Bayangkanlah diri Anda sebagai seorang yang telah lelah dan jenuh mencari makna
kehidupan di dunia ini. Bayangkan diri Anda yang jemu melihat dunia ini hanya
sebagai tarikan-tarikan persoalan senang dan sedih, berhasil dan gagal, mendapatkan
keuntungan dan kebahagiaan; demikian pula dengan berbagai tekanan kehidupan,
hantaman kesedihan dan terpaan penderitaan. Anda, tanpa menyadarinya, telah
terbawa tanpa daya oleh pusaran kehidupan dunia: kelahiran, dibentuk oleh
orangtua dan lingkungan, bersekolah, berkeluarga, bekerja dan mengejar karir,
mendidik anak, dan seterusnya.
Pada suatu titik Anda tersadar,
apa makna dari semuanya ini. Apakah kehidupan hanyalah sekadar pergantian
episode senang dan sedih, baik dan buruk, hingga datang saat kematian kelak?
Apakah benar-benar tidak ada makna yang lebih hakiki daripada sekadar mencoba
menggapai kesuksesan, memiliki pendapatan yang cukup untuk hidup senang dan
mempersiapkan bekal pendidikan anak-anak? Bukankah itu berarti bahwa kita juga
hanya mengarahkan anak-anak kita menuju pengulangan-pengulangan tanpa makna
yang persis sama dengan yang kita jalani? Sebuah rutinitas kehidupan yang juga
akan memerangkap mereka, sama seperti kita yang telah terperangkap di dalamnya.
Bayangkan ketika Anda tersadar bahwa ‘agama’ yang selama ini diajarkan pada Anda hanyalah ritual tanpa makna batin. Bahwa agama seakan-akan hanyalah seleksi untuk memasuki surga atau neraka berdasarkan banyaknya pahala. Buku-buku yang Anda baca semuanya langsung menjelaskan cara, tanpa bisa menerangkan landasan yang paling fundamental: Apa arti semua ini sebenarnya? Apakah kehidupan akan sedangkal ini, hingga hari kematian kelak? Didiktekan kepada Anda bahwa manusia diciptakan untuk beribadah, tapi beribadah yang seperti apa? Bisakah Anda tekun melaksanakan ibadah tanpa sedikit pun memahami maknanya?
Bayangkan ketika Anda tersadar bahwa ‘agama’ yang selama ini diajarkan pada Anda hanyalah ritual tanpa makna batin. Bahwa agama seakan-akan hanyalah seleksi untuk memasuki surga atau neraka berdasarkan banyaknya pahala. Buku-buku yang Anda baca semuanya langsung menjelaskan cara, tanpa bisa menerangkan landasan yang paling fundamental: Apa arti semua ini sebenarnya? Apakah kehidupan akan sedangkal ini, hingga hari kematian kelak? Didiktekan kepada Anda bahwa manusia diciptakan untuk beribadah, tapi beribadah yang seperti apa? Bisakah Anda tekun melaksanakan ibadah tanpa sedikit pun memahami maknanya?
Bayangkan ketika Anda mulai
berani jujur pada diri sendiri, bahwa kitab suci yang ketika Anda mencoba
membacanya terasa abstrak, acak dan tak terjangkau maknanya. Anda mulai
bertanya-tanya, ketika kitab suci memanggil ‘Wahai orang-orang yang beriman..’,
benarkah Anda termasuk di dalamnya? Apa yang bisa membuktikannya? Dan Anda
mulai tidak lagi merasa yakin bahwa Anda tidak termasuk ke dalam kaum yang
disebutkan di sana, ketika kitab suci berbicara tentang golongan manusia yang
tersesat.
Maka Anda pun mulai mencari
panutan, orang yang dapat Anda jadikan pembimbing kehidupan Anda. Mulailah Anda
mengikuti pengajian ini dan itu. Memaksakan diri untuk meraih serpihan makna
yang mungkin terserak di dalamnya. Tapi ternyata, setelah sekian lama, Anda
tidak juga memperolehnya.
Pada satu titik, ada hujaman
pertanyaan yang mendobrak keluar dari kepala Anda: mengapa kata ‘Islam’ lebih
banyak disebutkan daripada kata ‘Allah’? Mengapa semuanya hanya diatasnamakan
‘demi Islam’, dan bukan ‘demi Allah’? Mengapa semua hanya mengingat ‘Islam’,
dan seakan melupakan Allah? Di mana Allah? Akhirnya Anda mulai merindukan
hakikat.
Dalam keputusasaan, ketika
kehampaan hidup yang demikian getir tak bermakna terasa begitu menusuk, Anda
bersujud dan menangis. Anda berdoa penuh harap pada-Nya, pada Dia yang Anda
percaya bahwa Dia Maha Mendengar. Anda panjatkan doa bahwa Anda
membutuhkan-Nya, bahwa Anda menginginkan pemahaman akan arti ini semua. Anda
memohon untuk ditunjukkan jalan pulang, untuk kembali kepada-Nya. Anda merasa
tidak mengerti apa-apa tentang Allah, Tuhan yang seharusnya Anda sembah. Anda
merasa hanya secara mekanistik berlaku menyembah sesuatu yang belum Anda
pahami. Hanya setitik harapan yang menjadi setitik benih permohonan Anda,
seberkas keyakinan bahwa Dia Maha Mendengar doa Anda. Setitik harapan bahwa
kelak Dia akan bersedia mengajarkan pada Anda, membuka diri-Nya mengenai siapa
Dia sebenarnya.
Di bawah rahmat-Nya, dengan
pertolongan-Nya, tanpa Anda sadari, Anda mulai ditunjuki-Nya. Pada suatu hari,
dipertemukan-Nya Anda dengan seseorang yang memahami sepenuhnya apa yang sedang
dan pernah Anda lalui, tanpa Anda bercerita sepatah kata pun. Dengan caranya,
ia membuat Anda paham bahwa tidak ada yang salah dalam kehidupan Anda selama
ini. Ia menjelaskan bahwa semua kegagalan dan kegelisahan ini hanyalah
semata-mata sebuah panggilan sayang dari-Nya kepada Anda, supaya Anda tersadar
bahwa Anda kini telah melupakan hakikat makna kehidupan Anda, sehingga tersesat
menjauh dari jalan lurus-Nya. Semuanya hanyalah undangan-Nya supaya Anda
kembali menyadari kehadiran nafs, diri yang lebih sejati dalam diri Anda, dan
supaya Anda kembali mencari jalan pulang.
Sedikit demi sedikit, semakin
lama Anda tidak bisa memungkiri perasaan bahwa dia mengetahui dan memahami
segalanya tentang diri Anda, juga tentang seluruh kehidupan Anda. Anda tidak
bisa lagi memungkiri bahwa pengajarannya terasa sangat menyegarkan bagi sesuatu
yang ada jauh di dalam diri Anda, entah apa namanya. Dengan penuh
kehati-hatian, sedikit demi sedikit, hati Anda mulai percaya padanya. Lambat
laun keinginan Anda untuk berguru padanya semakin tumbuh kokoh dalam diri, demi
setitik pengetahuan tentang seruas jalan setapak untuk pulang menuju Allah.
Dan akhirnya, pada saatnya Anda
telah matang dan siap, ia membuka dirinya, mengatakan siapa dia sebenarnya.
Allah sendirilah yang telah mengantar Anda untuk bertemu dengannya di suatu
titik dalam kehidupan Anda, dan sudah menjadi tugasnyalah untuk menjemput Anda dan
mengantar Anda pulang kembali pada-Nya. Dia telah menerima tugas Allah untuk
membimbing orang-orang yang rindu akan jalan taubat untuk pulang kepada-Nya,
sebagai seseorang yang Allah telah memberinya tugas kelahiran sebagai seorang
mursyid, seorang pembimbing yang atas izin Allah telah diberi-Nya kemampuan
hakiki untuk menunjukkan jalan menuju Allah Ta‘ala.
Sekarang, dari sekian banyak
orang yang datang menemuinya untuk segala macam keperluan, bayangkanlah bahwa
Anda merupakan salah satu dari sekelompok kecil orang yang diizinkan Allah
untuk menjadi muridnya, sebagai bagian dari sedikit orang yang menjalani setiap
aspek kehidupan langsung di bawah tuntunan dan bimbingan seorang Guru, demi
membangun sebuah kerangka pertaubatan dan pengabdian kepada Allah Ta‘ala.
Buku ini, yang ada di hadapan
Anda, merupakan salinan dari kata-kata seorang mursyid sejati, seorang Guru
(dengan G kapital) yang memiliki tugas kelahiran dari Allah sebagai seorang
pembimbing, yang telah Allah beri kemampuan hakiki untuk menunjukkan setapak
jalan taubat untuk pulang menuju Allah Ta‘ala.
Inilah salinan dari kata-katanya
yang disampaikan kepada sekelompok kecil murid-muridnya. Di dalamnya dijelaskan
cara seorang Guru Sejati dalam membimbing murid-muridnya untuk mengenal jiwanya
sendiri, sebagai langkah awal untuk berjalan menuju Allah*. Di dalamnya juga
dijelaskan bagaimana seorang salik (penempuh jalan taubat) harus
bersikap dalam rangka mendidik dan mendisiplinkan dirinya sendiri. Di dalamnya
juga diisyaratkan tentang berbagai rintangan yang harus dihadapi selama
menempuh perjalanan.
Bagi Anda yang beruntung, yang
telah dipertemukan Allah dengan seorang mursyid hakiki dalam kehidupan, buku
ini akan membantu Anda dalam memahami fenomena-fenomena yang muncul dalam
pembimbingan seorang mursyid terhadap murid-muridnya. Dan bagi Anda yang belum
memilikinya, ataupun berharap suatu saat Allah mempertemukan Anda dengan
seorang mursyid sejati, maka buku ini dapat menjawab keingintahuan Anda
mengenai apa yang terjadi di seputar interaksi antara seorang Guru Sejati
dengan murid-muridnya.
*******
Tidak mudah menerjemahkan
kata-kata dari seseorang yang berada dalam tingkatan nafs rahmaniyyah,
Bawa Muhaiyaddeen, yang oleh penerjemah pertama (dari bahasa Tamil ke dalam
bahasa Inggris), Dr dan Mrs. Ganesan, dikatakan bahwa kalimat-kalimat bahasa
Tamilnya mungkin lebih indah dari seorang Shakespeare seandainya dia berbahasa
Tamil. Apalagi bagi saya yang bukan berangkat sebagai penerjemah profesional,
melainkan hanya dilatarbelakangi sebuah niat agar teman-teman bisa turut
membaca dan menikmati kesegarannya.
Dalam proses penerjemahan, saya
sedikit banyak memahami kesulitan para penerjemah pertama (dari bahasa Tamil),
bahwa bagian yang teramat sulit adalah bagaimana menjaga ‘rasa’ dan makna
esensial dari kalimat-kalimatnya agar tidak lenyap dalam proses peralihan
bahasa, ditambah lagi bahwa buku di hadapan Anda ini merupakan hasil proses
peralihan bahasa yang kedua (dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia). Hampir
semua buku beliau merupakan salinan dari kata-katanya yang diucapkan secara
lisan yang dipindahkan ke dalam bentuk tulisan. Di sisi lain, saya sedapat
mungkin berusaha menghindari istilah-istilah yang rumit, dan sebisa mungkin
menggunakan struktur bahasa maupun istilah yang sederhana dan mudah dipahami.
*******
Dalam kesempatan ini pula,
walaupun bukan saya yang mengarang buku ini, sebagai tanda terima kasih,
pertama-tama saya ingin mempersembahkan penerjemahan buku ini kepada seorang
bapak sepuh di wilayah peraduan matahari barat khatulistiwa, yang tentu saja
sama sekali bukan tanda terima kasih yang layak baginya. Sesempurna-
sempurnanya tanda terima kasih yang layak dipersembahkan bagi Beliau, adalah
ketika sang anak telah berhasil berjuang untuk mengenal Diri Sejatinya,
ketika sang anak berhasil memahami sepenuhnya mengenai apa yang telah
ditetapkan Allah sebagai tugas kelahirannya, ketika perjuangan seorang anak
melawan dirinya sendiri telah ‘membuat-Nya percaya’ untuk menyematkan secercah
api kesucian di dalam dada. Karena saya masih sangat jauh dari meraih
pengenalan diri, inilah persembahan kecil saya bagi beliau yang dapat saya
bawakan.
Yang kedua adalah untuk keluarga
Depok tercinta, bagi tuan rumah beserta sang istri, juga sang adik serta adik
iparnya, juga dua orang mentor kami di sana, yang telah menyediakan surga
mungil tempat tinggal mereka menjadi tempat kami berkumpul dan mengaji, shalat
berjamaah di akhir malam, ditambah dengan segala macam makanan dan minuman, whiteboard
dan spidolnya, memfasilitasi kami serta membiarkan kami menyita malam-malam
istirahat dan waktu untuk keluarga mereka, menerima segala pertanyaan dan
keluh-kesah kami selama bertahun-tahun semenjak awal sekali kami mengikuti
kajian-kajian hingga sekarang, pada saat penerjemahan buku ini dimulai.
Tidak lupa, juga untuk belahan
jiwa sejatiku tersayang, sang kembaran sayapku, semoga kita berdua semakin
dikaruniai-Nya pemahaman bahwa hanya ketika sepasang sayap mengepak serentak
dan bersama-samalah kita dapat terbang melintasi batas cakrawala, terbang
menuju-Nya, untuk sujud berkenalan dengan-Nya.
Untuk semua saudara-saudaraku
tercinta, saya persembahkan sekeping kecil pecahan kaca ini untuk melengkapi
kerangka sebuah cermin agung yang sedang kita bangun bersama-sama, agar citra
agung nama-nama-Nya dapat terpantul di permukaannya.
Untuk ibunda tercinta, atas
segala bentuk pengorbanannya yang tak terkira bagi anaknya yang selalu membuat
masalah dan tak tahu terima kasih ini. Tidak akan pernah saya mampu
mengembalikan segala pengorbanan maupun curahan kasih sayangnya. Semoga
Allah-lah yang menyayangi Ibu dengan limpahan cinta sejati-Nya yang Maha Agung.
Semoga Dia, Sang Maha Pemberi
Rahmat dan Berkah berkenan menjadikan itu semua sebagai amal shalih kita, yang
membuat-Nya merasa percaya untuk menyingkapkan sedikit cadar wajah-Nya yang
Mahasuci pada kita semua.
Jakarta,
20 Ramadhan 1423 H,
24 November 2002 M,
24 November 2002 M,
Penerjemah,
Herry Mardian
—
*) Perhatikan hadits yang termasyhur di kalangan penempuh jalan menuju Allah, “Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu.” Siapa yang ‘arif (sepenuhnya telah memahami) tentang nafs (jiwa)-nya sendiri, maka ia akan ‘arif pula tentang Rabb-nya.
*) Perhatikan hadits yang termasyhur di kalangan penempuh jalan menuju Allah, “Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu.” Siapa yang ‘arif (sepenuhnya telah memahami) tentang nafs (jiwa)-nya sendiri, maka ia akan ‘arif pula tentang Rabb-nya.
Juga kata-kata sahabat Ali r.a, “Awaluddiina
ma’rifatulLah.” Awalnya ad-diin (agama) adalah ‘arif
tentang Allah.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !