paham jalan hidupnya di dunia,” ujar Hanif Rasyid.
Tentang Hamka
Hamka adalah nama kependekan ulama besar Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ia dilahirkan di Tanah Sirah Nagari Sungai Batang Maninjau Pada Tanggal 13 Muharram 1326 Hijriyah bertepatan tanggal 16 Februari 1908 dari pasangan DR. Abdul Karim Amrullah dan Syafiyah.
Buya Hamka dalam memoarnya mengatakan, “Ayahku menaruh harapan atas kelahiranku agar aku kelak menjadi orang alim pula seperti ayahnya, neneknya dan nenek-neneknya terdahulu”. Ketika Hamka lahir, ayahnya mengatakan kepada neneknya bahwa dia akan dikirim ke Mesir agar menjadi ulama kelak setelah berusia sepuluh tahun.
Sepanjang hidupnya Buya Hamka tak henti-hentinya menulis dan berpidato. Profesinya itu telah menghasilkan lebih dari 100 buah buku, ratusan makalah, essay dan artikel yang tersebar dalam berbagai media massa. Buya Hamka membangun reputasinya sebagai pengarang yang menulis berbagai hal. Ia juga seorang wartawan dan editor di berbagai majalah, di samping itu menulis cerita pendek dan novel romantis di masa-masa sebelum perang.
Hamka adalah satu di antara pengarang terpintar diluar kalangan kesusasteraan yang resmi seperti ditulis oleh Prof. A Teeaw. Dikatakan demikian karena Hamka tidak bisa dimasukkan sebagai pengarang Angkatan Balai Pustaka. Karya Hamka mulanya muncul dalam majalah Islam, Pedoman Masyarakat dan cerita bersambung. Karena itu ia dapat disebut sastrawan “berhaluan Islam” dan menjadikan kesusateraan sebagai alat dakwah.
Dalam usia 16 tahun Hamka telah merantau ke Jawa. Alasannya karena kakak perempuannya, Fatimah Karim Amrullah, ikut suaminya Buya A.R. St. Mansyur berdagang batik di Pekalongan. Di sini, ia benar-benar menunjukkan minat belajar yang dipimpin oleh adik ayahnya, Jafar Amrullah yang menuntut ilmu di Jogya.
Dasar-dasar pengetahuan agama yang telah diperoleh di kampung, dimanfaatkan Hamka untuk memahami ceramah-ceramah Ki Bagus Hadikusumo tentang tafsir Alquran di Kampung Kauman, Yogyakarta.
Di samping itu, Hamka mengikuti kursus politik yag diberikan oleh tokoh-tokoh Serikat Islam, seperti H.O.S. Tjokroaminoto. Sehingga ia dapat memahami gagasan-gagasan sosialisme dalam masyarakat Islam. Dengan R.M. Suryo Pranoto ia mendapatkan pelajaran sosiologi dan dengan H. Fakhruddin, Ketua Muhammadiyah yang juga menjadi bendaharawan SI ketika itu, ia mendapatkan wawasan keislaman yang lebih baik dari apa yang diperolehnya di kampung. Ketika itu, komunis sedang menyebarkan pahamnya di Minangkabau, sehingga ia mudah dapat mengetahui perobahan-perobahan politik yang sedang terjadi.
Dia menyaksikan tumbuhnya pertentangan-pertentangan antara golongan Islam, Marxis, dan Nasionalis Sekuler dan telah menetapkan arahnya sendiri dengan hanya berjuang atas dasar keislaman. Dengan bekal itu ia berangkat ke Pekalongan belajar tentang Tauhid dan keislaman lebih mendalam, sehingga tumbuhlah pribadi muslim yang kuat pada dirinya.
Sebagai sastrawan, dalam karyanya Buya Hamka banyak memberikan kritik terhadap pelaksanaan adat Minangkabau yang tidak sesuai dengan agama. Beberapa di antara karya sastranya adalah, Si Sabariah (roman yang dicetak dengan huruf arab berbahasa Minangkabau), Laila Majnun, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Merantau ke Deli, Mati Mengandung Malu (terjemahan dari Manfaluthi), Terusir, Margaretha Gauthier, Tuan Direktur, Dijemput Mamaknya, Menunggu Bedug Berbunyi, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Empat Bulan di Amerika, Mengembara di Lembah Nil dan Di Tepi Sungai Dajlah Lam.
Buya Hamka, di Sungai Batang kampung halamannya, adalah sosok yang biasa-biasa saja bagi masyarakat sekitar. Namun semua orang tahu, bahwa Buya Hamka besar di rantau karena pemikirannya yang ingin maju dan berontak dari kemiskinan, mengkritisi adat yang kaku dan polemik keagamaan yang ketika itu menjadi konsumen publik yang sedang mencari jati diri hidup di zaman usai kemerdekaan.
Segi yang amat menarik tentang Buya Hamka, baik di kampung halamannya maupun di rantau, ialah kepribadian dan gaya hidupnya. Beliau ramah, rendah hati, murah senyum dan menyenangkan dalam percakapan perjamuan. Semua orang mengakui. Dan, bergaul dengan Hamka adalah suatu pengalaman yang sangat mengesankan. Tidak sedikitpun terasa ketinggian hati atau keangkuhan. Wajah Hamka yang teduh, seteduh dan sedamai kampung halamannya, Maninjau yang permai.
Oleh: Muhammad Subhan

Pengunjung

Rekening Donasi



 
Copyright © 2012. Website Resmi MTs Muhammadiyah Sungai Batang - All Rights Reserved
Jl Lingkar Maninjau Km 5.5 Muaro Pauah Nagari Sungai Batang
Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam 26472
Support : Ranah Maninjau
Created by MPS