Latest Post
Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan
Foto Tenaga Pendidik dan Kependidikan MTsS Mhd. Sungai Batang TP. 2015-2016
Written By Unknown on Selasa, 22 September 2015 | 14.11
Rahmah El-Yunusiyyah "Pelopor Pendidikan Muslim Indonesia"
Written By Unknown on Senin, 08 Juli 2013 | 12.42
Dalam dunia pendidikan islam, Rahmah el-Yunusiyah merupakan pelopor
bagi pendidikan muslimah di Indonesia maupun Dunia. Pada usianya yang
relatif muda, 23 tahun, Rahmah el-Yunusiyah telah mendirikan lembaga
pendidikan khusus bagi kaum perempuan, yaitu Diniyah School Putri (1923
M.) guna memberikan pendidikan bagi kaum perempuan Minang pada masa itu.
Diniyyah School Putri merupakan sebuah langkah maju dalam pendidikan muslimah di Indonesia bahkan di dunia. Karena sekolah yang digagas oleh Rahmah el-Yunusiyah ini tidak hanya memberikan pelajaran agama maupun umum, tetapi juga mengajarkan berbagai keterampilan yang diperlukan oleh seorang muslimah sebagai ibu yang mandiri. Maka ketika Rektor Universitas Al-Azhar Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyyah Putri pada 1955, beliau tertarik dengan sistem pembelajaran khusus yang diterapkan disana dan menginspirasinya untuk mendirikan Kuliyyatul-Lil-Banat (kampus Al-Azhar khusus putri) di Universitas Al-Azhar. Dan Rahmah pun dinobatkan sebagai Syaikhah (Guru Besar Wanita) pertama dari Universitas Al-Azhar.[1]
Biografi Rahmah el-Yunusiyyah
Rahmah el-Yunusiyah lahir di sebuah rumah gadang jalan Lubuk Mata Kucing, Kanagarian Bukit Surungan, Padang Panjang pada hari jum’at tanggal 29 Desember 1900 M, bertepatan dengan tanggal 1 Rajab 1318 H, dari keluarga Syekh Muhammad Yunus dan Rafi’ah. Terlahir sebagai anak terakhir dari lima bersaudara yaitu Zainuddin Labay (1890-1924 M), Mariah (1893-1972 M), Muhammad Rasyad (1895-1956 M), dan Rihanah (1898-1968 M). Namun Rahmah masih mempunyai saudara lain ibu, yaitu Abdus Samad, Hamidah, Pakih Bandaro, Liah, Aminuddin, Safiah, Samihah dan Kamsiah.
Ayah Rahmah el-Yunusiyah, Syekh Muhammad Yunus adalah seorang ulama besar di zamannya. Syekh Muhammad Yunus (1846-1906 M) menjabat sebagai seorang Qadli di negeri Pandai Sikat dan pimpinan Tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah. Selain itu Syekh Muhammad Yunus juga ahli ilmu falak dan hisab. Ia pernah menuntut ilmu di tanah suci Mekkah selama 4 tahun. Kakeknya ialah Syeikh Imaduddin, tokoh tarekat Naqsabandiyyah di Minangkabau.[2] Ulama yang masih ada darah keturunan dengan pembaharu Islam yang juga seorang tokoh Paderi, Tuanku Nan Pulang di Rao.
Adapun ibunda Rahmah el-Yunusiyah yang biasa disebut Ummi Rafi’ah, nenek moyangnya berasal dari negeri Langkat, Bukittinggi Kabupaten Agam dan pindah ke bukit Surungan Padang Panjang pada abad XVIII M yang lalu. Ummi Rafi’ah masih berdarah keturunan ulama, empat tingkat diatasnya masih ada hubungan dengan mamak Haji Miskin, sang pembaharu gerakan Paderi. Ummi Rafi’ah yang bersuku Sikumbang adalah anak keempat dari lima bersaudara. Ia menikah dengan Syekh Muhammad Yunus saat berusia 16 tahun, sedangkan Syekh Muhammad Yunus berusia 42 tahun.
Dalam usia enam belas tahun Rahmah menikah dengan seorang alim dan mubaligh bernama Haji Bahauddin Lathif dari Sumpur Padang Panjang. Perkawinan ini tidak berlangsung lama, hanya enam tahun, pada tahun 1922 keduanya bercerai atas kehendak kedua belah pihak dan selanjutnya menganggap sebagai dua orang bersaudara.
Dari perkawinan ini Rahmah tidak mempunyai anak. Sejak perceraian tersebut, ia tidak bersuami lagi. Rupanya hal ini memberi faedah kepadanya sendiri, sehingga ia dapat menempatkan seluruh hidupnya kepada perguruan yang didirikannya. Ia berpulang ke rahmatullah pada hari Rabu tanggal 9 Zulhijjah 1388 Hijriah atau tanggal 26 Februari 1969 pada pukul 19.30 di rumahnya sendiri di Padang Panjang. Jenazahnya dikuburkan di perkuburan keluarga disamping rumahnya yang juga di samping perguruan yang ia dirikan di pinggir jalan Lubuk Mata Kucing.
Rahmah Kecil yang Haus Ilmu
Sedari kecil, Rahmah tidak pernah mengecap pendidikan formal yang dibuat oleh pemerintah Belanda. Walaupun saat itu sudah ada sekolah Bumiputera tingkat pertama di Minangkabau. Tetapi, Rahmah yang sudah menjadi yatim semenjak kanak-kanak itu mendapatkan pendidikan terbaik dari keluarga dan murid-murid ayahnya.
Engku Uzair Malim Batuah –yang juga murid ayah rahmah- mengajarinya membaca Al-Qur’an semenjak usianya enam tahun. Ketika usianya delapan tahun, Rahmah dituntun tulis–baca huruf latin oleh kakaknya Zainuddin Labay dan Muhammad Rasyad yang pernah belajar di Sekolah Desa. Umi Rafi’ah, ibunya juga ikut mengajari Rahmah berhitung dengan angka–angka Arab (angka Melayu).[3] Rahmah juga secara rutin mengikuti pengajian-pengajian dari surau ke surau untuk memambah pengetahuannya di bidang agama. Ia juga dikenal sebagai anak yang rajin membaca buku.
Ketika kakaknya Zainuddin Labay mendirikan Diniyyah School pada tanggal 10 Oktober 1915 berdiri, ia ikut belajar di perguruan ini. Rahmah sempat mengikuti Diniyyah School hingga kelas tiga. Namun ia masih belum puas dengan apa yang ia dapatkan di sekolah ini, ia merasa banyak persoalan yang masih belum terpecahkan, termasuk persoalan wanita.[4] Rasa ketidak-puasannya ini dibicarakan dengan tiga temannya sesama wanita, yaitu Rasuna Said dari Maninjau, Nanisah dari Bulaan Gadang Banuhampu, dan Jawana Basyir (Upik Japang) dari Lubuk Agung. Mereka berempat bersepakat untuk membentuk kelompok belajar. Rahmah mengajak ketiga temannya ini untuk menambah ilmu agama secara mendalam di luar perguruan di antaranya di Surau Jembatan Besi.[5] Surau Jembatan Besi yang dipelopori oleh Syekh Haji Abdullah Ahmad ini kelak menjadi PGAI.
Tampaknya di Surau Jembatan Besi inilah Rahmah bertemu dengan sosok Haji Abdoel Karim Amrullah (ayahanda dari Buya HAMKA), dan memintanya untuk mengajarinya berbagai disiplin ilmu agama secara privat di rumahnya di Gatangan. Di sini ia memperdalam pengajian mengenai masalah agama dan wanita, di samping itu juga ia mempelajari bahasa Arab, fiqih dan ushul fiqih.[6] Rahmah juga belajar dari ulama minang lainnya seperti, Tuanku Muda Abdul Hamid Hakim (pimpinan sekolah Thawalib Padang Panjang), Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdul Latif Rasjidi, dan Syekh Daud Rasjidi.[7] Ia baru merasakan adanya kepuasan dan telah menemukan apa yang dicarinya selama ini.
Diusianya yang ke-23 tahun, Rahmah mendirikan Madrasah lil-banat yang menjadi cikal bakal Diniyyah Putri School. Setelah tujuh tahun mengembangkan sekolahnya, Rahmah tertarik untuk menambah pengetahuan dan keterampilan yang kelak dibutuhkan oleh kaum muslimah. Sekitar tahun 1931-1935, ia mengikuti kursus ilmu kebidanan di RSU Kayu Tanam dan mendapat izin praktek / ijazah bidan dari dokter. Dalam bidang kebidanan ini ia juga mendapat bimbingan yang mula-mula diberikan dari kakak ibunya Kudi Urai, seorang bidan yang menolong kelahiran dirinya dan Sutan Syahrir (Mantan Perdana Menteri RI).[8]
Selain itu, ia belajar ilmu kesehatan dan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dari enam orang dokter yang juga gurunya dalam kebidanan: dokter Sofyan Rasyad dan dokter Tazar di rumah sakit umum Kayu Tanam (mendapat izin praktek dan ijazah dengan kedua dokter ini), dokter A. Saleh di RSU Bukittinggi, dokter Arifin dari Payakumbuh, dan dokter Rasjidin dan dokter A. Sani di Padang Panjang. Untuk mendalami praktek kebidanan dan ilmu kesehatan ini ia belajar sambil praktek di RSU Kayu Tanam.[9]
Rahmah juga mempelajari olahraga dan senam dari Mej. Oliver seorang guru di Normaal School di Guguk Malintang. Kemudian ia juga mempelajari cara bertenun tradisional, yakni: bertenun dengan menggunakan alat tenun bukan mesin yang pada masa itu banyak dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Ia mendatangi beberapa pusat pertenunan rakyat seperti Pandai Sikat, Bukittinggi dan Silungkang. Ilmu bertenun ini ia lengkapi dengan belajar jahit-menjahit. Kedua ilmu ini yakni: bertenun dan jahit-menjahit dimasukkannya kedalam kurikulum perguruannya kemudian.
Seluruh pengalaman Rahmah el-Yunusiyyah menjadi pelajaran berharga dan mempengaruhi metode pendidikan yang ia terapkan pada Diniyyah Putri School.
Mengapa Harus Sekolah Khusus Muslimah?
Berdasarkan perjalanan hidupnya dalam mencari ilmu dan berguru kepada tokoh-tokoh ulama besar, maka timbullah sebuah keinginan kuat dari Rahmah agar mencerdaskan kaum perempuan. Rahmah merasa kaum muslimah saat itu belum mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Dalam sebuah catatan hariannya, Rahmah pernah menuliskan:
“Ya Allah Ya Rabbi, bila ada dalam ilmu-Mu apa yang menjadi cita–citaku ini untuk mencerdaskan anak bangsaku terutama anak-anak perempuan yang masih jauh tercecer dalam bidang pendidikan dan pengetahuan, ada baiknya Engkau ridhai, maka mudahkanlah Ya Allah jalan menuju cita–citaku itu. Ya Allah, berikanlah yang terbaik untuk hamba-Mu yang lemah ini. Amin.”
Berbeda dengan perjuangan Raden Ajeng Kartini yang mengusung agar kaum wanita mendapatkan hak sama dengan kaum lelaki, terutama dalam bidang pendidikan. Di Ranah Minang, justru hal itu bukanlah menjadi sebuah masalah, karena madrasah dan sekolah yang sudah ada saat itu memperbolehkan siapapun untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar tanpa memandang perbedaan gender. Walaupun kebanyakan masyarakat awam masih memandang kurang perlunya pendidikan bagi wanita, tetapi para muslimah keturunan tokoh-tokoh ulama saat itu didorong untuk mendapatkan pendidikan yang baik oleh orang tua mereka, sebut saja Rahmah el-Yunusiyyah, Rasuna Said dan masih banyak wanita lain yang dapat mengecap pendidikan selayaknya kaum laki-laki.
Namun mengapa Rahmah seakan-akan memaksakan diri untuk mendirikan sekolah khusus putri, jika kaum muslimah saat itu sebenarnya sudah mendapatkan kesempatan untuk belajar di sekolah-sekolah yang ada?.
Kemungkinan motivasi Rahmah untuk membangun sekolah khusus putri di karenakan Rahmah melihat bahwa pendidikan yang ada saat itu belum menjawab semua permasalahan yang dihadapi oleh kaum wanita. Hal inilah yang dialami oleh Rahmah sampai ia bertemu dengan sosok Haji Abdul Karim Amrullah. Pandangan Rahmah ini menegaskan bahwa penyamaan kurikullum antara pelajar putra dan putri bukanlah sesuatu yang bijak, karena keduanya memiliki karakter dan peran yang berbeda dalam masyarakat walaupun keduanya memiliki tanggung jawab yang sama sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesunguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 21)
Muhammad Quthb mempunyai pandangan yang sama terhadap hal ini, bahwa kaum wanita dan lelaki harus dipisahkan dalam pendidikan saat karakter keduanya mulai mulai terbangun. Ia mengatakan:
“Dan jiwa keprajuritan haruslah tampak pada sekolah-sekolah putra, dan jiwa keibuan harus terlihat pada sekolah-sekolah putri, untuk mempersiapkan peran keduanya di masa yang akan datang. Dan tidaklah dicampurkan sebagaimana jahiliyyah modern mencampurkan keduanya, yang akhirnya hanya akan menghasilkan generasi lembek yang saat ini menyesaki muka bumi. Generasi yang tidak tampak pada pandangan pertama –atau bahkan sampai pandangan terakhir- apakah ia anak lelaki atau anak perempuan?”[10]
Pembangunan nilai dan karakter islamiyyah tidak akan terwujud tanpa memisahkan proses pendidikan keduanya. Permasalahannya bukanlah pelajaran apa yang harus dipelajari putra atau putri, karena keduanya bisa saja mendapatkan pelajaran yang sama. Tetapi bagaimana suasana yang kondusif bagi anak laki-laki untuk membangun sikap kejantanannya dan bagi anak perempuan untuk membentuk karakter kewanitaanya.[11]
Maka Rahmah memiliki cita-cita agar wanita indonesia memiliki kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita hingga bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mendidik, ia bertujuan agar wanita sanggup untuk menjadi ibu pendidik yang cakap, aktif dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air.[12]
Cita-cita Rahmah ini kemudian dimanifestokan dalam bentuk sebuah lembaga pendidikan yang didirikan khusus untuk kaum wanita, yaitu Diniyyah Putri School.
Diniyyah Putri School
Atas sokongan dari Zainuddin Labay dan para alumni Diniyyah School yang dipimpinnya. Rahmah pada mulanya mengusulkan gagasannya dirundingkannya dengan teman–temannya di Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS), usulan itu mendapat sambutan baik. Dan Rahmah mampu mendirikan al-Madrasah Lil-Banat pada tanggal 1 November 1923. Awalnya hanya terdapat 71 orang murid yang kebanyakan berasal dari kalangan ibu-ibu rumah tangga yang masih berusia muda. Pelajaran diberikan tiap hari selasa selama 3 jam di sebuah masjid di Pasar Usang, Padang Panjang, dan terdiri dari pelajaran agama serta ilmu alat.[13] Setelah beberapa lama, nama sekolah ini diganti menjadi Diniyyah Putri School dan terakhir menjadi Peguruan Diniyyah Putri.
Pada awalnya banyak kalangan masyarakat yang tidak yakin akan kemampuan para kaum wanita muslimah untuk menjalankan sebuah pendidikan yang baik. Bahakan tidak sediikit diantara mereka yang mencemooh karena menurut mereka kaum wanita itu seharusnya bekerja di dapur.[14]
Pada tahun 1924 sekolah itu pindah ke sebuah rumah di dekat masjid, dan mulai diadakan kelas-kelas yang dilengkapi dengan bangku, meja dan papan tulis. Bagian atas dari rumah ini dipergunakan sebagai asrama pada tahun 1925 dan ditempati oleh kira-kira 25 orang.[15]
Ketegaran dan sikap mandiri Rahmah terlihat dengan jelas saat Madrasah Lil-banat ini rusak berat karena gempa yang terjadi pada 1926. Rahmah membangun kembali madrasahnya tanpa mau bergantung pada bantuan orang lain. 45 hari sesudah gempa ia bersama-sama dengan majelis guru dan dibantu oleh murid-murid Thawalib School Padang Panjang, kembali secara gotong royong mendirikan beberapa rumah bambu diatas sebidang tanah wakaf dari ibunya, Ummi Rafi’ah, dengan atap daun rumbia berlantaikan tanah. Setelah rumah bambu Ini berdiri, kemudian dijadikan rumah darurat untuk memulai kembali kegiatan perguruannya.
Pengumuman disebarkan ke seluruh daerah asal murid, bahwa sekolah akan memulai kembali kegiatannya. Pembangunan sekolah dilaksanakan sesuai kemampuan sambil melanjutkan kegiatan belajar mengajar di kelas darurat tersebut. Para wali murid yang bersimpati kemudian mendirikan satu komite penyelamat perguruan ini untuk mencari dana guna pembangunan sekolah.[16]
Pada tahun 1927, Rahmah pergi ke Sumatera Utara untuk mengumpulkan dana guna membangun sebuah gedung permanen yang baru. Gedung ini selesai di tahun berikutnya, yaitu sebuah bangunan dengan tujuh kelas.[17]
Dalam proses pendidikan di Diniyyah Putri School, Rahmah menerapkan sistem pendidikan terpadu, yaitu : memadukan pendidikan yang diperoleh dari rumah tangga, pendidikan yang diterima sekolah dan pendidikan yang diperoleh dari masyarakat di dalam pendidikan asrama. Dengan sistem terpadu ini, teori ilmu pengetahuan dan agama serta pengalaman yang dibawa oleh masing–masing murid dipraktekkan dan disempurnakan dalam pendidikan asrama di bawah asuhan guru–guru asrama. Kurikulumnya terdiri dari kelompok bidang studi agama, bahasa Arab, ilmu pengetahuan dan kelompok bidang studi ini di orientasikan kepada pembentukan pribadi muslimah dan kualitas diri.
Sekolah Putri yang Independen
Dalam menjalankan sekolahnya, Rahmah berusaha untuk tidak terikat dengan pihak manapun sehingga ia berusaha tidak tergantung kepada pihak manapun secara finansial ataupun ideologis.
Secara finansial, Rahmah pernah menolak bantuan dari kawan-kawannya di Diniyyah School untuk membangun kembali gedung yang rusak akibat gempa pada 1927. Ia dengan halus menolak bantuan tersebut, dan berkata :
“Usul ini sangat dihargakan oleh pengurus dan guru-guru sekaliannya, akan tetapi buat sementara golongan perempuan (puteri) akan mencoba melayarkan sendiri pencalangnya sampai ke tanah tepi dan mana kala tenaga putri tidak sanggup lagi menyelamatkan pencalang itu, maka dengan sepenuh hati pengharapan guru-guru dan pengurus akan memohonkan kembali usul-usul engku-engku sekarang, kepada engku-engku yang menurut kami patut kami menyerahkan pengharapan kami itu”.
Pernah juga pemerintah Belanda menawarkan bantuan untuk membantu sekolahnya dengan subsidi penuh dengan syarat Diniyyah Puteri menjadi lembaga yang berada dibawah pengawasan Belanda. Rahmah pun menolak dengan tegas, ia tidak mau sistem pendidikan yang sudah terbangun dengan baik dibelokkan oleh Belanda.[18] Subsidi pemerintah kolonial akan membuat dirinya terikat, dan mengakibatkan keleluasan pemerintah kolonial mempengaruhi pengelolaan program pendidikan Diniyah School Putri ini. Kondisi seperti itu telah di alami Adabiyah School yang pada tahun 1915 menerima subsidi pemerintah kolonial.[19]
Pada tahun 1932 peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai pemerintah yang disebut Ordonasi Sekolah Liar (Wilde Schoool Ordonantie),[20] Rahmah melawan dengan mendirikan “Komite Penolakan Ordonansi Sekolah Liar” pada tahun 1933 di Sumatera Barat.
Rahmah juga menolak jika pendidikan dicampurkan dengan kegiatan politik, walaupun ia sendiri sebenarnya terlibat dengan kegiatan politik. Rahmah berpendapat bahwa pemimpin-pemimpin politik pada masanya di daerah Minangkabau terdiri dari orang-orang yang didalam masa mudanya, mereka memperoleh pelajaran agama di lembaga-lembaga yang mereka masuki di mana tidak ada pelajaran khusus tentang politik yang diberikan. Pandangan Rahmah ini bertolak belakang dengan apa yang diyakini oleh sahabatnya Rasuna Said, hingga akhirnya Rasuna memilih untuk keluar dai Diniyyah Puteri.[21]
Maka ketika PERMI berusaha untuk mengumpulkan dan menghimpun sekolah-sekolah pembaharu dibawah supervisinya, Rahmah tidak menyetujui hal itu. Maka saat PERMI mengadakan permusyawaratan besar guru-guru agama Islam se-Minangkabau di Padang Panjang pada tahun 1931, guru-guru dari Diniyyah Puteri tidak merespon dengan baik. Sebagai pemimpin Permi, Mukhtar Lutfi mempertanyakan hal tersebut. Rahmah pun mengemukakan pendapatnya, “Biarkan perguruan ini terasing selama-lamanya dari partai politik, dan tinggalkanlah ia menjadi urusan dan tanggungan orang banyak (umum), sekalipun umum itu dalam aliran politiknya bermacam warna dan ragam, tapi untuk perguruan dan penanggung jawab atasnya haruslah mereka itu satu adanya”[22] Maka pada saat PERMI membuat Dewan Pengajaran Permi, Rahmah membuat wadah bagi pengajar-pengajar diniyyah puteri yang dinamakan Perikatan Guru-Guru Agama Putri Islam (PGAPI) pada tahun 1933. Begitu juga di saat Dr. Mahmud Yunus berusaha menyamakan kurikullum di sekolah-sekolah islam di Sumatera Barat agar sejalan dan memiliki kesamaan visi.
Sikap Rahmah yang menolak campur tangan pihak lain, baik dalam pendanaan ataupun penyusunan kurikullum dan lainnya menunjukkan keteguhan beliau untuk mempertahankan cita-cita beliau agar anak-anak didiknya mempunyai karakteristik yang berbeda dari sekolah-sekolah lainnya.
Kontribusi Tak Pernah Putus
Dalam dunia pendidikan, kontribusi Rahmah tidak hanya dengan mendirikan Diniyyah Puteri School saja , tetapi ia juga mendirikan beberapa sekolah lainnya, diantaranya;
Penutup
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa Rahmah El-Yunusiyyah ialah seorang tokoh pelopor pendidikan muslimah di indonesia dengan uraian sebagai berikut;
Pertama, Pendidikan di Minangkabau secara khusus dan pendidikan islam secara umum, bukanlah pendidikan yang diskriminatif terhadap kaum perempuan sebagaimana terjadi di Tanah Jawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya sekolah-sekolah yang berkualitas bagi kaum laki-laki atau wanita dengan kesempatan yang sama. Rahmah el-Yunusiyyah ialah termasuk salah satu wanita yang berkesempatan mendapatkan pendidikan dari ulama-ulama terbaik pada masanya walaupun ia hanya sebentar mengecap pendidikan formal.
Kedua, cita-cita Rahmah untuk mendirikan sekolah khusus untuk kalangan muslimah adalah untuk membentuk kepribadian muslimah yang mandiri baik sebagai ibu ataupun tokoh di masyarakatnya. Pendidikan seperti ini tidak akan berhasil tanpa mengkhususkan kalangan muslimah saja, karena ada pelajaran dan skill tersendiri yang harus dimiliki oleh mereka. Dengan itu, Rahmah menjadi pelopor dalam pendidikan muslimah di Minagkabau dan Indonesia. Bahkan model pendidikannya di adopsi oleh Al-Azhar University untuk membuat Kulliyyah Lil-banat di Al-Azhar.
Ketiga, Bagi Rahmah pendidikan agama ialah yang paling utama dalam pembentukkan karakter anak didiknya. Ia lebih memilih untuk memperbanyak pelajaran agama daripada aktivitas politik pada anak didiknya karena agama akan mengarahkan seseorang kearah kebaikan sebagai apapun ia. Dengan sikapnya ini, ia akhirnya berselisih paham dengan Rasuna Said.
Keempat, Rahmah ialah seorang pendidik yang memiliki jiwa patriotisme tinggi, terbukti bahwa kontribusinya terhadap negara tidaklah kecil dan ia menerima segala konsekuensi yang harus ia hadapi dengan keyakinannya itu.
Perjuangan, pengorbanan dan segala kontribusi yang Rahmah berikan terhadap bangsa indonesia secara umum dan kaum wanita secara khusus, seharusnya layak membuat namanya disandingkan dengan pahlawan-pahlawan wanita lainnya seperti Cut Nyak Dien, R. A. Kartini dan lainnya. Kontribusi Rahmah terhadap pendidikan, terutama pendidikan kaum muslimah seharusnya menjadi bahan kajian bagi sekolah-sekolah islam dan pakar pendidikan supaya mendapatkan formula yang tepat dalam mendidik anak-anak bangsa terutama bagi kaum muslimah. Walahu ‘alam bishowab.
—
Disadur dari makalah penulis dengan judul yang sama dalam Mata Kuliah; Kapita Selecta Pendidikan Islam di Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun, Magister Pendidikan dan Pemikiran Islam
Diniyyah School Putri merupakan sebuah langkah maju dalam pendidikan muslimah di Indonesia bahkan di dunia. Karena sekolah yang digagas oleh Rahmah el-Yunusiyah ini tidak hanya memberikan pelajaran agama maupun umum, tetapi juga mengajarkan berbagai keterampilan yang diperlukan oleh seorang muslimah sebagai ibu yang mandiri. Maka ketika Rektor Universitas Al-Azhar Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyyah Putri pada 1955, beliau tertarik dengan sistem pembelajaran khusus yang diterapkan disana dan menginspirasinya untuk mendirikan Kuliyyatul-Lil-Banat (kampus Al-Azhar khusus putri) di Universitas Al-Azhar. Dan Rahmah pun dinobatkan sebagai Syaikhah (Guru Besar Wanita) pertama dari Universitas Al-Azhar.[1]
Biografi Rahmah el-Yunusiyyah
Rahmah el-Yunusiyah lahir di sebuah rumah gadang jalan Lubuk Mata Kucing, Kanagarian Bukit Surungan, Padang Panjang pada hari jum’at tanggal 29 Desember 1900 M, bertepatan dengan tanggal 1 Rajab 1318 H, dari keluarga Syekh Muhammad Yunus dan Rafi’ah. Terlahir sebagai anak terakhir dari lima bersaudara yaitu Zainuddin Labay (1890-1924 M), Mariah (1893-1972 M), Muhammad Rasyad (1895-1956 M), dan Rihanah (1898-1968 M). Namun Rahmah masih mempunyai saudara lain ibu, yaitu Abdus Samad, Hamidah, Pakih Bandaro, Liah, Aminuddin, Safiah, Samihah dan Kamsiah.
Ayah Rahmah el-Yunusiyah, Syekh Muhammad Yunus adalah seorang ulama besar di zamannya. Syekh Muhammad Yunus (1846-1906 M) menjabat sebagai seorang Qadli di negeri Pandai Sikat dan pimpinan Tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah. Selain itu Syekh Muhammad Yunus juga ahli ilmu falak dan hisab. Ia pernah menuntut ilmu di tanah suci Mekkah selama 4 tahun. Kakeknya ialah Syeikh Imaduddin, tokoh tarekat Naqsabandiyyah di Minangkabau.[2] Ulama yang masih ada darah keturunan dengan pembaharu Islam yang juga seorang tokoh Paderi, Tuanku Nan Pulang di Rao.
Adapun ibunda Rahmah el-Yunusiyah yang biasa disebut Ummi Rafi’ah, nenek moyangnya berasal dari negeri Langkat, Bukittinggi Kabupaten Agam dan pindah ke bukit Surungan Padang Panjang pada abad XVIII M yang lalu. Ummi Rafi’ah masih berdarah keturunan ulama, empat tingkat diatasnya masih ada hubungan dengan mamak Haji Miskin, sang pembaharu gerakan Paderi. Ummi Rafi’ah yang bersuku Sikumbang adalah anak keempat dari lima bersaudara. Ia menikah dengan Syekh Muhammad Yunus saat berusia 16 tahun, sedangkan Syekh Muhammad Yunus berusia 42 tahun.
Dalam usia enam belas tahun Rahmah menikah dengan seorang alim dan mubaligh bernama Haji Bahauddin Lathif dari Sumpur Padang Panjang. Perkawinan ini tidak berlangsung lama, hanya enam tahun, pada tahun 1922 keduanya bercerai atas kehendak kedua belah pihak dan selanjutnya menganggap sebagai dua orang bersaudara.
Dari perkawinan ini Rahmah tidak mempunyai anak. Sejak perceraian tersebut, ia tidak bersuami lagi. Rupanya hal ini memberi faedah kepadanya sendiri, sehingga ia dapat menempatkan seluruh hidupnya kepada perguruan yang didirikannya. Ia berpulang ke rahmatullah pada hari Rabu tanggal 9 Zulhijjah 1388 Hijriah atau tanggal 26 Februari 1969 pada pukul 19.30 di rumahnya sendiri di Padang Panjang. Jenazahnya dikuburkan di perkuburan keluarga disamping rumahnya yang juga di samping perguruan yang ia dirikan di pinggir jalan Lubuk Mata Kucing.
Rahmah Kecil yang Haus Ilmu
Sedari kecil, Rahmah tidak pernah mengecap pendidikan formal yang dibuat oleh pemerintah Belanda. Walaupun saat itu sudah ada sekolah Bumiputera tingkat pertama di Minangkabau. Tetapi, Rahmah yang sudah menjadi yatim semenjak kanak-kanak itu mendapatkan pendidikan terbaik dari keluarga dan murid-murid ayahnya.
Engku Uzair Malim Batuah –yang juga murid ayah rahmah- mengajarinya membaca Al-Qur’an semenjak usianya enam tahun. Ketika usianya delapan tahun, Rahmah dituntun tulis–baca huruf latin oleh kakaknya Zainuddin Labay dan Muhammad Rasyad yang pernah belajar di Sekolah Desa. Umi Rafi’ah, ibunya juga ikut mengajari Rahmah berhitung dengan angka–angka Arab (angka Melayu).[3] Rahmah juga secara rutin mengikuti pengajian-pengajian dari surau ke surau untuk memambah pengetahuannya di bidang agama. Ia juga dikenal sebagai anak yang rajin membaca buku.
Ketika kakaknya Zainuddin Labay mendirikan Diniyyah School pada tanggal 10 Oktober 1915 berdiri, ia ikut belajar di perguruan ini. Rahmah sempat mengikuti Diniyyah School hingga kelas tiga. Namun ia masih belum puas dengan apa yang ia dapatkan di sekolah ini, ia merasa banyak persoalan yang masih belum terpecahkan, termasuk persoalan wanita.[4] Rasa ketidak-puasannya ini dibicarakan dengan tiga temannya sesama wanita, yaitu Rasuna Said dari Maninjau, Nanisah dari Bulaan Gadang Banuhampu, dan Jawana Basyir (Upik Japang) dari Lubuk Agung. Mereka berempat bersepakat untuk membentuk kelompok belajar. Rahmah mengajak ketiga temannya ini untuk menambah ilmu agama secara mendalam di luar perguruan di antaranya di Surau Jembatan Besi.[5] Surau Jembatan Besi yang dipelopori oleh Syekh Haji Abdullah Ahmad ini kelak menjadi PGAI.
Tampaknya di Surau Jembatan Besi inilah Rahmah bertemu dengan sosok Haji Abdoel Karim Amrullah (ayahanda dari Buya HAMKA), dan memintanya untuk mengajarinya berbagai disiplin ilmu agama secara privat di rumahnya di Gatangan. Di sini ia memperdalam pengajian mengenai masalah agama dan wanita, di samping itu juga ia mempelajari bahasa Arab, fiqih dan ushul fiqih.[6] Rahmah juga belajar dari ulama minang lainnya seperti, Tuanku Muda Abdul Hamid Hakim (pimpinan sekolah Thawalib Padang Panjang), Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdul Latif Rasjidi, dan Syekh Daud Rasjidi.[7] Ia baru merasakan adanya kepuasan dan telah menemukan apa yang dicarinya selama ini.
Diusianya yang ke-23 tahun, Rahmah mendirikan Madrasah lil-banat yang menjadi cikal bakal Diniyyah Putri School. Setelah tujuh tahun mengembangkan sekolahnya, Rahmah tertarik untuk menambah pengetahuan dan keterampilan yang kelak dibutuhkan oleh kaum muslimah. Sekitar tahun 1931-1935, ia mengikuti kursus ilmu kebidanan di RSU Kayu Tanam dan mendapat izin praktek / ijazah bidan dari dokter. Dalam bidang kebidanan ini ia juga mendapat bimbingan yang mula-mula diberikan dari kakak ibunya Kudi Urai, seorang bidan yang menolong kelahiran dirinya dan Sutan Syahrir (Mantan Perdana Menteri RI).[8]
Selain itu, ia belajar ilmu kesehatan dan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dari enam orang dokter yang juga gurunya dalam kebidanan: dokter Sofyan Rasyad dan dokter Tazar di rumah sakit umum Kayu Tanam (mendapat izin praktek dan ijazah dengan kedua dokter ini), dokter A. Saleh di RSU Bukittinggi, dokter Arifin dari Payakumbuh, dan dokter Rasjidin dan dokter A. Sani di Padang Panjang. Untuk mendalami praktek kebidanan dan ilmu kesehatan ini ia belajar sambil praktek di RSU Kayu Tanam.[9]
Rahmah juga mempelajari olahraga dan senam dari Mej. Oliver seorang guru di Normaal School di Guguk Malintang. Kemudian ia juga mempelajari cara bertenun tradisional, yakni: bertenun dengan menggunakan alat tenun bukan mesin yang pada masa itu banyak dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Ia mendatangi beberapa pusat pertenunan rakyat seperti Pandai Sikat, Bukittinggi dan Silungkang. Ilmu bertenun ini ia lengkapi dengan belajar jahit-menjahit. Kedua ilmu ini yakni: bertenun dan jahit-menjahit dimasukkannya kedalam kurikulum perguruannya kemudian.
Seluruh pengalaman Rahmah el-Yunusiyyah menjadi pelajaran berharga dan mempengaruhi metode pendidikan yang ia terapkan pada Diniyyah Putri School.
Mengapa Harus Sekolah Khusus Muslimah?
Berdasarkan perjalanan hidupnya dalam mencari ilmu dan berguru kepada tokoh-tokoh ulama besar, maka timbullah sebuah keinginan kuat dari Rahmah agar mencerdaskan kaum perempuan. Rahmah merasa kaum muslimah saat itu belum mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Dalam sebuah catatan hariannya, Rahmah pernah menuliskan:
“Ya Allah Ya Rabbi, bila ada dalam ilmu-Mu apa yang menjadi cita–citaku ini untuk mencerdaskan anak bangsaku terutama anak-anak perempuan yang masih jauh tercecer dalam bidang pendidikan dan pengetahuan, ada baiknya Engkau ridhai, maka mudahkanlah Ya Allah jalan menuju cita–citaku itu. Ya Allah, berikanlah yang terbaik untuk hamba-Mu yang lemah ini. Amin.”
Berbeda dengan perjuangan Raden Ajeng Kartini yang mengusung agar kaum wanita mendapatkan hak sama dengan kaum lelaki, terutama dalam bidang pendidikan. Di Ranah Minang, justru hal itu bukanlah menjadi sebuah masalah, karena madrasah dan sekolah yang sudah ada saat itu memperbolehkan siapapun untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar tanpa memandang perbedaan gender. Walaupun kebanyakan masyarakat awam masih memandang kurang perlunya pendidikan bagi wanita, tetapi para muslimah keturunan tokoh-tokoh ulama saat itu didorong untuk mendapatkan pendidikan yang baik oleh orang tua mereka, sebut saja Rahmah el-Yunusiyyah, Rasuna Said dan masih banyak wanita lain yang dapat mengecap pendidikan selayaknya kaum laki-laki.
Namun mengapa Rahmah seakan-akan memaksakan diri untuk mendirikan sekolah khusus putri, jika kaum muslimah saat itu sebenarnya sudah mendapatkan kesempatan untuk belajar di sekolah-sekolah yang ada?.
Kemungkinan motivasi Rahmah untuk membangun sekolah khusus putri di karenakan Rahmah melihat bahwa pendidikan yang ada saat itu belum menjawab semua permasalahan yang dihadapi oleh kaum wanita. Hal inilah yang dialami oleh Rahmah sampai ia bertemu dengan sosok Haji Abdul Karim Amrullah. Pandangan Rahmah ini menegaskan bahwa penyamaan kurikullum antara pelajar putra dan putri bukanlah sesuatu yang bijak, karena keduanya memiliki karakter dan peran yang berbeda dalam masyarakat walaupun keduanya memiliki tanggung jawab yang sama sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesunguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 21)
Muhammad Quthb mempunyai pandangan yang sama terhadap hal ini, bahwa kaum wanita dan lelaki harus dipisahkan dalam pendidikan saat karakter keduanya mulai mulai terbangun. Ia mengatakan:
“Dan jiwa keprajuritan haruslah tampak pada sekolah-sekolah putra, dan jiwa keibuan harus terlihat pada sekolah-sekolah putri, untuk mempersiapkan peran keduanya di masa yang akan datang. Dan tidaklah dicampurkan sebagaimana jahiliyyah modern mencampurkan keduanya, yang akhirnya hanya akan menghasilkan generasi lembek yang saat ini menyesaki muka bumi. Generasi yang tidak tampak pada pandangan pertama –atau bahkan sampai pandangan terakhir- apakah ia anak lelaki atau anak perempuan?”[10]
Pembangunan nilai dan karakter islamiyyah tidak akan terwujud tanpa memisahkan proses pendidikan keduanya. Permasalahannya bukanlah pelajaran apa yang harus dipelajari putra atau putri, karena keduanya bisa saja mendapatkan pelajaran yang sama. Tetapi bagaimana suasana yang kondusif bagi anak laki-laki untuk membangun sikap kejantanannya dan bagi anak perempuan untuk membentuk karakter kewanitaanya.[11]
Maka Rahmah memiliki cita-cita agar wanita indonesia memiliki kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita hingga bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mendidik, ia bertujuan agar wanita sanggup untuk menjadi ibu pendidik yang cakap, aktif dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air.[12]
Cita-cita Rahmah ini kemudian dimanifestokan dalam bentuk sebuah lembaga pendidikan yang didirikan khusus untuk kaum wanita, yaitu Diniyyah Putri School.
Diniyyah Putri School
Atas sokongan dari Zainuddin Labay dan para alumni Diniyyah School yang dipimpinnya. Rahmah pada mulanya mengusulkan gagasannya dirundingkannya dengan teman–temannya di Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS), usulan itu mendapat sambutan baik. Dan Rahmah mampu mendirikan al-Madrasah Lil-Banat pada tanggal 1 November 1923. Awalnya hanya terdapat 71 orang murid yang kebanyakan berasal dari kalangan ibu-ibu rumah tangga yang masih berusia muda. Pelajaran diberikan tiap hari selasa selama 3 jam di sebuah masjid di Pasar Usang, Padang Panjang, dan terdiri dari pelajaran agama serta ilmu alat.[13] Setelah beberapa lama, nama sekolah ini diganti menjadi Diniyyah Putri School dan terakhir menjadi Peguruan Diniyyah Putri.
Pada awalnya banyak kalangan masyarakat yang tidak yakin akan kemampuan para kaum wanita muslimah untuk menjalankan sebuah pendidikan yang baik. Bahakan tidak sediikit diantara mereka yang mencemooh karena menurut mereka kaum wanita itu seharusnya bekerja di dapur.[14]
Pada tahun 1924 sekolah itu pindah ke sebuah rumah di dekat masjid, dan mulai diadakan kelas-kelas yang dilengkapi dengan bangku, meja dan papan tulis. Bagian atas dari rumah ini dipergunakan sebagai asrama pada tahun 1925 dan ditempati oleh kira-kira 25 orang.[15]
Ketegaran dan sikap mandiri Rahmah terlihat dengan jelas saat Madrasah Lil-banat ini rusak berat karena gempa yang terjadi pada 1926. Rahmah membangun kembali madrasahnya tanpa mau bergantung pada bantuan orang lain. 45 hari sesudah gempa ia bersama-sama dengan majelis guru dan dibantu oleh murid-murid Thawalib School Padang Panjang, kembali secara gotong royong mendirikan beberapa rumah bambu diatas sebidang tanah wakaf dari ibunya, Ummi Rafi’ah, dengan atap daun rumbia berlantaikan tanah. Setelah rumah bambu Ini berdiri, kemudian dijadikan rumah darurat untuk memulai kembali kegiatan perguruannya.
Pengumuman disebarkan ke seluruh daerah asal murid, bahwa sekolah akan memulai kembali kegiatannya. Pembangunan sekolah dilaksanakan sesuai kemampuan sambil melanjutkan kegiatan belajar mengajar di kelas darurat tersebut. Para wali murid yang bersimpati kemudian mendirikan satu komite penyelamat perguruan ini untuk mencari dana guna pembangunan sekolah.[16]
Pada tahun 1927, Rahmah pergi ke Sumatera Utara untuk mengumpulkan dana guna membangun sebuah gedung permanen yang baru. Gedung ini selesai di tahun berikutnya, yaitu sebuah bangunan dengan tujuh kelas.[17]
Dalam proses pendidikan di Diniyyah Putri School, Rahmah menerapkan sistem pendidikan terpadu, yaitu : memadukan pendidikan yang diperoleh dari rumah tangga, pendidikan yang diterima sekolah dan pendidikan yang diperoleh dari masyarakat di dalam pendidikan asrama. Dengan sistem terpadu ini, teori ilmu pengetahuan dan agama serta pengalaman yang dibawa oleh masing–masing murid dipraktekkan dan disempurnakan dalam pendidikan asrama di bawah asuhan guru–guru asrama. Kurikulumnya terdiri dari kelompok bidang studi agama, bahasa Arab, ilmu pengetahuan dan kelompok bidang studi ini di orientasikan kepada pembentukan pribadi muslimah dan kualitas diri.
Sekolah Putri yang Independen
Dalam menjalankan sekolahnya, Rahmah berusaha untuk tidak terikat dengan pihak manapun sehingga ia berusaha tidak tergantung kepada pihak manapun secara finansial ataupun ideologis.
Secara finansial, Rahmah pernah menolak bantuan dari kawan-kawannya di Diniyyah School untuk membangun kembali gedung yang rusak akibat gempa pada 1927. Ia dengan halus menolak bantuan tersebut, dan berkata :
“Usul ini sangat dihargakan oleh pengurus dan guru-guru sekaliannya, akan tetapi buat sementara golongan perempuan (puteri) akan mencoba melayarkan sendiri pencalangnya sampai ke tanah tepi dan mana kala tenaga putri tidak sanggup lagi menyelamatkan pencalang itu, maka dengan sepenuh hati pengharapan guru-guru dan pengurus akan memohonkan kembali usul-usul engku-engku sekarang, kepada engku-engku yang menurut kami patut kami menyerahkan pengharapan kami itu”.
Pernah juga pemerintah Belanda menawarkan bantuan untuk membantu sekolahnya dengan subsidi penuh dengan syarat Diniyyah Puteri menjadi lembaga yang berada dibawah pengawasan Belanda. Rahmah pun menolak dengan tegas, ia tidak mau sistem pendidikan yang sudah terbangun dengan baik dibelokkan oleh Belanda.[18] Subsidi pemerintah kolonial akan membuat dirinya terikat, dan mengakibatkan keleluasan pemerintah kolonial mempengaruhi pengelolaan program pendidikan Diniyah School Putri ini. Kondisi seperti itu telah di alami Adabiyah School yang pada tahun 1915 menerima subsidi pemerintah kolonial.[19]
Pada tahun 1932 peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai pemerintah yang disebut Ordonasi Sekolah Liar (Wilde Schoool Ordonantie),[20] Rahmah melawan dengan mendirikan “Komite Penolakan Ordonansi Sekolah Liar” pada tahun 1933 di Sumatera Barat.
Rahmah juga menolak jika pendidikan dicampurkan dengan kegiatan politik, walaupun ia sendiri sebenarnya terlibat dengan kegiatan politik. Rahmah berpendapat bahwa pemimpin-pemimpin politik pada masanya di daerah Minangkabau terdiri dari orang-orang yang didalam masa mudanya, mereka memperoleh pelajaran agama di lembaga-lembaga yang mereka masuki di mana tidak ada pelajaran khusus tentang politik yang diberikan. Pandangan Rahmah ini bertolak belakang dengan apa yang diyakini oleh sahabatnya Rasuna Said, hingga akhirnya Rasuna memilih untuk keluar dai Diniyyah Puteri.[21]
Maka ketika PERMI berusaha untuk mengumpulkan dan menghimpun sekolah-sekolah pembaharu dibawah supervisinya, Rahmah tidak menyetujui hal itu. Maka saat PERMI mengadakan permusyawaratan besar guru-guru agama Islam se-Minangkabau di Padang Panjang pada tahun 1931, guru-guru dari Diniyyah Puteri tidak merespon dengan baik. Sebagai pemimpin Permi, Mukhtar Lutfi mempertanyakan hal tersebut. Rahmah pun mengemukakan pendapatnya, “Biarkan perguruan ini terasing selama-lamanya dari partai politik, dan tinggalkanlah ia menjadi urusan dan tanggungan orang banyak (umum), sekalipun umum itu dalam aliran politiknya bermacam warna dan ragam, tapi untuk perguruan dan penanggung jawab atasnya haruslah mereka itu satu adanya”[22] Maka pada saat PERMI membuat Dewan Pengajaran Permi, Rahmah membuat wadah bagi pengajar-pengajar diniyyah puteri yang dinamakan Perikatan Guru-Guru Agama Putri Islam (PGAPI) pada tahun 1933. Begitu juga di saat Dr. Mahmud Yunus berusaha menyamakan kurikullum di sekolah-sekolah islam di Sumatera Barat agar sejalan dan memiliki kesamaan visi.
Sikap Rahmah yang menolak campur tangan pihak lain, baik dalam pendanaan ataupun penyusunan kurikullum dan lainnya menunjukkan keteguhan beliau untuk mempertahankan cita-cita beliau agar anak-anak didiknya mempunyai karakteristik yang berbeda dari sekolah-sekolah lainnya.
Kontribusi Tak Pernah Putus
Dalam dunia pendidikan, kontribusi Rahmah tidak hanya dengan mendirikan Diniyyah Puteri School saja , tetapi ia juga mendirikan beberapa sekolah lainnya, diantaranya;
- Menyesal School, yaitu sekolah pemberantasan buta huruf di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Sekolah ini didirikan pada tahun 1925 dan berlangsung selama tujuh tahun yaitu sampai tahun 1932. Kemudian sekolah ini tidak dilanjutkan.
- Yunior Institut Putri, sebuah sekolah umum setingkat dengan Sekolah Rakyat pada masa penjajahan Belanda atau Vervolgschool, didirikan pada tahun 1938.
- Islamitisch Hollandse School (IHS) setingkat dengan HIS (Hollandsch Inlandse School), yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
- Sekolah DAMAI (Sekolah Dasar Masyarakat Indonesia).
- Kulliyatul Mu’allimin El-Islamiyah (KMI), yaitu sekolah Guru Agama Putra yang didirikan pada tahun 1940. KMI Putra ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan guru–guru agama putra yang banyak didirikan oleh masyarakat di Sumatera Barat. Keempat sekolah ini berhenti beraktivitas semenjak zaman penjajahan Jepang.
- Pada tahun 1947 ia kembali mendirikan empat buah lembaga pendidikan agama putri dalam bentuk lain, yaitu Diniyah Rendah Putri (SDR), sekolah setingkat Sekolah Dasar dengan lama pendidikannya tujuh tahun,
- Sekolah Diniyah Menengah Pertama Putri Bagian A Tiga Tahun (DMP Bagian A), Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian B Lima Tahun (DMP Bagian B), dan Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian C Dua Tahun (DMP Bagian C). Tiga buah sekolah yang disebut terakhir setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) dengan bidang studi agama dan bahasa Arab menjadi mata pelajaran pokok.
- Akademi Diniyah Putri yang lama pendidikannya tiga tahun pada tahun 1964. Tanggal 22 November 1967 Akademi ini dijadikan Fakultas Dirasat Islamiyah dan merupakan fakultas dari Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Fakultas ini “diakui” sama dengan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) untuk tingkat Sarjana Muda.
Penutup
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa Rahmah El-Yunusiyyah ialah seorang tokoh pelopor pendidikan muslimah di indonesia dengan uraian sebagai berikut;
Pertama, Pendidikan di Minangkabau secara khusus dan pendidikan islam secara umum, bukanlah pendidikan yang diskriminatif terhadap kaum perempuan sebagaimana terjadi di Tanah Jawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya sekolah-sekolah yang berkualitas bagi kaum laki-laki atau wanita dengan kesempatan yang sama. Rahmah el-Yunusiyyah ialah termasuk salah satu wanita yang berkesempatan mendapatkan pendidikan dari ulama-ulama terbaik pada masanya walaupun ia hanya sebentar mengecap pendidikan formal.
Kedua, cita-cita Rahmah untuk mendirikan sekolah khusus untuk kalangan muslimah adalah untuk membentuk kepribadian muslimah yang mandiri baik sebagai ibu ataupun tokoh di masyarakatnya. Pendidikan seperti ini tidak akan berhasil tanpa mengkhususkan kalangan muslimah saja, karena ada pelajaran dan skill tersendiri yang harus dimiliki oleh mereka. Dengan itu, Rahmah menjadi pelopor dalam pendidikan muslimah di Minagkabau dan Indonesia. Bahkan model pendidikannya di adopsi oleh Al-Azhar University untuk membuat Kulliyyah Lil-banat di Al-Azhar.
Ketiga, Bagi Rahmah pendidikan agama ialah yang paling utama dalam pembentukkan karakter anak didiknya. Ia lebih memilih untuk memperbanyak pelajaran agama daripada aktivitas politik pada anak didiknya karena agama akan mengarahkan seseorang kearah kebaikan sebagai apapun ia. Dengan sikapnya ini, ia akhirnya berselisih paham dengan Rasuna Said.
Keempat, Rahmah ialah seorang pendidik yang memiliki jiwa patriotisme tinggi, terbukti bahwa kontribusinya terhadap negara tidaklah kecil dan ia menerima segala konsekuensi yang harus ia hadapi dengan keyakinannya itu.
Perjuangan, pengorbanan dan segala kontribusi yang Rahmah berikan terhadap bangsa indonesia secara umum dan kaum wanita secara khusus, seharusnya layak membuat namanya disandingkan dengan pahlawan-pahlawan wanita lainnya seperti Cut Nyak Dien, R. A. Kartini dan lainnya. Kontribusi Rahmah terhadap pendidikan, terutama pendidikan kaum muslimah seharusnya menjadi bahan kajian bagi sekolah-sekolah islam dan pakar pendidikan supaya mendapatkan formula yang tepat dalam mendidik anak-anak bangsa terutama bagi kaum muslimah. Walahu ‘alam bishowab.
—
Disadur dari makalah penulis dengan judul yang sama dalam Mata Kuliah; Kapita Selecta Pendidikan Islam di Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun, Magister Pendidikan dan Pemikiran Islam
Majlis Tarjih Muhammadiyah
Written By Unknown on Senin, 01 Juli 2013 | 11.33
( PENGENALAN, PENYEMPURNAAN DAN PENGEMBANGAN )
Ahmad Zain An Najah, MA *
Muqaddimah
Tarjih berasal dari kata “ rojjaha – yurajjihu- tarjihan “, yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat.
Menurut
istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang dilakukan oleh mujtahid
untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling
bertentangan , karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang
lainnya “
Tarjih dalam istilah persyarikatan ,sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai “ Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah “ adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat “
Pada
tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah
sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah
Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari,
karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya
semakin banyak dan kompleks , dan tentunya jawabannya tidak selalu di
temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih
Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian
mengalami perluasan menjadi : usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi
masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada
diriwayatkan qoul ulama mengenainya “. Usaha-usaha tersebut dalam
kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama “ Ijtihad “.
Oleh
karenanya, idealnya nama Majlis yang mempunyai tugas seperti yang
disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad, namun karena beberapa
pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majlis
ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu
sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.
Sejarah berdirinya Tarjih
Pada
waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini , tepatnya pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majlis Tarjih belum ada,
mengingat belum banyaknya masalah yang di hadapi oleh Persyarikatan.
Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka
kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga,
selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya
perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang
berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan
tersebut, serta menghindari adanya peperpecahan antar warga
Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya
lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M
, melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga
tersebut yang di sebut Majlis Tarjih Muhammdiyah.
Tersebut di dalam majalah Suara Muhammadiyah no.6/1355( 1936 ) hal 145 :
“
….bahwa perselisihan faham dalam masalah agama sudahlah timbul dari
dahulu, dari sebelum lahirnja Muhammadijah : sebab-sebabnja banjak ,
diantaranja karena masing-masing memegang teguh pendapat seorang ulama
atau jang tersebut di suatu kitab, dengan tidak suka menghabisi
perselisihannja itu dengan musjawarah dan kembali kepada Al Qur’an ,
perintah Tuhan Allah dan kepada Hadits, sunnah Rosulullah.
Oleh
karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan perselisihan dalam
kalangan Muhammadijah tentang masalah agama itu, maka perlulah kita
mendirikan Madjlis Tardjih untuk menimbang dan memilih dari segala
masalah jang diperselisihkan itu jang masuk dalam kalangan Muhammadijah
manakah jang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al qur’an dan
hadits. “
Sejak berdirinya pada tahun 1927 M, Majlis Tarjih telah dipimpin oleh 8 Tokoh Muhammadiyah, yaitu :
1. KH. Mas Mansur
2. Ki Bagus Hadikusuma
3. KH. Ahmad Badawi
4. Krt. KH. Wardan Diponingrat
5. KH. Azhar Basyir
6. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman ( 1990-1995 )
7. Prof. Dr. H. Amin Abdullah ( 1995-2000)
8. Dr. H. Syamsul Anwar , MA ( 2000-2005 )
Kedudukan dan Tugas Majlis Tarjih dalam Persyarikatan .
Majlis
Tarjih ini mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam Persyarikatan,
karena selain berfungsi sebagai Pembantu Pimpinan Persyarikatan, mereka
memiliki tugas untuk memberikan bimbingan keagamaan dan pemikiran di
kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya dan warga persyarikatan
Muhammadiyah khususnya. Sehingga, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa
Majlis Tarjih ini merupakan ‘ Think Thank “ –nya Muhammadiyah. Ia
bagaikan sebuah “ processor “ pada sebuah komputer, yang bertugas
mengolah data yang masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor.
Adapun
tugas-tugas Majlis Tarjih, sebagaimana yang tertulis dalam Qa’idah
Majlis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan Pimpinan Pusat
Muhammdiyah No. 08/SK-PP/I.A/8.c/2000, Bab II pasal 4 , adalah sebagai
berikut :
1. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.
2.
Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna
menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan serta membimbing
umat , khususnya anggota dan keluarga Muhammadiyah.
3. Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing anggota melaksanakan ajaran Islam
4. Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas ulama.
5. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.
Menurut
Prof. DR. H. Amin Abdullah, salah satu tokoh Muhammadiyah yang pernah
menjabat sebagai ketua Majlis Tarjih, bahwa Majis Tarjih sebenarnya
memiliki dua dimensi wilayah keagamaan yang satu sama lainnya pelu
memperoleh perhatian seimbang. Yang pertama adalah wilayah tuntunan
keagamaan yang bersifat praktis, terutama ikhwal ibadah mahdhoh dan yang
kedua adalah wilayah pemikiran keagamaan yang meliputi visi, gagasan,
wawasan, nilai-nilai dan sekaligus analisis terhadap berbagai persoalaan
( ekonomi, politik, sosial-budaya , hukum, ilmu pengetahuan, lingkungan
hidup dan lain-lainnya )
Manhaj Tarjih
Sejak tahun 1935 upaya perumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah dimulai, dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Langkah pertama kali yang ditempuh adalah dengan mengkaji “ Mabadi’ Khomsah
“( Masalah Lima ) yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam
persoalan agama secara umum. Karena adanya penjajahan Jepang dan perang
kemerdekaan , perumusan Masalah Lima tersebut baru bisa diselengarakan
pada akhir tahun 1954 atau awal 1955 dalam Muktamar Khusus Majlis Tarjih
di Yogyakarta.
Masalah Lima tersebut meliputi :
1.Pengertian Agama (Islam) atau al Din , yaitu :
“
Apa yang diturunkan Allah dalam Al Qur’an dan yang tersebut dalam
Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta
petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akherat.
2.Pengertian Dunia (al Dunya ):
“
Yang dimaksud urusan dunia dalam sabda Rosulullah saw : “ Kamu lebih
mengerti urusan duniamu “ ialah :segala perkara yang tidak menjadi tugas
diutusnya para nabi ( yaitu
perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan
sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia )
3. Pengertian Al Ibadah, ialah :
“
Bertaqarrub ( mendekatkan diri ) kepada Allah,dengan jalan mentaati
segala perintah-perintahnya, menjahuhi larangan-larangan-nya dan
mengamalkan segala yang diijinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan
ada yang khusus ; a. yang umum ialah segala amalan yang diijinkan Allah
b. Yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan
perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.
4. Pengertian Sabilillah, ialah :
“
Jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridloaan Allah,
berupa segala amalan yang diijinkan Allah untuk memuliakan kalimat(
agama )-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya
5.Pengertian Qiyas,( Ini belum dijelaskan secara rinci baik pengertian maupun pelaksanaannya )
Karena
Masalah Lima tersebut, masih bersifat umum, maka Majlis Tarjih terus
berusaha merumuskan Manhaj untuk dijadikan pegangan di dalam menentukan
hukum. Dan pada tahun 1985-1990, yaitu tepatnya pada tahun 1986, setelah
Muktamar Muhammadiyah ke- 41 di Solo, Majlis Tarjih baru berhasil
merumuskan 16 point pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah.
Adapun Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih ( disertai keterangan singkat )adalah sbb :
1. Di
dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur’an dan al Sunnah al
Shohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang
tidak terdapat dalam nash , dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut
bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan
hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima Ijitihad ,
termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada
nashnya secara langsung. ( Majlis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama : Ijtihad Bayani
: yaitu ( menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal, atau
umum, atau mempunyai makna ganda , atau kelihatan bertentangan, atau
sejenisnya), kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah
Ijtihad Umar untuk tidak membagi tanah yang di taklukan seperti tanah
Iraq, Iran , Syam, Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi
dijadikan “Khoroj” dan hasilnya dimasukkan dalam baitul mal muslimin ,
dengan berdalil Qs Al Hasyr ; ayat 7-10. Kedua : Ijtihad Qiyasi
: yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang
tidak di jelaskan oleh teks Al Quran maupun Hadist, diantaranya : men
qiyaskan zakat tebu, kelapa, lada ,cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat
gandum, beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak (
7,5 kwintal ) Ketiga : Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan illat
, demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti ; membolehkan wanita
keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf
yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dll
2. Dalam
memutuskan sesuatu keputusan , dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam
menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’I. Dengan
demikian pendapat perorangan dari anggota majlis, tidak dipandang kuat.(
Seperti pendapat salah satu anggota Majlis Tarjih Pusat yang pernah
dimuat di dalam majalah Suara Muhammadiyah, bahwa dalam penentuan awal
bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya menggunakan Mathla’ Makkah. Pendapat
ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak dianggap kuat. Yang
diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa Muhammadiyah
menggunakan Mathla’ Wilayatul Hukmi )
3. Tidak
mengikatkan diri kepada suatu madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat
madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum.
Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur’an dan al – Sunnah, atau dasar-dasar
lain yang dipandang kuat. ( Seperti halnya ketika Majlis Tarjih
mengambil pendapat Mutorif bin Al Syahr di dalam menggunakan Hisab
ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan Ramadlan.
Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan : Rumusan
di atas,menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk
tidak terikat dengan suatu madzhab, dan hanya menyandarkan segala
permasalahannya pada Al-Qur’an dan Hadits saja. Namun pada
perkembangannya, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang
mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak langsung telah membentuk
madzhab sendiri, yang disebut “ Madzhab Muhammadiyah “, ini dikuatkan
dengan adanya buku panduan seperti HPT ( Himpunan keputusan Tarjih ).
4. Berprinsip
terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya majlis Tarjih
yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil- dalil
yang dipandang paling kuat, yang di dapat ketika keputusan diambil. Dan
koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan
dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih
dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. ( Seperti
halnya pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena
kekawatiran tejadinya syirik sudah tidak ada lagi , pencabutan larangan
perempuan untuk keluar rumah dll)
5. Di dalam masalah aqidah ( Tauhid ) , hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir.
( Keputusan yang membicarakan tentang aqidah dan iman ini dilaksanakan
pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo pada tahun 1929. Namun
rumusan di atas perlu ditinjau ulang. Karena mempunyai dampak yang
sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam, khususnya kepada
warga Muhammadiyah. Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai arti
bahwa Persyarikatan Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shohih
yang tercantum dalam Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits ahad
tidak bisa dipakai dalam masalah aqidah. Ini berarti juga, banyak dari
keyakinan kaum muslimin yang selama ini dipegang erat akan tergusur
dengan rumusan di atas, sebut saja sebagai contoh : keyakinan adanya
adzab kubur dan adanya malaikat munkar dan nakir, syafa’at nabi Muhammad
saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga, adanya
timbangan amal, ( siroth )jembatan yang membentang di atas neraka untuk masuk syurga, ( haudh
) kolam nabi Muhammad saw, adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti
turunnya Isa, keluarnya Dajjal. Rumusaan di atas juga akan menjerat
Persyarikatan ini ke dalam kelompok Munkiru al-Sunnah , walau secara tidak langsung.
6. Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. (
Ijma’ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua , pertama : ijma’
qauli, seperti ijma’ para sahabat untuk membuat standarisasi penulisan
Al Qur’an dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini
kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua : pertama : ijma’
sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma’ setelah
sahabat )
7. Terhadap
dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara “al jam’u
wa al taufiq “. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih. (
Cara-cara melakukan jama’ dan taufiq, diantaranya adalah : Pertama :
Dengan menentukan macam persoalannya dan menjadikan yang satu termasuk
bagian dari yang lain. Seperti menjama’ antara QS Al Baqarah 234 dengan
QS Al Thalaq 4 dalam menentukan batasan iddah orang hamil , Kedua :
Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap dalil yang umum,
seperti : menjama’ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89,
dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga menjama’
antara perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah
ba’da Ashar, Ketiga: Dengan cara mentaqyid sesuatu yang masih mutlaq ,
yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama; antara larangan
menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang
mengambil upah dari pekerjaanya. Keempat: Dengan menentukan arti
masing-masing dari dua dalil yang bertentangan, seperti : menjama’
antara pengertian suci dari haid yang berarti bersih dari darah haid dan
yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima : Menetapkan masing-masing
pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan sholat di rumah bagi
yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah di rumah.
8. Menggunakan asas “ saddu al-daraI’ “ untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
.( Saddu al dzara’I adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah,
karena akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang. Seperti : Larangan
memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, karena
dikawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan
ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena
kekawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan
menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan
menyebabkan finah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada Muktamar
Tarjih di Malang 1989.
9.
Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil- dalil Al
Qur’an dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare’ah. Adapun qaidah : “ al hukmu yaduuru ma’a ‘ilatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku “ ( Ta’lil
Nash adalah memahami nash Al Qur’an dan hadits, dengan mendasarkan pada
illah yang terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah
Masjid Al Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka’bah, juga
perintah untuk meletakkan hijab antara laki-laki dan perempuan, yang
dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang
pada Muktamar Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa
pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak,
selama aman dari fitnah )
10. Pengunaaan dalil- dalil untuk menetapkan suatu hukum , dilakukan dengan cara konprehensif , utuh dan bulat. Tidak terpisah. (
Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq yang
bernyawa,jika dimaksudkan untuk disembah atau dikawatirkan akan
menyebabkan kesyirikan )
11. Dalil –dalil umum al Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah. ( Lihat keterangan dalam point ke 5 )
12. Dalam mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip “Taisir “ ( Diantara contohnya adalah : dzikir singkat setelah sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat )
13.
Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan- ketentuannya dari Al
Qur’an dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal,
sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus
diakui ,akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada
akal memiliki kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi.
( Contohnya, adalah ketika Majlis Tarjih menentukan awal Bulan Ramadlan
dan Syawal, selain menggunakan metode Rukyat,juga menggunakan metode al
Hisab. Walaupun pelaksanaan secara rinci terhadap keputusan ini perlu
dikaji kembali karena banyak menimbulkan problematika pada umat Islam di
Indonesia )
14.
Dalam hal- hal yang termasuk “al umur al dunyawiyah” yang tidak
termasuk tugas para nabi , penggunaan akal sangat diperlukan, demi
kemaslahatan umat.
15. Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.
16.
Dalam memahani nash , makna dlahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang
aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima. ( Seperti
dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan
perbuatan Allah swt,seperti Allah bersemayam d atas Arsy, Allah turun ke
langit yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam dll )
Penyempurnaan dan Pengembangan Majlis Tarjih
Sebagaimana
diketahui bahwa Persyarikatan Muhammadiyah merupakan persyarikatan yang
bergerak untuk Tajdid dan pembaharuan. Maka Majlis Tarjih, yang
merupakan bagian terpenting dalam organisasi tersebut tidak bersifat
kaku dan kolot, akan tetapi keputusan- keputusan Majlis Tarjih masih ada
kemungkinan mengalami perubahan kalau sekiranya dikemudian hari ada
dalil atau alasan yang dipandang lebih kuat. Bahkan nama dan kedudukan
Majlis dalam Persyarikatan bisa mengalami perubahan sesuai dengan
kebutuhan. Diantara perubahan-perubahan yang terjadi dalam Majlis Tarjih
adalah :
1.Perubahan
nama “ Majlis Tarjih “. Karena mengingat, semakin banyak dan kompleknya
problematika-problematika yang dihadapi umat Islam pada puluhan tahun
akhir ini. Terutama berkembangnya pemikiran baru, yang kesemuanya harus
dijawab oleh Majlis Tarjih. Dan karena nama Tarjih, masih identik dengan
masalah-masalah fiqh, maka nama Majlis Tarjih perlu di tambah dengan
sebutan yang bisa mewakili tugas tersebut, maka dipilihlah nama
Pengembangan Pemikiran Islam sehingga namanya menjadi “ Majlis Tarjih
dan Pengembangan Pemikiran Islam “. Penambahan ini diputuskan pada tahun
1995, ketika dilangsungkan Muktamar Aceh.
2.Penambahan
terhadap tiga bentuk Ijtihad yang digunakan Majlis Tarjih ( Yaitu
Ijtihad Bayani, Qiyasi dan Istishlahi ) dengan ditambah tiga pendekatan
baru ,yaitu Pendekatan ” Bayani” , “ Burhani” dan “ Irfani”.
Tiga pendekatan tersebut diputuskan pada MUNAS Tarjih di Malang, tahun
2000. Kemudian disempurnakan pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang,Oktober
2003. Walaupun telah dilakukan beberapa kali sidang, tiga pendekatan
tersebut masih belum tuntas pembahasannya.
3.Perubahan nama Mukatamar Tarjih menjadi MUNAS ( Musyawarah Nasional ) Tarjih.
4.Perampingan
anggota Majlis Tarjih yaitu dengan menetapkan Anggota Tetap Majlis
Tarjih . Pada awalnya muktamar –muktamar atau musyarawarah musyawarah
Majlis yang bersifat nasional, melibatkan utusan-utusan wilayah-wilayah
yang sering berganti-ganti, atau yang sering disingkat dengan MTPPI
Wilayah. Akan tetapi pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang, Oktober 2003
dilakukan perampingan dengan membentuk anggota tetap Majlis Tarjih yang
berjumlah sekitar 99 anggota, yang bertugas untuk melakukan sidang
setiap hal itu diperlukan. Langkah-langkah ini diambil, mengingat kurang
efektif dan efesiennya perjalanan Muktamar Tarjih selama ini, khususnya
ketika diganti namanya dengan MUNAS( Musyawarah Nasional ) . Walaupun
sampai saat ini , keputusan tersebut belum ditanfidkan oleh Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, namun akan mempunyai pengaruh yang besar bagi
perjalanan Majlis Tarjih pada masa-masa mendatang.
5.Perubahan
keputusan-keputusan tarjih yang dirasa kurang sesuai lagi, seperti
pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan, pencabutan
larangan perempuan untuk keluar rumah, pencabutan keputusan tentang
larangan perempuan ikut berdemonstrasi dan lain-lain . Ini dikuatkan
juga dengan adanya komisi Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih , pada
MUNAS Tarjih di padang, Oktober 2003.
Penutup
Perjalan
Majlis Tarjih selama 77 tahun, memang penuh dengan tantangan dan
cobaan. Tugas yang diembannya untuk membimbing masyarakat Islam
Indonesia, pada umumnya dan warga Persyarikatan Muhammadiyah pada
khususnya dalam masalah keagamaan dan pengembangan pemikiran Islam,
nampak begitu berat dan menuntut adanya kesabaran dan perjuangan, serta
pencarian yang tiada kenal putus asa. Sehingga perbaikan,penyempurnaan
serta pengembangan Majlis tarjih ini sangat mutlak diperlukan,guna
memberikan konstribusi-konstribusi yang bermanfaat bagi umat Islam
Indonesia.
Demikian
tulisan singkat tentang Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.
Yang sedikit ini, mudah-mudahan bisa membuka cakrawala, khususnya bagi
kader-kader Muhammadiyah, dan bisa menjadi bekal awal untuk pengembangan
pemikiran dalam persyarikatan ini. Wallahu A’lam.
Kairo, 3 Maret 2004
DAFTAR PUSTAKA
- Abdurrohman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi,( Jokyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, Cet I )
- An-Najah, Ahmad Zain , Metode Penggunaan Rukyat dan Hisab, dan Pengaruhnya Terhadap Persatuan Umat, (Padang : MTPPI PP Muhammadiyah , 2003
- ———-, Mengkaji Ulang Sikap Muhammadiyah Terhadap Hadist Ahad,( Makalah, 2004 )
- Badan pendidikan Kader PP. Muhammadiyah, Materi Induk Perkaderan Muhammadiyah, ( Jogyakarta : BPK PP.Muhammadiyah,Oktober 1994, Cet I )
- Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Prespektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta : Universitas Yarsi 1999)
- § Majlis Tarjih Dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buku Panduan Munas Tarjih ke 26 , (Jokyakarta : MTPPI PP Muhammadiyah, 2003)
- Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih, ( Jokyakarta : PP. Muhammadiyah Cet. III) .
- Siregar, Hamka, Mencari Format Baru Tarjih Muhammadiyah. (Padang : MTPPI PP Muhammadiyah , 200
- Lubis, Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh,Suatu Studi Perbandingan (Jakarta : Bulan Bintang
- Majalah Suara Muhammadiyah, edisi 06. Maret 2003
*
Makalah ini dipresentasikan dalam acara FORMAT ( Forum Kader Umat )
yang diselenggarakan oleh PCIM ( Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah )
Kairo,Mesir pada tanggal 7 Maret 2004 di Sekertariat PCIM.
Karya-Karya Hamka
Written By Unknown on Senin, 06 Mei 2013 | 11.47
Setelah dia kembali dari Jogya tahun 1924,
setelah dia mendapatkan kursus pergerakan Islam dari H.O.S Cokroaminoto,
H.Fakhrudin, R.M.Suryo Pranoto dan terutama dari abang iparnya sendiri A.R
Sutan Mansyur yang pada waktu itu berada di Pekalongan.
Maka pada tahun 1925dia kembali ke Padang
Panjang. Disinilah mulai bakat mengarang tumbuh. Buku pertama dikarangnya
adalah KHATIBUL UMMAH.
Dalam tahun 1929 terbitlah buku-bukunya Agama
dan Perempuan, Pembelaan Islam , Adat Minangkabau dan Agama Islam (Buku ini
dibeslah Polisi Kompuni) Kepentingan Tabligh, Ayat-ayat Mi'raj dan
lain-lain.
Dalam tahun 1930 mulailah dia mengarang dalam
surat kabar Pembela Islam Bandung, dan berkenalan dengan M.Natsir (Perdana
Menteri Pertama RI), A.Hasan dan lain-lain.
Ketika dia pnidah mengajar ke Makasar di
terbitkannya majalah Al Mahdi. tahun 1936 menerbitkan mingguan Islam Pedoman
Masyarakat, majalah ini di pimp[innya sendiri dari tahun 1936 sampai dengan
1943, ketika Jepang masuk.
Dizaman itulah banyak karangannya dalam bidang
Agama, Filsafat, Tasauf, dan Roman, Ada yang ditulis di Pedoman Masyarakat, dan
ada juga yang di tulis lepas.
Pada saat yang sama terbit pulalah Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk, Dibawah Lindungan Ka'bah, Merantau Kedelli, Terusir-usir,
Keadilan Ilahi dan lain-lain.
Dalam hal Agama dan filsafat Tasauf Modern,
Falsafah Hidup, Lembaga Hidup , Lembaga Budi, Pedoman Mubaligh Islam dan
lain-lain.
Dizaman Jepang itu pula dia coba menerbitkan buku
Semangat Islam dan Sejarah Islam Sumatera.
Setelah pecah perang Revolusi, Buya Hamka pindah
ke Sumatera Barat. Dikeluarkannya buku-buku yang cukup menggoncangkan yaitu, Revolusi
Fikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Negara Islam,
Sesudah Naskah Renville, Muhammadiyah Melalui Tiga zaman, dari Lembah
Cita-cita, Merdeka, Islam dan Demokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat dan Menunggu
Beduk Berbunyi.
Tahun 1950 Hamka pindah ke Jakarta, disini keluar
buku-bukunya Ayahku, Kenang-Kenangan Hidup, Perkembangan Tasauf dari abad ke
abad, Urang Tunggang Pancasila.
Riwayat perjalanan ke negeri-negeri Islam : Ditepi
Sungai Nil, Ditepi Sungai Dajlah, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Empat Bulan di
Amerika dan lain-lain.
Kian lama kian jelaslah coraknya sebagai
pengarang Pujangga, dan filasuf Islam, diakui lawan dan kawan.
Pada tahun 1952 diangkat oleh Pemerintah jadi
anggota Badan Pertimbangan Kebudayaan dan Kementrian PP dan K dan juga menjadi
Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam dan Universitas Islam di Masar dan
menjadi penasehat pada Kementrian Agama.
Disamping keasikan mempelajari Kesusasteraan
Melayu Klasik, HAMKA pun sangat tekun mempelajari dan menyelidiki kesusasteraan
Arab, sebab bahasa yang dikuasainya hanyalah semata-mata bahasa Arab. Drs.
Slamet Mulyono, ahli tentang kesusasteraan Indonesia menyebutkan HAMKA sebagai
hamzah Fanshuri zaman baru.
Pada tahun 1955 keluarlah buku-bukunya
Pelajaran Agama Islam , Pandangan Hidup Muslim, Sejarah Hidup Jamaluddin Al
Afghany dan Sejarah Umat Islam.
Karya-karya Buya HAMKA sebanyak 117 Judul.
Buku-buku ini banyak ditangan kolektor, karena belum dicetak ulang.
Mengenang Sa'diyah Syarif
Written By Unknown on Kamis, 27 September 2012 | 09.47
Sa'diyah Syarif merupakan salah seorang putri Sungai Batang yang lahir di Padang Sariak Jorong Nagari Kanagarian Sungai Batang Kecamatan Tanjung Raya pada tanggal 10 Syawal 1332. H / 18 Juli 1914 M. Dengan kepribadian yang keras dan di dukung dengan otak yang cerdas beliau mulai belajar dari lingkungan yang terdekat, belajar membaca Al-quran di surau balenggek dengan Syekh Muhammad Amrullah,dan sederetan ulama-ulama yang ada pada waktu itu.
Sebagai latar belakang pendidikan formal ibu Sa'diyah Syarif adalah sebgai berikut :
- Al-quran Diniyah Islamiyah tahun 1920 s/d 1922 di Kukuban Nagari Maninjau.
- SD / Standar (Governemen) 1922 s/d 1928
- Belajar dengan DR.Syeikh Abdul Karim Amrullah di Muara Pauh Nagari Sungai Batang tahun 1929 s/d 1933
- Diniyah Putri Rahmah Elyunusi 1934 s/d 1942 di Padang Panjang.
Setelah tamat dari Diniyah Putri pada tahun 1942 beliau langsung mengajar di Diniyah putri itu semenjak dari tahun 1943 s/d 1960. Namun pada tahun 1960 itu karir beliau menjadi seorang guru di Diniyah Putri Elyunusi Padang Panjang berakhir, dikarenakan meletusnya PRRI ditahun itu, maka beliau terpaksa pulang kekampung halaman.
Berkat bimbingan dari guru beliau di diniyah putri seperti Rangkayo Rahmah Elyunusi dan Ustad Zainuddin Labai Elyunusi (Pendiri Diniyah Scool Padang Panjang)maka sesampai beliau di kampung,sa'diyah tidak bisa untuk berpangku tangan,beliau aktif di organisasi 'Aisyiyah Cabang tanjung Raya Selatan sekaligus ketua Da'wah dan pendidikan di 'aisyiyah.
Pada tahun 1961 berdasarkan permintaan dari Syeikh Yusuf Amrullah (Salah seorang pendiri Sekolah Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah) beliau mulai mengajar di Madrasah Tsanawiyah, pada waktu itu nama Madrasah Tsanawiyah masih Ihya 'Ulumiddin. dengan latar belakang kepribadian dan pendidikannya yang penuh dengan kedisiplinannya dan dia juga ahli dan mahir dengan ilmu nahu dan syaraf serta menguasai Alqiraatul kitap maka pada tahun 1979 beliau diangkat menjadi kepala sekolah hingga tahun 1985.
Setelah beliau tidak lagi jadi kepala sekolah di tahun 1985 , aktifitas beliau mengajar wirid ke surau-surau yang ada di Sungai Batang hingga akhir hayat beliau pada tahun 1996.
"SANG SINGA PODIUM"
Written By Unknown on Selasa, 25 September 2012 | 12.06
Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Ia dijuluki "Singa
Podium". Sebuah julukan yang sangat beralasan demikian karena kefasihan
kemampuan berorasi mampu mengobarkan semangat setiap orang yang mendengarnya.
Pemuda yang bertubuh pendek, gemuk dengan bahu yang agak bungkuk ini lahir di
Maninjau, Sumatera Barat, 1 Juli 1916.
Di usianya yang masih remaja, Isa
Anshari telah terjun ke dunia politik. Di kota kelahirannya itu ia sudah
menjadi kader PSII dan aktif sebagai mubaligh Muhammadiyah. Seperti halnya para
pemuda lainnya, Isa Anshari merantau ke pulau Jawa dan menetap di kota Bandung.
Di kota Kembang inilah ia bertemu dengan Soekarno. Selain dikenal sebagai
pemuda yang taat beragama, aktivitas politiknya makin menggebu-gebu. Di usianya
yang muda, ia telah memimpin beberapa organisasi, yaitu Ketua Persatuan
Muslimin Indonesia Bandung, Pemimpin Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia Bandung,
Sekretaris Partai Islam Indonesia Bandung serta ikut mendirikan Muhammadiyah
cabang Bandung.
Dalam pergerakan itu, ia bergabung dengan kelompok pemuda yang
disebut-sebut radikal, seperti M. Natsir. Aktivitasnya di Persis yang sempat
dipimpinnya beberapa periode seakan-akan semakin tersemai subur. Ia juga
menjadi anggota Indonesia Berparlemen, Sekretaris Umum Komite Pembela Islam dan
pemimpin redaksi majalah Daulah Islamyah.
Satu hal yang mencolok dari tokoh yang pernah menjadi pembantu tetap Pelita
Andalas dan Perbincangan ini adalah sikapnya yang tegas. Ia sering dinilai
tidak bersikap kompromistis. Tidak mengherankan kalau Herbert Feith menyebutnya
dengan figur politisi fundamentalis yang memiliki keyakinan teguh. Oleh karena
itu, pada zaman Jepang, ia telah mengomandoi gerakan Anti Fasis (Geraf), Biro
Penerangan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) Priangan, memimpin Angkatan Muda
Indonesia dan mengorganisasi Majelis Islam yang membentuk kader-kader Islam.
KH. Isa Anshari adalah salah satu pilar yang membangun Persis. Pada tahun 1935-1960 ia sempat menjadi ketua umumnya. Selama memimpin Persis, perannya sangat menonjol. Ia selalu memberikan arahan dan warna bagi organisasi itu. Pidatonya selalu bergelora membuat pandangan yang mendengarkan selalu tertuju kepadanya. Bukan sekali dua kali ia ditegur oleh aparat keamanan karena “garangnya” pidato yang ia sampaikan. Dalam hal tulis menulis analisisnya cukup tajam. Di antaranya hasil karyanya adalah Bahaya Merah Indonesia (1956), Barat dan Timur (1948), Islam Menentang Komunisme (1956), Tuntunan Puasa (1940), Umat Islam Menghadapi Pemilihan Umum (1953), dan lain-lain.
KH. Isa Anshari adalah salah satu pilar yang membangun Persis. Pada tahun 1935-1960 ia sempat menjadi ketua umumnya. Selama memimpin Persis, perannya sangat menonjol. Ia selalu memberikan arahan dan warna bagi organisasi itu. Pidatonya selalu bergelora membuat pandangan yang mendengarkan selalu tertuju kepadanya. Bukan sekali dua kali ia ditegur oleh aparat keamanan karena “garangnya” pidato yang ia sampaikan. Dalam hal tulis menulis analisisnya cukup tajam. Di antaranya hasil karyanya adalah Bahaya Merah Indonesia (1956), Barat dan Timur (1948), Islam Menentang Komunisme (1956), Tuntunan Puasa (1940), Umat Islam Menghadapi Pemilihan Umum (1953), dan lain-lain.
Dalam kancah politik, Masyumi menjadi ladangnya. Bagi para ulama kritis ,
berpolitik merupakan bagian tuntutan agama. Mereka selalu meneriakkan kebenaran
walaupun pahit dirasakan. Bagi mereka, berpolitik adalah alat untuk mencapai
cita-cita umat Islam. Di bawah bendera Masyumi, ia semakin memperkuat posisinya
sebagai politisi. Tahun 1949, ia memimpin sebuah kongres Gerakan Muslimin
Indonesia. Keterlibatan KH. Isa Anshari dalam pentas politik membuat dia harus
menghadapi risiko yang tidak kecil. Ketika terjadi razia terhadap orang-orang
yang diisukan ingin membunuh presiden dan wakil presiden pada bulan Agustus
1951 oleh PM Sukiman Wirdjosandjoyo, KH. Isa Anshari ditangkap. Namun beberapa
saat kemudian ia dilepaskan dan dinyatakan tidak bersalah. Sepak terjangnya di
bidang politik sempat menyedot perhatian massa. Di mana ia memberikan pidato,
pasti dipenuhi massa yang ingin mendengarkan suaranya. Biasanya massa yang
hadir bukan hanya partisipan Masyumi, tapi juga masyarakat umum. Pada masa
Soekarno, Masyumi menjadi salah satu lawan politik pemerintah yang terus
digencet. Saat tragedi Permesta meledak (1958), banyak tokoh-tokoh yang
diciduk. Termasuk KH. Isa Anshariyang saat itu berada di Madiun bersama
Prawotomangkusasmito, M. Roem, M. Yunan Nasution dan EZ.Muttaqien serta beberapa
tokoh lainnya.
Pada masa demokrasi parlementer, muncul beberapa konflik antar kelompok. Ada
yang menginginkan Indonesia berideologi sekuler-nasionalis dengan dasar negara
Pancasila. Di sisi lain ada yang menginginkan terbentuknya negara Islam, atau
paling tidak negara yang berideologikan hukum-hukum Islam. Di tubuh Masyumi,
cita-cita untuk membangun Negara Islam sangat subur. KH. Isa Anshari tetap
menjadi juru bicara yang ulet bagi Masyumi. Namun sayang, keinginan mereka
untuk mewujudkan Negara Islam gagal.
Ketidakberhasilan ini disebabkan beberapa hal, di antaranya munculnya polarisasi mengenai bentuk dan konsep negara Islam itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa aturan dan ajaran Islam harus terwujud lebih dahulu yang nantinya dengan sendiri akan terbentuk negara Islam. KH. Isa Anshari termasuk dalam kelompok ini.
Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa negara Islam harus di bentuk dahulu, baru kemudian diberi corak dan warna Islam. Di Luar itu, muncul kelompok yang lebih keras lagi. Maka meledaklah peristiwa DII/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh serta gerakan Ibnu Hajar di Kalimantan. Gerakan-gerakan itu dapat dipadamkan oleh Soekarno.
Pada era berikutnya, KH. Isa Anshari terus berkecimpung dalam membangun umat. Di usianya yang kian lanjut, ia lebih banyak mengkader generasi muda. Ia tidak lagi menjadi pemimpin di organisasi yang membesarkannya, tapi cukup sebagai penasehat. Begitulah contoh seorang pemimpin yang mengetahui keadaannya. Kendati demikian ia tetap saja mendapat halangan. Ia sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh Soekarno. Dari balik terali besi ia masih sempat mengirimkan tulisan-tulisan ke para sahabatnya. KH. Isa Anshari tidak mengenal lelah. Menjelang akhir akhir hayatnya ia tetap bekerja untuk umatnya. Pada 11 Desember 1969 atau sehari setelah Hari Raya Idul Fitri 1369 H ia meninggal dunia, di RS Muhammadiyah Bandung. Sehari sebelumnya ia menyatakan bersedia memberikan khutbah Idul Fitri, namun takdir berkehendak lain. Naskah khutbah itu sempat diketiknya dua halaman, dan tak sempat terbacakan.
Ketidakberhasilan ini disebabkan beberapa hal, di antaranya munculnya polarisasi mengenai bentuk dan konsep negara Islam itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa aturan dan ajaran Islam harus terwujud lebih dahulu yang nantinya dengan sendiri akan terbentuk negara Islam. KH. Isa Anshari termasuk dalam kelompok ini.
Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa negara Islam harus di bentuk dahulu, baru kemudian diberi corak dan warna Islam. Di Luar itu, muncul kelompok yang lebih keras lagi. Maka meledaklah peristiwa DII/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh serta gerakan Ibnu Hajar di Kalimantan. Gerakan-gerakan itu dapat dipadamkan oleh Soekarno.
Pada era berikutnya, KH. Isa Anshari terus berkecimpung dalam membangun umat. Di usianya yang kian lanjut, ia lebih banyak mengkader generasi muda. Ia tidak lagi menjadi pemimpin di organisasi yang membesarkannya, tapi cukup sebagai penasehat. Begitulah contoh seorang pemimpin yang mengetahui keadaannya. Kendati demikian ia tetap saja mendapat halangan. Ia sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh Soekarno. Dari balik terali besi ia masih sempat mengirimkan tulisan-tulisan ke para sahabatnya. KH. Isa Anshari tidak mengenal lelah. Menjelang akhir akhir hayatnya ia tetap bekerja untuk umatnya. Pada 11 Desember 1969 atau sehari setelah Hari Raya Idul Fitri 1369 H ia meninggal dunia, di RS Muhammadiyah Bandung. Sehari sebelumnya ia menyatakan bersedia memberikan khutbah Idul Fitri, namun takdir berkehendak lain. Naskah khutbah itu sempat diketiknya dua halaman, dan tak sempat terbacakan.