Website Resmi MTs Muhammadiyah Sungai Batang
Headlines News :
Selamat Datang di MTs Muhammadiyah Sungai Batang | Jl Lingkar Maninjau Km 5.5 Muaro Pauah Sungai Batang 26472 | Kritik, Saran dan Masukan Silahkan Dikirimkan ke email : info@mtsm-sungaibatang.com

Latest Post

MUI dan Organisasi Islam Sepakat Awal Puasa pada 9 Juli 2013

Written By Unknown on Senin, 08 Juli 2013 | 11.40

Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama dengan Organisasi Islam menggelar pertemuan untuk membahas penetapan awal Ramadhan 1434 Hijriyah.
Disepakati, awal bulan puasa atau 1 Ramadan 1434 Hijriyah jatuh pada 9 Juli 2013. Penetapan itu sesuai dengan suara mayoritas dalam menentukan hari pertama umat Islam berpuasa.
Demikian dikatakan Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan di Kantor MUI, Jakarta Pusat, Kamis (13/6). Keputusan MUI bersama organisasi Islam lain itu. Keputusan ini serempak dengan penetapan Pengurus Pusat Muhammadiyah yang juga sudah menetapkan bahwa awal puasa jatuh pada tanggal 9 Juli 2013.
Namun, cara menentukannya berbeda. Ada yang melakukan hitungan hisab atau rukyat, Ada pula yang melihat bulan baru alias hilal.
Amirsyah berharap tak ada kelompok yang memiliki penetapan berbeda. Karena, penetapan MUI itu sesuai dengan kesepakatan suara mayoritas organisasi Islam. Ia pun berharap pemerintah segera mengumumkan penetapan tersebut.

Semoga keseragaman penetapan awal puasa oleh MUI dan Muhammadiyah ini menjadi angin segar bagi umat Islam yang tidak lama lagi akan menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/06/13/35163/mui-dan-organisasi-islam-sepakat-awal-puasa-pada-9-juli-2013/#ixzz2YQUf4I00
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Perbanyak Sedekah

Written By Unknown on Kamis, 04 Juli 2013 | 13.30



DEMI mengisi bulan yang penuh rahmat ini, salah satu hal yang diajarkan Rasulullah SAW adalah memperbanyak sedekah. Memberikan harta terbaik yang kita miliki untuk dirasakan juga oleh mereka yang kurang beruntung. Sehingga, terciptalah rasa toleransi serta berbagi nasib dan penderitaan.

Hal ini sungguh telah Rasulullah SAW contohkan kepada umatnya. Ramadan merupakan momen yang tepat untuk memperbanyak sedekah atau berbagi kepada sesama.

Dari Ibnu Abbas RA berkata, “Rasulullah SAW adalah manusia yang paling dermawan. Saat di mana beliau paling suka berderma adalah pada bulan Ramadan saat beliau sering bertemu Jibril. Jibril kerap datang menemui Beliau pada setiap malam di bulan Ramadan untuk mengajari Alquran. Sungguh Rasulullah SAW saat sering bertemu Jibril adalah manusia yang paling suka berderma bahkan bisa mengalahkan angin yang bertiup kencang.” (Muttafaqun Alaihi).

Rasulullah SAW adalah manusia yang paling mengerti akan kebenaran dan balasan-Nya. Beliau adalah manusia yang amat percaya dengan janji Allah SWT atas ganjaran kebaikan. Sebab pahala dan kebaikan adalah rahasia langit yang dijanjikan dan hingga kini belum dapat diindera oleh ummat manusia.

Karenanya, Rasulullah SAW hanya mencontohkannya dan beliaulah sebaik-baik contoh yang pernah ada.

Rasulullah SAW bersedekah begitu sering bahkan mengalahkan angin yang bertiup kencang. Ini berarti bahwa tangan Beliau begitu ringan untuk membantu sesama.

Tidak ada jeda waktu yang diperlukan untuk memenuhi permintaan orang yang kekurangan. Beliau hanya berharap balasan Allah SWT yang berlipat ganda.

Manusia pada hakikatnya gemar dengan harta. Banyak sekali manusia yang terobsesi untuk mendapatkanya, meski ia tahu bahwa harta tak akan memberinya kebahagiaan dan kecukupan.

Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (QS. 92:11)

Bila manusia sudah menyadari hakikat harta yang binasa, semestinya ia berpikir untuk mentransformasikan harta yang ia miliki sehingga dapat dijadikan modal untuk mengarungi hidup di akhirat. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak sedekah.

Untuk apa harta banyak digunakan kalau hanya habis karena dimakan. Maka gunakanlah harta yang Allah berikan secukupnya, dan selebihnya habiskanlah dengan bersedekah.

Dengan sedekah, harta yang tadinya hanya akan habis kita gunakan atau makan, maka akan menjadi pahala yang besar di sisi Allah SWT hingga berlipat ganda dan akan ditemukan kembali sebagai kebaikan di akhirat. Apalagi bila hal itu dilakukan dalam Ramadan. Setiap amal manusia dilipatgandakan.

Perbanyaklah sedekah di jalan Allah SWT dan hiasilah Ramadan kali ini dengan sedekah.

Konsep Ilmu dalam Islam

Written By Unknown on Rabu, 03 Juli 2013 | 10.11

Abstrak
Ilmu sebagaimana akan kita uraikan nanti, merupakan system pemaknaan akan realitas dan kebenaran, bersumber pada wahyu yang didukung oleh rasio dan intuisi. Dengan proses nadzar dan fikr, rasio akan dapat berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, membuat analogi, membuat keputusan, serta menarik kesimpulan. Dalam worldview Islam, ilmu berkaitan erat dengan iman, ‘aql, qalb, dan taqwah. Tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi ilmu juga merupakan suatu metodologi. Dimana metodologi yang haq tentu tidak akan bertentangan dengan yang haq. Namun seiring berjalannya waktu, hegemoni dan kolonialisme menyebabkan umat Islam cenderung meniru dan mengadopsi konsep ilmu pengetahuan Barat secara buta. Sikap ini tentu saja menyebabkan kebingungan (confusition) yang berlanjut pada hilangnya identitas. Maka, upaya menggali dan mengembangkan konsep ilmu dalam al-Qur`an dapat dijadikan landasan bagi upaya merumuskan kerangka integrasi ilmu pengetahuan yang genuine.

A. Prolog
Ilmu dan derivasinya muncul berulang kali dalam al-Quran dan menempati posisi kedua setelah kata tauhid. Dalam shahih Bukhari, bab ilmu (kitab al-`ilm) disandingkan dengan bab iman (Kitab al-iman). Hal ini menunjukkan betapa konsep terpenting dan komprehensif yang terkandung dalam al-Qur`an dan as-Sunnah adalah ilmu (`ilm) setelah iman. Signifikansi ini dapat dilihat dari fakta lima ayat pertama yang diturunkan dalam al-Qur`an, serta puluhan hadith nabi yang menegaskan wajibnya mencari ilmu. Senada dengan hal ini, Franz Rosental mengungkapkan bahwa di dalam Islam ilmu menempati posisi yang tidak ada padanannya dalam peradaban atau agama lain.

Namun seiring berjalannya waktu, hegemoni dan kolonialisme menyebabkan umat Islam cenderung meniru dan mengadopsi konsep ilmu pengetahuan Barat secara buta. Kecenderungan sikap imitative ini menyebabkan kebingungan (confusition) yang berlanjut pada hilangnya identitas. Dengan demikian, upaya membangkitkan kembali konsep ilmu dalam Islam, urgen dan krusial. Tentu saja dengan menggali dan mengembangkan konsep ilmu dalam al-Qur`an dapat dijadikan landasan bagi upaya merumuskan kerangka integrasi ilmu pengetahuan yang genuine.

Berangkat dari pemikiran ini, makalah ini mencoba mendeskripsikan konsep ilmu dalam Islam sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Berikut akan dikemukakan defenisi ilmu, ilmu dan kaitannya dengan pandangan hidup (worldview) , sumber, metode, klasifikasi dan tujuan memperoleh ilmu dalam Islam.

B. Defenisi Ilmu
Secara etimologis, kata `ilmu berasal dari bahasa Arab al-`ilm yang berarti mengetahui hakekat sesuatu dengan sebenar-benarnya. Badr al-Din al-‘Aini mendefinisikan, bahwa ilmu secara bahasa merupakan bentuk masdar dari pecahan kata kerja ‘alima yang berarti tahu; meskipun demikian, tambahnya, kata ilmu berbeda dengan kata ma’rifah. Kata ma’rifah memiliki makna yang lebih sempit dan spesifik, sementara ilmu mempunyai makna yang lebih umum.

Tidak sedikit upaya yang telah dilakukan para pemikir Muslim terdahulu untuk mendefinisikan kata ilmu. berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli teolog dan ahli hukum, filsuf dan linguists. Yang pertama menurut al-Raghip al-Ishfahani (443/1060). Dalam Mufradat Alfaz al-Qur’annya, ilmu didefinisikan sebagai "Persepsi akan realitas sesuatu" (al-ilmu idrak al-shay’ bi-haqiqatihi) Ini berarti bahwa hanya memahami kualitas (misalnya bentuk, ukuran, berat, volume, warna, dan properti lainnya) dari suatu hal bukan merupakan ilmu. Definisi ini didasari pandangan filosofis bahwa setiap substansi terdiri dari esensi dan eksistensi. Esensi adalah sesuatu yang menjadikan sesuatu itu, sesuatu itu akan tetap dan sama sebelum, selama, maupun setelah perubahan. Artinya, ilmu adalah semua yang berkenaan dengan realitas abadi itu.

Definisi kedua diajukan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 505/1111) yang menggambarkan ilmu sebagai “pengetahuan akan sesuatu sebagaimana adanya” (ma‘rifat al-shay’ ‘ala mahuwa bihi) : Pada definisi ini, untuk mengetahui sesuatu adalah dengan mengenali sesuatu sebagaimana ia. Artinya, ilmu adalah pengakuan, merupakan keadaan pikiran-yaitu, suatu kondisi dimana sebuah objek tidak lagi asing bagi seseorang sejak objek itu diakui oleh pikiran seseorang. Pemaknaan ini tentu tidak seperti istilah idrak (digunakan dalam definisi al-Ishfahani) yang tidak hanya menyiratkan aktivitas olah fikir atau perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, tetapi juga menunjukkan bahwa pengetahuan datang ke dalam pikiran seseorang dari luar, dalam definisi Imam al-Ghazali istilah ma'rifah menyiratkan fakta bahwa ilmu selalu merupakan jenis penemuan makna pada diri subjek akan suatu objek. Pada pemaknaan ini; firasat, dugaan, ilusi, halusinasi, mitos, dan sejenisnya tidak bisa dikatakan sebagai ilmu.

Definisi lain ditawarkan oleh pemikir yang dikenal sebagai ahli logika Atsir al-Din al-Abhari (d. 663/1264). Ilmu, ia tegaskan adalah sampainya gambar maupun abstraksi dari suatu hal dalam akal subjek (ุญุตูˆู„ ุตูˆุฑุฉ ุงู„ุดูŠุฆ ููŠ ุงู„ุนู‚ู„) . Konon definisi ini berasal dari Ibnu Sina (w. 428/1037) pemaknaan ini menjelaskan bahwa upaya mengetahui suatu objek adalah membentuk ide tentang objek tersebut, untuk memiliki gambar hal ini diwakili dalam pikiran. Dengan kata lain, upaya mengetahui adalah konseptualisasi. Pengetahuan adalah representasi atau konsepsi dari hal yang dikenal.

Al-Sharif Al-Jurjani (w. 816/1413) dalam at-Ta’rifatnya mendefinisikan ilmu sebagai sampainya pikiran pada makna dari suatu objek. Definisi al-Jurjani dan definisi yang dikemukakan Ibnu Sina dan al-Abhari selanjutnya dipadukan oleh Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam monografnya yang berjudul The Concept of Education in Islam. Menurut al-Attas, definisi terbaik atas ilmu adalah 'sampainya makna dalam jiwa serta sampainya jiwa pada makna' ุงู„ุนู„ู… ู‡ูˆ ุญุตูˆู„ ู…ุนู†ูŠ ุงู„ุดูŠุฆ ููŠ ุงู„ู†ูุณ ูˆ ุญุตูˆู„ ุงู„ู†ูุณ ุฅู„ูŠ ู…ุนู†ูŠ ุงู„ุดูŠุฆ)) Satu hal yang jelas dalam definisi ini; ilmu adalah tentang makna. Objek apapun, fakta maupun suatu peristiwa dikatakan diketahui seseorang jika bermakna baginya. Dengan demikian, dalam proses kognisi, pikiran tidak sekedar penerima pasif, tetapi ia aktif dalam arti mempersiapkan diri untuk menerima apa yang ia ingin terima (mengolah dan menyeleksi makna yang diterima secara sadar).
Dari sekian defenisi yang dikemukan, tampak bahwa sebenarnya untuk mendefinisikan ilmu bukanlah hal yang mudah. Definisi ilmu telah jadi bahan perdebatan yang melibatkan tidak sedikit dari pemikir Muslim. Namun fakta tersebut mengukuhkan betapa dalam peradaban Islam, ilmu mendapat perhatian yang tiada bandingannya dalam peradaban lain.

C. Ilmu dan Pandangan Hidup (worldview)
Setiap masyarakat dalam kehidupannya senantiasa dipenuhi oleh nilai-nilai, aturan-aturan, dan sistem kepercayaan yang mampu membentuk pola berfikir dan berperilaku para anggotanya. Dalam kehidupan sosial, biasanya seperangkat nilai, aturan, dan kepercayaan itu akan teralirkan dari satu generasi ke generasi melalui suatu proses sosialisasi yang pada akhirnya membentuk suatu tradisi di tengah masyarakat. Itu sebabnya, sebagai suatu konsep sosio-logis, tradisi biasa diartikan meliputi worldview yang terkait dengan nilai-nilai, aturan-aturan, sistem kepercayaan, dan pola berfikir masyarakat dalam keseluruhan tata cara hidupnya.

Masyarakat muslim adalah suatu kelompok masyarakat yang dikenal memiliki akar-akar tradisi yang kokoh, karena Islam yang mereka peluk menjadi bagian dari mata rantai sistem kepercayaan universal yang telah ada -mungkin- ratusan abad sebelumnya, sejak masa Nabi Adam. Pandangan ini didasarkan pada penegasan berbagai surat di dalam al-Qur’an, bahwa para nabi dan rasul terdahulu mewariskan paham Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid) kepada umatnya masing-masing sebagaimana Nabi Muhammad mengajarkannya pada umat Islam. Kokohnya akar tradisi ini juga dikarenakan al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang Islam agar menjadikan tawhid sebagai titik temu ‘kalimah sawa’ dan pandangan hidup bersama di antara sesama agama samawi. Dengan kata lain, Tuhan menegaskan kepada umat Islam agar terus menghidupkan tauhid itu sebagai akar-akar tradisinya, yang menjadi sumber nilai, aturan, norma, dan landasan kepercayaan hidup di berbagai fase sejarah dan dalam sistuasi sosio-kultural apapun.
Berangkat dari makna ilmu sebagaimana didefinisikan oleh al-Attas, jelas bahwa dalam worldview Islam ilmu berkaitan erat dengan iman, ‘aql, qalb, dan taqwah. Ilmu tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi juga merupakan suatu metodologi. Dimana metodologi yang haq tentu tidak akan bertentangan dengan yang haq.

D. Sumber Ilmu dan Metode Memperoleh Ilmu
Sumber ilmu adalah bahasan fundamental dalam bahasan epistemology. Dari mana kita mendapatkan pengetahuan? Adakah suatu sumber ilmu? Dalam hal ini, tidak sedikit ditemukan ayat-ayat dalam al-Quran yang mengisyaratkan bahwa realitas (tampak maupun tidak ) bisa menjadi sumber ilmu. Walau dalam kedudukannya, realitas sebagai sumber ilmu berada setelah Allah dan wahyu. Dalam surat al-ghasiyah misalnya, terdapat isyarat bahwa realitas fisik, jika diteliti akan menyampaikan informasi yang bisa dikembangkan jadi sebuah ilmu bagi penelitinya. Atau dengan kata lain, ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa dalam proses pencapaian ilmu dibutuhkan proses penalaran yang melibatkan rasio. Senada dengan hal ini, Imam al-Bazdawiy menyatakan (cara manusia mengetahui sesuatu itu) ada tiga; Perspektif indera, reportase (khabar) dan Pembuktian (akal/rasio).

Al-Attas menyatakan ilmu dapat diperoleh melalui empat jalan. (1), Panca indera yang sehat (sound senses). Panca indera kemudian dibagi menjadi dua, yakni eksternal dan internal. (2), Khabar yang benar dan otoritatif (authoritative true reports). Di sini, khabar tersebut di bagi menjadi dua, yakni mutlak (absolute authority) yang meliputi otoritas ketuhanan yang berasal dari Al-Qur’an dan otoritas kenabian yang berasal dari Rasulullah. Sedangkan yang nisbi (relative authority) meliputi kesepakatan ulama dan khabar dari orang terpercaya secara umum. (3) Akal yang sehat (sound reason). (4), Ilham (intuition).

Dengan demikian ilmu dari Allah yang sampai pada manusia melalui empat jalan di atas, ditanggapi oleh akal sebagai realitas ruhani dalam kalbu manusia sekaligus yang mengendalikan proses kognitif manusia. Melalui kalbu, jiwa rasional (an-nafsu an-natiqah) bisa membedakan antara kebenaran (al-haq) dari kesalahan (al-bathil). Akal dalam arti kata ratio atau reason tidak berlawanan dengan intuisi (wijdan). Artinya, dalam hal ini, akal dan intuisi saling berkaitan dan bersatu melalui intelek (intellect).

E. Klasifikasi Ilmu
Berangkat dari keterbatasan potensi yang dimiliki rasio. Dalam proses pencariannya dibutuhkan pembatasan-pembatasan yang berkaitan dengan ilmu itu sendiri. Pembatasan-pembatasan ini kita sebut sebagai klasifikasi ilmu. Pengklasifikasin ini bisa berdasarkan sifat absoluditasnya ilmu, objek yang diteliti, metode ilmu itu dihasilkan ataupun subjek dari objek ilmu itu sendiri. Menurut Imam al-Baqillani ilmu makhluk (yakni pengetahuan manusia) itu ada dua jenis; Pengetahuan yang bersifat pasti dan pengetahuan yang diperoleh melalui nalar akal. Pengetahuan yang bersifat pasti itu adalah pengetahuan inderawi, pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan pengetahuan khabar/laporan mutawatir lebih lanjut Imam Ibnu Jawziy mengklasifikasikan ilmu dalam tiga macam. Ilmu pasti yang diperoleh secara a prioriy atau intuitif maupun secara diskursif, Ilmu yang didapat melalui panca indera, dan Ilmu yang diperoleh lewat berita, secara mutawatir maupun perorangan.

Abu Hamid Al-Ghazali membagi ilmu menjadi empat sistem klasifikasi yang berbeda: pertama, berdasarkan pembedaan antara intelek teoretis dan intelek praktis, yang umumnya diterapkan pada ilmu-ilmu agama, bukan filosofis. Kedua, pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan huduri dan pengetahuan husuli yang didasarkan atas perbedaan tentang cara-cara mengetahui. Pengetahuan huduri terbebas dari kesalahan dan keraguan, yang memberikan kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran spiritual. Ketiga, pembagian atas ilmu-ilmu agama (syari`ah) dan intelektual (`aqli,yah, gayr al-syari`ah), yang didasarkan atas pembedaan sumber wahyu dan sumber akal. Keempat, pembagian ilmu-¬ilmu menjadi fardlu ain dan fardlu kifayah, didasarkan atas perbedaan hukum keharusan dalam pencarian ilmu.

“Ilmu nonagama” masih bisa diklasifikasikan kepada ilmu yang terpuji (mahmud), dibolehkan (mubah) dan tercela (madzmum). Sebagai contoh: ilmu sejarah bisa dikategorikan ilmu mubah; sihir dikategorikan “ilmu” tercela. Ilmu-ilmu terpuji, yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, bisa dikategorikan wajib kifayah. Misalnya; Ilmu tentang obat, matematika, politik dan kerajinan-kerajin¬an yang diperlukan oleh masyarakat.

Al-Ghazali mengklasifikasikan "ilmu agama" dalam dua kelompok: terpuji (mahmud) dan tercela (madzmum). Yang dimaksud dengan "ilmu agama tercela" adalah ilmu yang tampaknya diarahkan kepada syariah, tapi nyatanya menyimpang dari ajaran-ajarannya. Sedangkan "ilmu agama terpuji" dan dikategorikan wajib kifayah, dibagi dalam empat kelompok: pertama; Ilmu Ushul (dasar-dasar; yaitu: Al-Quran, Al-Sunnah, ijma' atau konsensus dan tradisi [kebiasaan] para sahabat Nabi). Kedua; Furu`(masalah-masalah sekunder atau cabang; yaitu: masalah-masalah fiqih, etika, dan pengalaman mistik. Ketiga; Studi-studi pengantar (qaidah, sharaf, bahasa Arab, dan lain¬-lain). Keempat; Studi-studi pelengkap (membaca dan menerjemahkan Al-¬Quran, mempelajari prinsip-prinsip fiqih, `ilm al--rijal atau penyelidikan biografi para perawi hadis-hadis, dan lain-¬lain). Dalam hal ini, Al-Ghazali memandang ilmu yang tercakup di dalam empat ke-lompok di atas sebagai wajib kifayah.

Konsep klasifikasi ilmu yang telah dikemukakan baik oleh Imam al-Baqillani, Ibnu Jawziy maupun al-Ghazali diatas dapat dinilai sebagai pendapat yang saling menguatkan dan melengkapi. Kesemua pandangan tersebut sangat erat kaitannya dengan pandangan hidup Islam (worldview Islam), dan sejalan dengan epistemologi Islam. Ini tentu secara tegas berbeda dengan Barat, yang tidak melibatkan Tuhan dalam kelahiran, proses dan arah pengembangan ilmunya. Ilmu yang dikonsepsikan insan bertauhidy tentunya akan melahirkan hasil maupun karya yang sejalan dengan fitrahnya sebagai manusia. Sebagai contoh; peneliti biologi yang bertauhidi tentunya tidak akan membenarkan teori evolusi sebagaimana dirumuskan oleh Darwin. Dan satu hal terpenting, berbeda dengan peradaban lain, dalam Islam memperoleh Ilmu adalah upaya sesempurna mungkin untuk memanfaatkan potensi diri. Hal tersebut dilakukan demi mendapatkan derajat yang tinggi dihadapan Sang Khaliq.

F. Epilog
Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan betapa Islam sebagai peradaban sangat menaruh perhatian besar pada ilmu. Baik pemaknaan, sumber dan klasifikasinya diwarnai oleh pandangan akan hadirnya Tuhan dalam setiap proses kehidupan manusia. Ilmu sebagaimana diuraikan diatas merupakan system pemaknaan akan realitas dan kebenaran, bersumber pada wahyu yang didukung oleh rasio dan intuisi. Olah rasio tersebut meliputi nalar (nadzar) dan alur fikir (fikr). Dengan proses tersebut akal akan dapat berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, membuat analogi, membuat keputusan, serta menarik kesimpulan. Sebagai instrumen penuntun manusia, ilmu memungkinkan manusia untuk mengetahui (‘ilm), mengenal (ma‘rifah), memilih (ikhtiyar), memilah (tafriq), membedakan (tamyiz), menilai dan menentukan (hukm) atas segala sesuatu. Wa Allah al-Hadi Ila al-Shawab.


Daftar Pustaka
A. Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Islamabad, 1970)
Abd al-Rahman Badawi, Mu’allafat al-Ghazali (Kuwait: Wakalat al-Matbu‘at, 1977).
Abdul Hamid Rajih al-Kurdi, Nazariah al-ma`rifah bain al-Qur`an wa al-Falsafah, Riyadh, Makrabah Muayyad wa al-Ma`had al-`Ali li al-Fikr al-Islami, al-Mamlakah al-`Arabiyah al-Su`udiyah
Abi ‘Abdillah al-Bukhari. Sahih Bukhari. Hadits ke 77
Al-Isfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, ed. Safwan ‘A. Dawudi (Damascus: Dar al-Qalam, 1412/1992)
Dr Syamsuddin Arif, Defining and Mapping Knowledge In Islam, dalam makalah yang disampaikan pada seminar Pascasarjana di ISID
Fazlurrahman, Major Thems of The Qur`an, Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994,
Franz Rosental, Knowledge Triumphat: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, Leiden: E.J.Brill, 1970
Imam al-Ghazali, Freedom and Fulfillment: An Annotated Translation of al-Munqidz min al-dhalal and Other Relevant Works of al-Ghazali, terj. R.J. McCarthy, Boston, 1980
Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1420/1999), Jilid I
Imam Fakhruddin Ar-Razi, Muhashal Al-Afkar Al-Mutaqaddimin wa Al-Mutaakhirin, Al-Mathba’ah Al-Husayniyyah, Kairo
Majma` al-Lughah al-Arabiyah, Mu`jam al-Wasith, Istanbul: Dar al-Da`wah, 1990 Badr al-Dรฎn al-‘Aini. ‘Umdah al-Qรขrรฎ. Juz 2, (Bairut: Dar al-Fikr). Tth.
Maulana Muhammad Ali, A Manual of Hadith, London: Curzon, 1977
Mehdi Goslani, The Holy Qur`an and Science of Nature, Teheran; Islamic Propagation organization, 1984
Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, cetakan pertama, Gema Insani Press, Jakarta: 2008
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, A Commentary on The Hujjat Al-Siddiq of Nur Al-Din Al-Raniri, The Ministry of Culture, Malaysia: 1986, h. 31.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995)
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for An Islamic Philosophy of Education, ISTAC, Kuala Lumpur: 1991, h. 14.
Wan Muhammad Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam: its Implications for Education In Developing Country
Yasien Mohammed, The Path to Virtue (Kuala Lumpur: ISTAC, 2006).

Tapak Suci Putera Muhammadiyah

Written By Unknown on Selasa, 02 Juli 2013 | 22.04

TRADISI PENCAK SILAT sudah berurat-berakar dikalangan masyarakat Indonesia sejak lama. Sebagaimana seni beladiri di negara-negara lain, pencak sitat yang merupakan seni beladiri khas Indonesia memiliki ciri khas tersendiri yang dikembangkan untuk mewujudkan identitas. Demikian pula bahwa seni beladiri pencak silat di Indonesia juga beragam dan memiliki ciri khas masing-masing.
                 Tapak Suci sebagai salah satu varian seni beladiri pencak silat juga memiliki ciri khas yang bias menunjukkan identitas yang kuat. Ciri khas tersebut dikembangkan metalui proses panjang dalam akar sejarah yang dilatuinya.
Berawal dari atiran pencak sitat Banjaran di Pesantren Binorong Banjarnegara pada tahun 1872, atiran ini kemudian berkembang menjadi perguruan seni bela diri di Kauman Yogyakarta karena perpindahan guru (pendekarnya), yaitu KH. Busyro Syuhada, akibat gerakan perlawanan bersenjata yang dilakukannya sehingga ia menjadi sasaran penangkapan yang dilakukan rezim colonial Belanda. Di Kauman inilah pendekar KH. Busyro Syuhada mendapatkan murid-murid yang tangguh dan sanggup mewarisi keahliannya dalam seni pencak silat.
Perguruan seni pencak sitat ini didirikan pada tahun 1925 dan diberi nama Perguruan cik auman yang dipimpin langsung oleh Pendekar M.A Wahib dan Pendekar A. Dimyati, yaitu dua orang murid yang tangguh dari KH. Busyro Syuhada. Perguruan ini memiliki  andasan agama dan kebangsaan yang kuat. Perguruan ini menegaskan seluruh pengikutnya untuk bebas dari syirik (menyekutukan Tuhan) dan mengabdikan perguruan untuk perjuangan agama dan bangsa.  Perguruan Cikauman banyak melahirkan pendekar-pendekar muda yang akhirnya mengembangkan cabang perguruan untuk memperluas jangkauan yang lebih luas dengan nama Perguruan Seranoman pada tahun 1930.
Perkembangan kedua perguruan ini semakin hari semakin pesat dengan pertambahan murid yang cukup banyak. Murid-murid dari perguruan ini kemudian banyak menjadi anggota Laskar Angkatan Perang Sabil (APS) untuk melawan penjajah, dan banyak yang gugur dalam perlawanan bersenjata. Lahirnya pendekar-pendekar muda basil didikan perguruanCikaumandan  Seranoman memungkinkan untuk mendirikan perguruan- perguruan baru, yang di antaranya ialah Perguruan Kasegu pada tahun 1951. Atas desakan murid-murid dari Perguruan Kasegu inilah inisiatif untuk menggabungkan semua perguruan sitat yang sealiran dimulai. Pada tahun 1963, desakan itu semakin kuat, namun mendapatkan tentangan dari para ulama Kauman dan para pendekar tua yang merasa terlangkahi. Dengan pendekatan yang intensif dan dengan pertimbangan bahwa harus ada kekuatan fisik yang dimiliki ummat Islam menghadapi kekuatan komunis yang melakukan provokasi terhadap ummat Islam, maka gagasan untuk menyatukan kembali kekuatan-kekuatan perguruan yang terserak ke datam satu kekuatan perguruandimulai.Seluruhperangkat organisasional dipersiapkan, dan akhirnya disepakati untuk menggabungkan kembali kekuatan-kekuatan perguruan yang terserak ke datam satu kekuatan perguruan, yaitu mendirikan Perguruan Tapak Suci pada tanggal 31 Juli 1960 yang merupakan keberlanjutan sejarah dari perguruan-perguruan sebelumnya.
 Pada perkembangan selanjutnya, Perguruan Tapak Suci yang berkedudukan di Yogyakarta akhirnya berkembang di Yogyakarta dan daerah- daerah lainnya. Setelah meletusnya pemberontakan  G30 S/PKI, pada tahun 1966 diselenggarakan  Konferensi Nasional I Tapak Suci yang dihadiri oleh  para utusan Perguruan Tapak Suci yang tersebar di  berbagai daerah di Indonesia. Pada saat itulah  berhasil dirumuskan pemantapan organisasi secara  nasional, dan Perguruan Tapak Suci dikem-bangkan  lagi namanya menjadi Gerakan dan Lembaga Perguruan Seni Beladiri Indonesia Tapak Suci Putera Muhammadiyah. Dan pada Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1967, Tapak Suci Putera Muhammadiyah ditetapkan menjadi organisasi otonom di lingkungan Muhammadiyah, karena Tapak Suci Putera Muhammadiyah juga mampu dijadikan wadah pengkaderan Muhammadiyah.

PRINSIP DASAR ORGANISASI
Tapak Suci Putera Muhammadiyah adalah organisasi otonom di lingkungan Muhammadiyah yang beraqidah Islam, bersumber pada Al-Qur'an dan As-sunnah, berjiwa persaudaraan, dan merupakan perkumputan dan perguruan seni bela diri. Maksud dan tujuan Tapak Suci adatah sebagaiberikut:
1.Mendidik serta membina ketangkasan dan ketrampilan pencak sitat sebagai seni beladiri Indonesia.
2.Memelihara kemurnian pencak sitat sebagai seni beladiri Indonesia yang sesuai dan tidak menyimpang dari ajaran Islam sebagai budaya bangsa yang luhur dan bermoral.
3.Mendidik dan membina anggota untuk menjadi kader Muhammadiyah.
4.Metalui seni beladiri menggembirakan dan mengamalkan dakwah amar ma'ruf nahi munkar dalam usaha mempertinggi ketahanan Nasional.
Pencapaian maksud dan tujuan Tapak Suci tersebut dilakukan dengan upaya-upaya berikut:
1. Memperteguh iman, menggembirakan dan memperkuat ibadah serta mempertinggi akhlaq yang mulia sesuai dengan ajaran Islam.
2. Menyelenggarakan pembinaan dan pendidikan untuk melahirkan Kader Muhammadiyah.
3. Menyelenggarakan pembinaan seni Beladiri Indonesia.
4. Mengadakan penggalian dan penelitian limu Seni Beladiri untuk meningkatkan dan mengembangkan kemajuan Seni Beladiri Indonesia.
5.Aktif datam lebaga olahraga dan seni baik yang diadakan oleh Pemerintah maupun swasta yang tidak menyimpang dari maksud dan tujuan Tapak Suci.
6. Menggembirakan penyelenggaraan dakwah amar ma'ruf nahi mungkar sesuai dengan proporsi seni beladiri.
7. Menyelenggarakan pertandingan dan tomba serta pertemuanuntuk memperluas pengalaman dan persaudaraan.
8. Menyelenggarakan usaha lain yang dapat mewujudkan tercapainya meksud dan tujuan.

STRUKTUR ORGANISASI TAPAK SUCI
Susunan organisasi Tapak Suci dibuat secara berjenjang dari tingkat Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, dan Pimpinan Cabang. Pimpinan Pusat Tapak Suci adatah pimpinan tertinggi yang melaksanakan kepemimpinan dan bertanggung jawab keluar dan ke dalam. Pimpinan Wilayah Tapak Suci berkedudukan di ibu kota propinsi/daerah tingkat I, bertindak sebagai Pimpinan Wilayah sekaligus Komisaris Pimpinan Pusat yang melaksanakan koordinasi administrasi dan operasional daerah. Pimpinan Daerah Tapak Suci berkedudukan di setiap kabupaten/kota administrasi sebagai pelaksana administrasi dan bertindak secara operasional. Untuk melancarkan tugas operasional, Pimpinan Daerah dapat  mendirikan cabang Tapak Suci di daerahnya. Pimpinan Pusat juga dapat membentuk Perwakilan Wilayah di luar negeri sebagai pelaksana administrasi dan bertindak secara operasional.
Keanggotaan Tapak Suci terdiri dari siswa, anggota penuh, dan anggota kehormatan. Yang dapat diterima menjadi Siswa Tapak Suci adalah anak-anak, remaja, dewasa putra-putri beragama Islam yang menyetujui anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Tapak Suci serta telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Anggota Penuh Tapak Suci terdiri dari Kader, Pendekar dan Pimpinan Tapak Suci yang telah memenuhi persyaratan keanggotaan yang diatur di dalam Anggaran Rumah Tangga. Sedangkan anggota kehormatan Tapak Suci adalah orang yang karena jabatannya, kedudukannya dan atau keahliannya telah diangkat oleh Pimpinan Pusat Tapak Suci dengan surat ketetapan.

CARIS-GARIS BESAR PROGRAM TAPAK SUCI
Secara garis besar, program-program yang dilaksanakan oleh Tapak Suci Putera Muhammadiyah ialah sebagai berikut:
1. Bidang Kependekaran dan Keilmuan
a. Mengadakan Diktat Kepemimpinan Pendekar untuk meningkatkan kulaitas, disiplin dan pemahaman nilai-nilai Tapak Suci sebagai Organisasi Kader Muhammadiyah yang sebenar-benarnya dibawah bimbingan Majetis Pendidikan Kader.
b.Membakukan dan membukukan Pendekar  Tapak Suci.
c. Menyusun materi pendidikan dan pelatihan  Tapak Suci
d. Menyusun dan membakukan keilmuan TapakSuci yang Islami dibawah bimbingan Majetis Tarjih, untuk kurikulum pendidikan kader yang
terdiri dari:
- Pencak silat Olahraga Kesehatan;
- Pencak Silat Olahraga Prestasi
- Pencaksilat Seni Prestasi
- Pencak Silat Beladiri
e. Menyusun materi dan pembakuan kurikulum pendidikan AIK.
f.Memasyarakatkan peraturan untuk peraturan  pertandingan Pencak Silat Olah Raga dan  Peraturan Perlombaan Pencak Silat Seni.

2. Bidang Pembinaan Organisasi dan Kader
a. Meningkatkan kualitas dan disiplin serta  pemahaman dan penghayatan anggota akan  nilai-nilai Tapak Suci sebagai Organisasi Kader  Muhammadiyah dan meneliti dengan lebih  selektif penerimaan anggota dengan  memperhatikan itikat baik serta kemampuan  memenuhi kewajiban terhadap organisasi berupa amal nyata.
b.  Tertib administrasi keanggotaan Muham madiyah dengan mendaftar kepada PP  Muhammadiyah untuk mendapatkan Kartu  Tanda Anggota Muhammadiyah.
c.  Tertib administrasi keanggotaan Tapak Suci bagi siswa dengan mendaftar kepada Pimpinan  Daerah Tapak Suci untuk mendapatkan kartu  tanda siswa Tapak Suci d.Tertib administrasi bagi Kader dan Pendekar  dengan mendaftar kepada PP Tapak Suci untuk mendapatkan Kartu Tanda Anggota Tapak Suci e.Untuk ketegasan identitas diwajibkan kepada anggta dan pimpinan mencantumkan NBTS dan NBM dalam semua bentuk kegitan administrasi.
f.Mengintensifkan penyelenggaraan pembinaan, pengkajian dan penataran kemuhammadiyahan, ketapaksucian datam usaha membina anggota kemampuan sebagai pemikir dan pelaku gerakan.
g. Meningkatkan fungsi organisasi sebagai factor  pengembangan, dinamika dan kaderisasi yang  mendapat tempat pengembangan yang terarah  dan terencana oleh pimpinan persyarikatan.
h. Meningkatkan hubungan antar organisai  ortonom, meningkatkan hubungan dialogis dan  demokratis antara ortom dengan pimpinan  persyarikatan.
i. Menentukan dan melaksanakan tindakan admisistrasi terhadap anggota yang tidak memenuhi tanggungjawab dan kewajiban, terutama terhadap anggota yang merugikan  nama baik serta perjuangan Tapak Suci.

3. Bidang Pembinaan Prestasi
a. Menerapkan hasil pembakuan dalam hal :
-Peraturan pedoman Pencak Silat Olahraga.
-Peraturan oerlombaan Pencak Silat
b. Melaksanakan kejuaraan-kejuaraan antar-Perguruan Tinggi metalui:
-  Kejuaraan Nasional Pencak Silat Olah-ragadan seni Tingkat Dewasa
-  Kejuaraan Nasional Pencak Silat Olah-ragadan Seni unuk Tingkat Remaja.
c. . Melaksanakan Kejuaraan-Kejuaraan antarperguruan Tinggi metalui, kejuaraan PencakSilat Olahraga dan Seni Antar Perguruan Tinggi
d. Menjadikan even-even IPSI untuk mendata danmengukur Prestasi Tapak Suci tingkat Cabang,Daerah, Nasional maupun Internasional.

4. Bidang Pengembangan Organisasi
a. Menertibkan pendaftaran utang pimpinan Daerah dan Pimpinan Wilayah Tapak Suci Putera Muhammadiyah dari seluruh Indonesia, dengan ketentuan personit Pimpinan adalah Anggaran Tapak Suci aktif dan Anggaran Muhammadiyah.
b. Memantapkan dan meningkatkan potensi cabang sebagai tempat pembinaan anggota untuk membimbing kehidupan jama'ah dan pelaksanaan dakwah jama'ah dalam lingkungan.
c. Memantapkan dan meningkatkan potensi Daerah sebagai wadah dan pendayagunaan organisasi dalam penyelenggaraan amal usaha Tapak Suci serta meningkatkan ilmu pengetahuan dan kemampuan anggota datam metaksanakan kewajuban terhadap organisasi.
d.  Berpartisipasi aktif dan ikut mengembangkan alternatif kegiatan bagi mahasiswa di lingkungan kampus terutama dalam upaya pengembangan kader intelektual muslim,  mendudukan keberadaan perguruan Tapak Suci di lingkungan perguruan Tinggi dan Pondok  Pesantren setingkat unit Perguruan Tapak Suci  dengan peraturan khusus. Mendudukkan  perguruan Tapak Suci di Perguruan Tinggi dan  Pondok Pesantren Muhammadiyah sebagai unit  dan keberadaan di bawah kondisi Pimpinan  Wilayah dan operasionalnya di bawah  koordinasi pimpinan Daerah.
 e. Untuk mengembangkan perguruan Tapak Suci  Putera Muhammadiyah ke luar negeri secara  aktif dan terencana.
 f. Mempublikasikan secara luas keberadaan dan  kegiatan Tapak Suci.
 g. Menerbitkan kembali majalah FORUM dalam  Kalender Tapak Suci.
 h. Mendirikan Perpustakaan Tapak Suci untuk  menyimpan benda-benda bersejarah, dll.

5. Bidang Pembinaan dan Pendidikan
  a.Pendidikan dan pelatihan Siswa Tapak Suci dengan mematuhi peraturan pendidikan untuk setiap kali pendidikan dan latihan.
-1 (satu) jam untuk pendidikan Al-Islam dan   ke-Muhammadiyah-an
-2 (dua) jam untuk latihan Pencak Silat
b. Mengoperasiolkan tuntutan Pembinaan dan Pendidikan LKPTS.
c.  Mengoperasionalkan kurikulum Pendidikan Kader Tapak Suci yang terdiri dari,
- Pencak Silat Olahraga Kesehatan Untuk   Kader Muda.
- Pencak Silat Olahraga Prestasi untuk Kader  Madya.
- Pencak Silat Seni untuk Kader Kepala
- Pencak Silat Beladiri untuk Kader Utama.
- Mengoperasionalkan Tuntutan Pembinaan  khusus Al-Islam & Kemuhammadiyahan   untuk Siswa dan Kader.
d. Mengintensifkan Pendidikan&Latihan Tapak Suci
- Sekolah-sekolah Muhammadiyah
- Perguruan Tinggi
- Pondok Pesantren
e. Memberikan kesempatan dan mencari kesempatan untuk menjalin pendidikan dan latihan Tapak Suci untuk:
  - Pimpinan Muhammadiyah semua tingkat pimpinan
  - Pimpinan tingkat ortom Muhammadiyah semua tingkat Pimpinan
  - Pimpinan amal usah Muhammadiyah

6. Bidang Penelitian dan Pengkajian
a. Menggalakkan Penelitian dan Pengkajian terhadap kegiatan Oganisasi
b. Mengintensifkanpengkajian  tentang
perkembangan keilmuan pencak sitat Tapak Suci.
 c.Menyelenggarakan forum-forum ilmiah secara rutin dengan mengundang para ahti, terutama dari keluarga Muhammadiyah.
d. Menghimpun laporan dari semua tingkat Pimpinan Tapak Suci Putera Muhammadiyah.

7. Bidang Pendayaan Sumberdaya
   a. Mengintensifkan pengumpulan dana dari,
- luran Siswa
- Infaq anggota
- Administrasi Ujian Siswa dan Anggota
- SWO dari semua tingkat pimpinan
- Dana pembinaan dari persyarikatan
b.Menghimpun dana dari Umat yang berupa,
 -Zakat, Infaq.
- Sumbangan yang tidak mengikat  
c.Berusaha untuk:
 -Membentuk   badan usaha yang  menguntungkan.
 -Membentuk koperasi Anggota untuk semua  tingkat pimpinan
 -Menyediakan tempatdan mengelola  tempat-tempat pembinaan
 - Memupuk kerja sama dalam bidang  pengembangan usaha disemua tingkat.
d. Mendayagunakan keberadaan Anggota Tapak  Suci untuk menunjang kegiatan organisasi.
e. Mendayagunakan Pencak Silat sebagai sarana  dakwah amar ma'ruf nahi munkar.

Majlis Tarjih Muhammadiyah

Written By Unknown on Senin, 01 Juli 2013 | 11.33



( PENGENALAN, PENYEMPURNAAN DAN PENGEMBANGAN )
Ahmad Zain An Najah, MA *
Muqaddimah
Tarjih berasal dari kata “ rojjaha – yurajjihu- tarjihan “, yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat.
Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling bertentangan , karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya “
Tarjih dalam istilah persyarikatan ,sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai “ Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah “ adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat “
Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks , dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan menjadi : usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul ulama mengenainya “. Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama “ Ijtihad “.
Oleh karenanya, idealnya nama Majlis yang mempunyai tugas seperti yang disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad, namun karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majlis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.
Sejarah berdirinya Tarjih
Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini , tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majlis Tarjih belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang di hadapi oleh Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga, selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya peperpecahan antar warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M , melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majlis Tarjih Muhammdiyah.
Tersebut di dalam majalah Suara Muhammadiyah no.6/1355( 1936 ) hal 145 :
“ ….bahwa perselisihan faham dalam masalah agama sudahlah timbul dari dahulu, dari sebelum lahirnja Muhammadijah : sebab-sebabnja banjak , diantaranja karena masing-masing memegang teguh pendapat seorang ulama atau jang tersebut di suatu kitab, dengan tidak suka menghabisi perselisihannja itu dengan musjawarah dan kembali kepada Al Qur’an , perintah Tuhan Allah dan kepada Hadits, sunnah Rosulullah.
Oleh karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan perselisihan dalam kalangan Muhammadijah tentang masalah agama itu, maka perlulah kita mendirikan Madjlis Tardjih untuk menimbang dan memilih dari segala masalah jang diperselisihkan itu jang masuk dalam kalangan Muhammadijah manakah jang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al qur’an dan hadits. “
Sejak berdirinya pada tahun 1927 M, Majlis Tarjih telah dipimpin oleh 8 Tokoh Muhammadiyah, yaitu :
1. KH. Mas Mansur
2. Ki Bagus Hadikusuma
3. KH. Ahmad Badawi
4. Krt. KH. Wardan Diponingrat
5. KH. Azhar Basyir
6. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman ( 1990-1995 )
7. Prof. Dr. H. Amin Abdullah ( 1995-2000)
8. Dr. H. Syamsul Anwar , MA ( 2000-2005 )
Kedudukan dan Tugas Majlis Tarjih dalam Persyarikatan .
Majlis Tarjih ini mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam Persyarikatan, karena selain berfungsi sebagai Pembantu Pimpinan Persyarikatan, mereka memiliki tugas untuk memberikan bimbingan keagamaan dan pemikiran di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya dan warga persyarikatan Muhammadiyah khususnya. Sehingga, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Majlis Tarjih ini merupakan ‘ Think Thank “ –nya Muhammadiyah. Ia bagaikan sebuah “ processor “ pada sebuah komputer, yang bertugas mengolah data yang masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor.
Adapun tugas-tugas Majlis Tarjih, sebagaimana yang tertulis dalam Qa’idah Majlis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan Pimpinan Pusat Muhammdiyah No. 08/SK-PP/I.A/8.c/2000, Bab II pasal 4 , adalah sebagai berikut :
1. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.
2. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan serta membimbing umat , khususnya anggota dan keluarga Muhammadiyah.
3. Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing anggota melaksanakan ajaran Islam
4. Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas ulama.
5. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.
Menurut Prof. DR. H. Amin Abdullah, salah satu tokoh Muhammadiyah yang pernah menjabat sebagai ketua Majlis Tarjih, bahwa Majis Tarjih sebenarnya memiliki dua dimensi wilayah keagamaan yang satu sama lainnya pelu memperoleh perhatian seimbang. Yang pertama adalah wilayah tuntunan keagamaan yang bersifat praktis, terutama ikhwal ibadah mahdhoh dan yang kedua adalah wilayah pemikiran keagamaan yang meliputi visi, gagasan, wawasan, nilai-nilai dan sekaligus analisis terhadap berbagai persoalaan ( ekonomi, politik, sosial-budaya , hukum, ilmu pengetahuan, lingkungan hidup dan lain-lainnya )
Manhaj Tarjih
Sejak tahun 1935 upaya perumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah dimulai, dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Langkah pertama kali yang ditempuh adalah dengan mengkaji “ Mabadi’ Khomsah “( Masalah Lima ) yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam persoalan agama secara umum. Karena adanya penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan , perumusan Masalah Lima tersebut baru bisa diselengarakan pada akhir tahun 1954 atau awal 1955 dalam Muktamar Khusus Majlis Tarjih di Yogyakarta.
Masalah Lima tersebut meliputi :
1.Pengertian Agama (Islam) atau al Din , yaitu :
“ Apa yang diturunkan Allah dalam Al Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akherat.

2.Pengertian Dunia (al Dunya ):
“ Yang dimaksud urusan dunia dalam sabda Rosulullah saw : “ Kamu lebih mengerti urusan duniamu “ ialah :segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para nabi ( yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia )
3. Pengertian Al Ibadah, ialah :
“ Bertaqarrub ( mendekatkan diri ) kepada Allah,dengan jalan mentaati segala perintah-perintahnya, menjahuhi larangan-larangan-nya dan mengamalkan segala yang diijinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus ; a. yang umum ialah segala amalan yang diijinkan Allah b. Yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.

4. Pengertian Sabilillah, ialah :
“ Jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridloaan Allah, berupa segala amalan yang diijinkan Allah untuk memuliakan kalimat( agama )-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya

5.Pengertian Qiyas,( Ini belum dijelaskan secara rinci baik pengertian maupun pelaksanaannya )
Karena Masalah Lima tersebut, masih bersifat umum, maka Majlis Tarjih terus berusaha merumuskan Manhaj untuk dijadikan pegangan di dalam menentukan hukum. Dan pada tahun 1985-1990, yaitu tepatnya pada tahun 1986, setelah Muktamar Muhammadiyah ke- 41 di Solo, Majlis Tarjih baru berhasil merumuskan 16 point pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah.
Adapun Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih ( disertai keterangan singkat )adalah sbb :
1. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur’an dan al Sunnah al Shohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash , dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima Ijitihad , termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung. ( Majlis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama : Ijtihad Bayani : yaitu ( menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal, atau umum, atau mempunyai makna ganda , atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya), kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah Ijtihad Umar untuk tidak membagi tanah yang di taklukan seperti tanah Iraq, Iran , Syam, Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan “Khoroj” dan hasilnya dimasukkan dalam baitul mal muslimin , dengan berdalil Qs Al Hasyr ; ayat 7-10. Kedua : Ijtihad Qiyasi : yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak di jelaskan oleh teks Al Quran maupun Hadist, diantaranya : men qiyaskan zakat tebu, kelapa, lada ,cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum, beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak ( 7,5 kwintal ) Ketiga : Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan illat , demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti ; membolehkan wanita keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dll
2. Dalam memutuskan sesuatu keputusan , dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’I. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majlis, tidak dipandang kuat.( Seperti pendapat salah satu anggota Majlis Tarjih Pusat yang pernah dimuat di dalam majalah Suara Muhammadiyah, bahwa dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya menggunakan Mathla’ Makkah. Pendapat ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak dianggap kuat. Yang diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa Muhammadiyah menggunakan Mathla’ Wilayatul Hukmi )
3. Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur’an dan al – Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. ( Seperti halnya ketika Majlis Tarjih mengambil pendapat Mutorif bin Al Syahr di dalam menggunakan Hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan Ramadlan. Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan : Rumusan di atas,menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk tidak terikat dengan suatu madzhab, dan hanya menyandarkan segala permasalahannya pada Al-Qur’an dan Hadits saja. Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak langsung telah membentuk madzhab sendiri, yang disebut “ Madzhab Muhammadiyah “, ini dikuatkan dengan adanya buku panduan seperti HPT ( Himpunan keputusan Tarjih ).
4. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya majlis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil- dalil yang dipandang paling kuat, yang di dapat ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. ( Seperti halnya pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena kekawatiran tejadinya syirik sudah tidak ada lagi , pencabutan larangan perempuan untuk keluar rumah dll)
5. Di dalam masalah aqidah ( Tauhid ) , hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir. ( Keputusan yang membicarakan tentang aqidah dan iman ini dilaksanakan pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo pada tahun 1929. Namun rumusan di atas perlu ditinjau ulang. Karena mempunyai dampak yang sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam, khususnya kepada warga Muhammadiyah. Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai arti bahwa Persyarikatan Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shohih yang tercantum dalam Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah aqidah. Ini berarti juga, banyak dari keyakinan kaum muslimin yang selama ini dipegang erat akan tergusur dengan rumusan di atas, sebut saja sebagai contoh : keyakinan adanya adzab kubur dan adanya malaikat munkar dan nakir, syafa’at nabi Muhammad saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga, adanya timbangan amal, ( siroth )jembatan yang membentang di atas neraka untuk masuk syurga, ( haudh ) kolam nabi Muhammad saw, adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti turunnya Isa, keluarnya Dajjal. Rumusaan di atas juga akan menjerat Persyarikatan ini ke dalam kelompok Munkiru al-Sunnah , walau secara tidak langsung.
6. Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. ( Ijma’ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua , pertama : ijma’ qauli, seperti ijma’ para sahabat untuk membuat standarisasi penulisan Al Qur’an dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua : pertama : ijma’ sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma’ setelah sahabat )
7. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara “al jam’u wa al taufiq “. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih. ( Cara-cara melakukan jama’ dan taufiq, diantaranya adalah : Pertama : Dengan menentukan macam persoalannya dan menjadikan yang satu termasuk bagian dari yang lain. Seperti menjama’ antara QS Al Baqarah 234 dengan QS Al Thalaq 4 dalam menentukan batasan iddah orang hamil , Kedua : Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap dalil yang umum, seperti : menjama’ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89, dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga menjama’ antara perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah ba’da Ashar, Ketiga: Dengan cara mentaqyid sesuatu yang masih mutlaq , yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama; antara larangan menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang mengambil upah dari pekerjaanya. Keempat: Dengan menentukan arti masing-masing dari dua dalil yang bertentangan, seperti : menjama’ antara pengertian suci dari haid yang berarti bersih dari darah haid dan yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima : Menetapkan masing-masing pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan sholat di rumah bagi yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah di rumah.
8. Menggunakan asas “ saddu al-daraI’ “ untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. .( Saddu al dzara’I adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang. Seperti : Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, karena dikawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena kekawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan menyebabkan finah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada Muktamar Tarjih di Malang 1989.
9. Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil- dalil Al Qur’an dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare’ah. Adapun qaidah : “ al hukmu yaduuru ma’a ‘ilatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku “ ( Ta’lil Nash adalah memahami nash Al Qur’an dan hadits, dengan mendasarkan pada illah yang terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah Masjid Al Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka’bah, juga perintah untuk meletakkan hijab antara laki-laki dan perempuan, yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang pada Muktamar Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari fitnah )
10. Pengunaaan dalil- dalil untuk menetapkan suatu hukum , dilakukan dengan cara konprehensif , utuh dan bulat. Tidak terpisah. ( Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq yang bernyawa,jika dimaksudkan untuk disembah atau dikawatirkan akan menyebabkan kesyirikan )
11. Dalil –dalil umum al Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah. ( Lihat keterangan dalam point ke 5 )
12. Dalam mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip “Taisir “ ( Diantara contohnya adalah : dzikir singkat setelah sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat )
13. Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan- ketentuannya dari Al Qur’an dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui ,akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi. ( Contohnya, adalah ketika Majlis Tarjih menentukan awal Bulan Ramadlan dan Syawal, selain menggunakan metode Rukyat,juga menggunakan metode al Hisab. Walaupun pelaksanaan secara rinci terhadap keputusan ini perlu dikaji kembali karena banyak menimbulkan problematika pada umat Islam di Indonesia )
14. Dalam hal- hal yang termasuk “al umur al dunyawiyah” yang tidak termasuk tugas para nabi , penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat.
15. Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.
16. Dalam memahani nash , makna dlahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima. ( Seperti dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan perbuatan Allah swt,seperti Allah bersemayam d atas Arsy, Allah turun ke langit yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam dll )
Penyempurnaan dan Pengembangan Majlis Tarjih
Sebagaimana diketahui bahwa Persyarikatan Muhammadiyah merupakan persyarikatan yang bergerak untuk Tajdid dan pembaharuan. Maka Majlis Tarjih, yang merupakan bagian terpenting dalam organisasi tersebut tidak bersifat kaku dan kolot, akan tetapi keputusan- keputusan Majlis Tarjih masih ada kemungkinan mengalami perubahan kalau sekiranya dikemudian hari ada dalil atau alasan yang dipandang lebih kuat. Bahkan nama dan kedudukan Majlis dalam Persyarikatan bisa mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan. Diantara perubahan-perubahan yang terjadi dalam Majlis Tarjih adalah :
1.Perubahan nama “ Majlis Tarjih “. Karena mengingat, semakin banyak dan kompleknya problematika-problematika yang dihadapi umat Islam pada puluhan tahun akhir ini. Terutama berkembangnya pemikiran baru, yang kesemuanya harus dijawab oleh Majlis Tarjih. Dan karena nama Tarjih, masih identik dengan masalah-masalah fiqh, maka nama Majlis Tarjih perlu di tambah dengan sebutan yang bisa mewakili tugas tersebut, maka dipilihlah nama Pengembangan Pemikiran Islam sehingga namanya menjadi “ Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam “. Penambahan ini diputuskan pada tahun 1995, ketika dilangsungkan Muktamar Aceh.
2.Penambahan terhadap tiga bentuk Ijtihad yang digunakan Majlis Tarjih ( Yaitu Ijtihad Bayani, Qiyasi dan Istishlahi ) dengan ditambah tiga pendekatan baru ,yaitu Pendekatan ” Bayani” , “ Burhani” dan “ Irfani”. Tiga pendekatan tersebut diputuskan pada MUNAS Tarjih di Malang, tahun 2000. Kemudian disempurnakan pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang,Oktober 2003. Walaupun telah dilakukan beberapa kali sidang, tiga pendekatan tersebut masih belum tuntas pembahasannya.
3.Perubahan nama Mukatamar Tarjih menjadi MUNAS ( Musyawarah Nasional ) Tarjih.
4.Perampingan anggota Majlis Tarjih yaitu dengan menetapkan Anggota Tetap Majlis Tarjih . Pada awalnya muktamar –muktamar atau musyarawarah musyawarah Majlis yang bersifat nasional, melibatkan utusan-utusan wilayah-wilayah yang sering berganti-ganti, atau yang sering disingkat dengan MTPPI Wilayah. Akan tetapi pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang, Oktober 2003 dilakukan perampingan dengan membentuk anggota tetap Majlis Tarjih yang berjumlah sekitar 99 anggota, yang bertugas untuk melakukan sidang setiap hal itu diperlukan. Langkah-langkah ini diambil, mengingat kurang efektif dan efesiennya perjalanan Muktamar Tarjih selama ini, khususnya ketika diganti namanya dengan MUNAS( Musyawarah Nasional ) . Walaupun sampai saat ini , keputusan tersebut belum ditanfidkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, namun akan mempunyai pengaruh yang besar bagi perjalanan Majlis Tarjih pada masa-masa mendatang.
5.Perubahan keputusan-keputusan tarjih yang dirasa kurang sesuai lagi, seperti pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan, pencabutan larangan perempuan untuk keluar rumah, pencabutan keputusan tentang larangan perempuan ikut berdemonstrasi dan lain-lain . Ini dikuatkan juga dengan adanya komisi Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih , pada MUNAS Tarjih di padang, Oktober 2003.
Penutup
Perjalan Majlis Tarjih selama 77 tahun, memang penuh dengan tantangan dan cobaan. Tugas yang diembannya untuk membimbing masyarakat Islam Indonesia, pada umumnya dan warga Persyarikatan Muhammadiyah pada khususnya dalam masalah keagamaan dan pengembangan pemikiran Islam, nampak begitu berat dan menuntut adanya kesabaran dan perjuangan, serta pencarian yang tiada kenal putus asa. Sehingga perbaikan,penyempurnaan serta pengembangan Majlis tarjih ini sangat mutlak diperlukan,guna memberikan konstribusi-konstribusi yang bermanfaat bagi umat Islam Indonesia.
Demikian tulisan singkat tentang Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Yang sedikit ini, mudah-mudahan bisa membuka cakrawala, khususnya bagi kader-kader Muhammadiyah, dan bisa menjadi bekal awal untuk pengembangan pemikiran dalam persyarikatan ini. Wallahu A’lam.
Kairo, 3 Maret 2004
DAFTAR PUSTAKA
  1. Abdurrohman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi,( Jokyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, Cet I )
  2. An-Najah, Ahmad Zain , Metode Penggunaan Rukyat dan Hisab, dan Pengaruhnya Terhadap Persatuan Umat, (Padang : MTPPI PP Muhammadiyah , 2003
  3. ———-, Mengkaji Ulang Sikap Muhammadiyah Terhadap Hadist Ahad,( Makalah, 2004 )
  4. Badan pendidikan Kader PP. Muhammadiyah, Materi Induk Perkaderan Muhammadiyah, ( Jogyakarta : BPK PP.Muhammadiyah,Oktober 1994, Cet I )
  5. Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Prespektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta : Universitas Yarsi 1999)
  6. § Majlis Tarjih Dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buku Panduan Munas Tarjih ke 26 , (Jokyakarta : MTPPI PP Muhammadiyah, 2003)
  7. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih, ( Jokyakarta : PP. Muhammadiyah Cet. III) .
  8. Siregar, Hamka, Mencari Format Baru Tarjih Muhammadiyah. (Padang : MTPPI PP Muhammadiyah , 200
  9. Lubis, Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh,Suatu Studi Perbandingan (Jakarta : Bulan Bintang
  10. Majalah Suara Muhammadiyah, edisi 06. Maret 2003
* Makalah ini dipresentasikan dalam acara FORMAT ( Forum Kader Umat ) yang diselenggarakan oleh PCIM ( Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah ) Kairo,Mesir pada tanggal 7 Maret 2004 di Sekertariat PCIM.

Pengunjung

Rekening Donasi



 
Copyright © 2012. Website Resmi MTs Muhammadiyah Sungai Batang - All Rights Reserved
Jl Lingkar Maninjau Km 5.5 Muaro Pauah Nagari Sungai Batang
Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam 26472
Support : Ranah Maninjau
Created by MPS