Website Resmi MTs Muhammadiyah Sungai Batang
Headlines News :
Selamat Datang di MTs Muhammadiyah Sungai Batang | Jl Lingkar Maninjau Km 5.5 Muaro Pauah Sungai Batang 26472 | Kritik, Saran dan Masukan Silahkan Dikirimkan ke email : info@mtsm-sungaibatang.com

Latest Post

Surat Pendek HAMKA Untuk Menteri Agama

Written By Anonim on Sabtu, 01 September 2012 | 22.27

Surat itu pendek. Ditulis oleh Hamka dan ditujukan pada Menteri Agama RI Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara. Tertanggal 21 Mei 1981, isinya pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April, Hamka telah meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum Majeiis Ulama Indonesia (MUI). Buat banyak orang pengunduran diri Hamka sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan. Timbul bermacam dugaan tentang alasan dan latar belakangnya. Agaknya sadar akan kemungkinan percik gelombang yang ditimbulkannya, pemerintah dalam pernyataannya mengharapkan agar mundurnya Hamka “jangan sampai dipergunakan golongan tertentu untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi merusak umat lslam sendiri.”  Kenapa Hamka mengundurkan diri? Hamka sendiri  mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menurut K.H.M. Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat untuk menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam. “Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor keluar,” katanya.     

Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MUI di daerah-daerah. Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei 1981 memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan pengurus MUI. Yang menarik, sehari setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI. Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi seorang Islam tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual. Tapi bila itu soalnya, kenapa heboh? Rupanya “bocor”nya Fatwa MUI 7 Maret itu konon sempat menyudutkan Menteri Agama Alamsyah. Hingga, menurut sebuah sumber, dalam pertemuannya dengan pimpinan MUI di Departemen Agama 23 April, Alamsyah sempat menyatakan bersedia berhenti sebagai Menteri. Kejengkelan Menteri Agama agaknya beralasan juga. Sebab rupanya di samping atas desakan masyarakat, fatwa itu juga dibuat atas permintaan Departemen Agama. “Menteri Agama secara resmi memang meminta fatwa itu yang selanjutnya akan dibicarakan dulu dengan pihak agama lain. Kemudian sebelum disebarluaskan Menteri akan membuat dulu petunjuk pelaksanaannya,” kata E.Z. Muttaqien, salah satu Ketua MUI. Ternyata fatwa itu keburu bocor dan heboh pun mulai. Melihat keadaan Menteri itu, Hamka kemudian minta iin berbicara dan berkata, menurut seorang yang hadir, “Tidak tepat kalau saudara Menteri yang harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh.” Kemudian inilah yang terjadi: Hamka yang mengundurkan diri. “Tidak logis apabila Menteri Agama yang berhenti. Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut …. Jadi sayalah yang mesti berhenti,” kata Hamka pada Pelita pekan lalu. Tapi dalam penjelasannya yang dimuat majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka juga mengakui adanya “kesalahpahaman” antara pimpinan MUI dan Menteri Agama karena tersiarnya fatwa itu.  

Kepada TEMPO Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut. “Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan memandang saya ini syaithan. Para ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah bobroknya saya ini, bukan?” kata Hamka. Alasan itu agaknya yang mendorong lmam Masjid Al Azhar ini menulis penjelasan, secara pribadi, awal Mei lalu. Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI 30 April itu “tidaklah mempengaruhi sedikit juga tentang kesahan (nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh.” HAMKA juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional — termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar. Buya Hamka tercatat sebagai ketua MUI pertama sejak tahun 1975. Keteguhannya memegang prinsip yang diyakini membuat semua orang menyeganinya. Pada zamam pemerintah Soekarno, Buya Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja, Buya Hamka juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari Buya Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan. Ketika menjadi Ketua MUI, Buya Hamka meminta agar anggota Majelis Ulama tidak digaji. Permintaan yang lain: ia akan dibolehkan mundur, bila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama. Mohammad Roem, dalam buku Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, menyebut masalah gaji itu sebagai bagian dari “politik Hamka menghadapi pembentukan Majelis Ulama”. Ulama mubaligh ini, menurut Roem, kuat sekali menyimpan gambaran “ulama yang tidak bisa dibeli“. Walaupun gaji sebenarnya tidak usah selalu menunjuk pada pembelian, kepercayaan diri ulama sendiri agaknya memang diperlukan. 

Biografi Buya AR Sutan Mansyur

Buya AR Sutan Mansyur
Ranah Minang pernah melahirkan salah seorang tokoh besar Muhammadiyah, yaitu Ahmad Rasyid Sutan Mansur, atau yang kemudian biasa dan popular dipanggil dengan AR. St. Mansur/A.R. Soetan Mansoer

Ia lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad malam Senin 26 Jumadil Akhir 1313 Hijriyah yang bertepatan dengan 15 Desember 1895 Masehi. Ia anak ketiga dari tujuh bersaudara yang merupakan karunia Allah pada kedua orang tuanya, yaitu Abdul Somad al-Kusai, seorang ulama terkenal di Maninjau, dan ibunya Siti Abbasiyah atau dikenal dengan sebutan Uncu Lampur. Keduanya adalah tokoh dan guru agama di kampung Air Angat Maninjau. Ahmad Rasyid memperoleh pendidikan dan penanaman nilai-nilai dasar keagamaan dari kedua orang tuanya. Di samping itu, untuk pendidikan umum, ia masuk sekolah Inlandshe School (IS) di tempat yang sama (1902-1909). Di sinilah ia belajar berhitung, geografi, ilmu ukur, dan sebagainya. Setamat dari sekolah ini, ia ditawari untuk studinya di Kweekschool (Sekolah Guru, yang juga biasa disebut Sekolah Raja) di Bukit tinggi dengan beasiswa dan jaminan pangkat guru setelah lulus sekolah tersebut. Namun tawaran tersebut ditolaknya, karena ia lebih tertarik untuk mempelajari agama, di samping saat itu ia sudah dirasuki semangat anti-penjajah Belanda. Sikap anti penjajah telah dimilikinya semenjak masih belia. Baginya, penjajahan tidak saja sangat bertentangan dengan fitrah manusia akan tetapi bahkan seringkali berupaya menghadang dan mempersempit gerak syiar agama Islam secara langsung dan terang-terangan atau sacara tidak langsung dan tersembunyi seperti dengan membantu pihak-pihak Zending dan Missi Kristen dalam penyebarluasan agamanya. Tidaklah mengherankan bila pada tahun 1928 ia berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru agama Islam dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah Belanda. Peraturan ini dalam pandangan Sutan Mansur akan melenyapkan kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Belanda akan berkuasa sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yang tidak mempunyai pendirian hidup.

Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika Jepang berikhtiar agar murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan shalat dengan mengadakan pertemuan-pertemuan di waktu menjelang Maghrib. Selanjutnya, atas saran gurunya, Tuan Ismail (Dr. Abu Hanifah) ia belajar kepada Haji Rasul, Dr. Haji Abdul Karim Amrullah, seorang tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. Di bawah bimbingan Haji Rasul selama tujuh tahun (1910-1917) ia belajar tauhid, bahasa Arab, Ilmu Kalam, Mantiq, Tarikh, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti syariat, tasawuf, Al-Qur'an, tafsir, dan hadits dengan mustolah-nya. Pada tahun 1917 ia diambil menantu oleh gurunya, Dr. Haji Abdul Karim Amrullah, dan dikawinkan dengan putri sulungnya, Fatimah, kakak Buya HAMKA serta diberi gelar Sutan Mansur. Setahun kemudian ia dikirim gurunya ke Kuala Simpang Aceh untuk mengajar. Setelah dua tahun di Kuala Simpang (1918-1919), ia kembali ke Maninjau.

Pemberontakan melawan Inggris yang terjadi di Mesir untuk melanjutkan studinya di universitas tertua di dunia, Universitas al-Azhar Kairo, karena ia tidak diizinkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk berangkat. Akhirnya ia berangkat ke Pekalongan untuk berdagang dan menjadi guru agama bagi para perantau dari Sumatera dan kaum muslim lainnya. Kegelisahan pikirannya yang selalu menginginkan perubahan dan pembaharuan ajaran Islam menemukan pilihan aktivitasnya, ketika ia berinteraksi dengan Ahmad Dahlan yang sering datang ke Pekalongan untuk bertabligh. Dari interaksi itu, akhirnya ia tertarik untuk bergabung dengan Persyarikatan Muhammadiyah (1922), dan mendirikan Perkumpulan Nurul Islam bersama para pedagang dari Sungai Batang Maninjau yang telah masuk Muhammadiyah di Pekalongan. Ketertarikan tersebut disebabkan karena ide yang dikembangkan Muhammadiyah sama dengan ide gerakan pembaharuan yang dikembangkan di Sumatera Barat, yaitu agar ummat Islam kembali pada ajaran Tauhid yang asli dari Rasulullah dengan membersihkan agama dari karat-karat adat dan tradisi yang terbukti telah membuat ummat Islam terbelakang dan tertinggal dari ummat-ummat lain. Di samping itu, ia menemukan Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya sebagai ilmu semata dengan mengetahui dan menguasai seluk beluk hukum Islam secara detail sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada upaya nyata untuk mengamalkan dan membuatnya membumi. Ia begitu terkesan ketika anggota-anggota Muhammadiyah menyembelih qurban seusai menunaikan Shalat Iedul Adha dan membagi-bagikannya pada fakir miskin.


Pada tahun 1923, ia menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan, setelah ketua pertamanya mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka dengan keberadaan Muhammadiyah. Ia juga memimpin Muhammadiyah cabang Pekajangan, Kedung Wuni di samping tetap aktif mengadakan tabligh dan menjadi guru agama. Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di Ranah Minang pada akhir 1925, Sutan Mansur diutus Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di Minangkabau. Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak frontal dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami perkembangan pesat.
Pada tahun 1927 bersama Fakhruddin, ia melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Melalui kebijaksanaannya dan kepiawaiannya dengan cara mendekati raja-raja yang berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan menjadi montir, Muhammadiyah dapat didirikan di Kotaraja, Sigli, dan Lhokseumawe. Pada tahun 1929, ia pun berhasil mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan Amuntai. Dengan demikian, antara tahun 1926-1929 tersebut, Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar pulau Jawa.

Selain dalam Muhammadiyah, Sutan Mansur – sebagaimana Ahmad Dahlan – pada dasawarsa 1920-an hingga 1930-an aktif dalam Syarikat Islam dan sangat dekat dengan HOS. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. Keluarnya ia dari Syarikat Islam dapat dipastikan karena ia lebih memilih Muhammadiyah setelah SI mengambil tindakan disiplin organisasi bagi anggota Muhammadiyah. Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930) memutuskan bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil Hoofdbestuur Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah. Oleh karena itu, pada tahun 1931 Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah (sekarang : Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah) daerah Minangkabau (Sumatera Barat) yang meliputi Tapanuli dan Riau yang dijabatnya hingga tahun 1944. Bahkan sejak masuknya Jepang ke Indonesia, ia telah diangkat oleh Pengurus Besar Muhammadiyah menjadi Konsul Besar Muhammadiyah untuk seluruh Sumatera akibat terputusnya hubungan Sumatera dan Jawa.


Pada saat menjabat sebagai Konsul Besar Muhammadiyah, Sutan Mansur juga membuka dan memimpin Kulliyah al-Muballighin Muhammadiyah di Padang Panjang, tempat membina muballigh tingkat atas. Di sini dididik dan digembleng kader Muhammadiyah dan kader Islam yang menyebarluaskan Muhammadiyah dan ajaran Islam di Minangkabau dan daerah-daerah sekitar. Kelak muballigh-muballigh ini akan memainkan peran penting bersama-sama pemimpin dari Yogyakarta dalam menggerakkan roda persyarikatan Muhammadiyah.
Ia oleh Konsul-konsul daerah lain di Sumatera dijuluki Imam Muhammadiyah Sumatera. Ketika Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1938, Sutan Mansur menjadi penasehat agama Islam bagi Bung Karno. Pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi salah seorang anggota Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi In (semacam DPR dan DPRD) mewakili Sumatera Barat. Setelah itu, sejak tahun 1947 sampai 1949 oleh wakil Presiden Mohammad Hatta, ia diangkat menjadi Imam atau Guru Agama Islam buat Tentara Nasional Indonesia Komandemen Sumatera, berkedudukan di Bukit tinggi, dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler.

Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1950, ia diminta menjadi Penasehat TNI Angkatan Darat, berkantor di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Akan tetapi, permintaan itu ia tolak karena ia harus berkeliling ke semua daerah di Sumatera, bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah. Pada tahun 1952, Presiden Soekarno memintanya lagi menjadi penasehat Presiden dengan syarat harus memboyong keluarganya dari Bukit tinggi ke Jakarta. Permintaan itu lagi-lagi ditolaknya . Ia hanya bersedia menjadi penasehat tidak resmi sehingga tidak harus berhijrah ke Jakarta. Dalam konggres Masyumi tahun 1952, ia diangkat menjadi Wakil Ketua Syura Masyumi Pusat. Setelah pemilihan umum 1955, ia terpilih sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari Masyumi sejak Konstituante berdiri sampai dibubarkannya oleh presiden Soekarno. Tahun 1958 ketika pecah pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia ) di Padang , ia pun berada di tengah-tengah mereka karena didasari oleh ketidaksukaannya pada PKI dan kediktatoran Bung Karno, meskipun peran yang dimainkannya dalam pergolakan itu diakuinya sendiri tidak terlalu besar.


Ia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam dua kali periode kongres. Kongres Muhammadiyah ke-32 di Banyumas Purwokerto pada tahun 1953 mengukuhkannya sebagai Ketua PB Muhammadiyah periode tahun 1953-1956. Oleh karena itu, ia pun pindah ke Yogyakarta . Pada kongres berikutnya yaitu kongres Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang ia terpilih lagi menjadi ketua PB Muhammadiyah periode tahun 1956-1959. Dalam masa kepemimpinannya, upaya pemulihan roh Muhammadiyah di kalangan warga dan pimpinan Muhammadiyah digiatkan. Untuk itu, ia memasyarakatkan dua hal, pertama, merebut khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam roh tauhid, dan mewujudkan akhlak tauhid; kedua, mengusahakan buq'ah mubarokah (tempat yang diberkati) di tempat masing-masing, mengupayakan shalat jamaah pada awal setiap waktu, mendidik anak-anak beribadah dan mengaji al-Qur'an, mengaji al-Qur'an untuk mengharap rahmat, melatih puasa sunat hari senin dan kamis, juga pada tanggal 13 ,14, dan 15 bulan Islam seperti yang dipesankan oleh Nabi Muhammad, dan tetap menghidupkan taqwa. Di samping itu juga diupayakan kontak-kontak yang lebih luas antar pemimpin dan anggota di semua tingkatan dan konferensi kerja diantara majelis dengan cabang atau ranting banyak di selenggarakan. Dalam periode kepemimpinannya, Muhammadiyah berhasil merumuskan khittahnya tahun 1956-1959 atau yang lebih populer dengan sebutan Khittah Palembang, yaitu :
(1). Menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam dan mepertebal tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyu' dan tawadlu', mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, dan menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab, (2). Melaksanakan uswatun hasanah, (3). Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi, (4). Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak, (5). Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader, (6). Memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan islah untuk mengantisipasi bila terjadi potensi keretakan dan perselisihan, dan (7). Menuntun penghidupan anggota.
Meskipun setelah 1959 tidak lagi menjabat ketua, Sutan Mansur yang sudah mulai uzur tetap menjadi penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari periode ke periode. Ia meski jarang sekali dapat hadir dalam rapat, konferensi, tanwir, dan Muktamar Muhammadiyah akan tetapi ia tetap menjadi guru pengajian keluarga Muhammadiyah.
Buya Sutan Mansur juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Dari beberapa tulisannya yang antara lain berjudul Jihad; Seruan kepada Kehidupan Baru; Tauhid Membentuk Kepribadian Muslim; dan Ruh Islam nampak sekali bahwa ia ingin mencari Islam yang paling lurus yang tercakup dalam paham yang murni dalam Islam. Doktrin-doktrin Islam ia uraikan dengan sistematis dan ia kaitkan dengan tauhid melalui pembahasan ayat demi ayat dengan keterangan al-Qur'an sendiri dan hadits.

Buya H. Ahmad Rasyid Sutan Mansur akhirnya meninggal pada hari Senin tanggal 25 Maret 1985 yang bertepatan 3 Rajab 1405 di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun. Sang ulama, da'i, pendidik, dan pejuang kemerdekaan ini setiap hari Ahad pagi senatiasa memberikan pelajaran agama terutama tentang Tauhid di ruang pertemuan Gedung Muhammadiyah jalan Menteng Raya 62 Jakarta. Jenazah almarhum buya dikebumikan di Pekuburan Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan setelah dishalatkan di masjid Kompleks Muhammadiyah. Buya Hamka menyebutnya sebagai ideolog Muhammadiyah dan M. Yunus Anis dalam salah satu kongres Muhammadiyah mengatakan, bahwa di Muhammadiyah ada dua bintang. Bintang Timur adalah KH. Mas Mansur dari Surabaya, ketua PP Muhammadiyah 1937-1943 dan bintang Barat adalah AR. Sutan Mansur dari Minangkabau, ketua PP Muhammadiyah 1953-1959.

Diatas Runtuhan Melaka Lama

Written By Unknown on Jumat, 31 Agustus 2012 | 14.28

Diatas runtuhan Malaka Lama
Penyair termenung seorang diri
Ingat Melayu kala jayanya
Pusat kebesaran nenek bahari

Diatas munggu yang ketinggian
Penyair duduk termenung seorang
Jauh Pandangku ke pantai sana
Ombak memecah diatas karang



Awan berarak melintau bernyanyi
Murai berkicau, Bayu merayu
Kenang melayang kealam sunyi
Teringat zaman yang lama lalu

Sunyi dan sepi,hening dan lingau
Melambai sukma,melenyai tulang
Arwah Hang Tuah rasa menghimbau
Menyeru Umat tunduk ke Tuhan

Disini dulu adat kebesaran
Adat resam teguh berdiri
Duduk semayam yang dipertuan
Melimpah hukum segenap Negri
Disini dulu laksmana Hang Tuah
Satria moyang melayu jati
Jaya perkasa, gagah dan mewah
Tidak melayu hilang di bumi

Disini dulu payung terkembang
Megah Bendahara Seri maharaja
Bendahara yang cerdik tumpuan dagang
Lubuk budi laut bicara

Penyair menghadap kelaut lepas
Selat Malaka tenang membentang
Awan berarak riak menghempas
Mentari turun rembanglah petang

Wahai tuan selat malaka
Mengapa tuan berdiam diri
Tidakkah tau diuntung hamba
Hamba musyafir datang kemari

Dimana Daulat yang dipertuan
Mana hang Tuah,mana hang jebat
Mana Bendahara Johan Pahlawan
Kankah jelas didalam babad

Namanya tetap jadi sebutan
Bekasnya hilang payah mencari
Hanya sedikit bertemu kesan
Musnah dalam gulungan hari

Hanyalah ini bekas yang tinggal
Umat yang lemah terkatung-katung
Hidup menumpang tanah terjual
Larat wai larat di pukul untung

Adakah ini bekas peninggalan
Belahan diriku Umat Melayu
Lemah dan lunglai tiada karuan
Belahan diriku Umat Melayu

Jauh didarat penyair melihat
Gunung Ledang duduk termangu
Tinggi menjulang hijau dan dahsyat
Hiasan hikayat nenekku dulu

Didalam kuasyik merenung gunung
Didalam kemilau panaskan petang
Tengah Khayal dirundung menung
Rasanya ada orang yang datang

Penyair hanya duduk sendiri
Tepi keliling rasanya ramai
Bulu romaku rasa berdiri
Berbuah warna alam yang permai

Ada rasanya bisikan sayu
Hembus angin Digunung Ledang
Entah putri datang merayu
Padahal beta bukan meminang

Bukanlah hamba sutan melaka
Jembatan emas tak ada pada ku
Kekayaan hanya syair seloka
Hanya nyanyian untuk bangsaku

Tiba-tiba terdengar putri berkata
Suaranya halus masuk kesukma
Maksudmu tuan sudahlah nyata
Hendak mengenang riwayat yang lama

Bukan ku minta jembatan emas
Tapi nasihat hendaklah kuberi
Kenang-kenangan zaman yang lepas
I’tibar cucu kemudian hari

Sebelum engkau mengambil kesimpulan
Sebelum Portugis engkau kutuki
Inggeris Belanda engkau cemarkan
Ketahui dahulu salah sendiri

Sultan Mahmud Syah mula pertama
Meminang diriku ke gunang ledang
Segala pintaku baginda terima
Darah semangkok takut menuang

Adakan cita akan tercapai
Adakan hasil yang diinginkan
Jikak berbalik sebelum sampai
Mengorbankan darah tiada berani

Apakah daya Datuk Bendahara
Jikalau Sultan hanya tualang
Memikir diri seorang saja
Tidak mengingat rakyat yang malang

Sultan Ahmad Syah apalah akalnya
Walaupun Baginda inginkan sahid
Mu’alim Makhdum lemah imannya
Disini bukan tempat tauhid

Bendahara Tua Paduka raja
Walaupun ingin mati berjuang
Bersama hilang dengan Malaka
Anak cucunya hendak lari pulang

Berapa pula penjual Negeri
Menghartap emas perak bertimba
Untuk keuntungan diri sendiri
Biarlah bangsa menjadi hamba

Ini sebab nya umat kan jatuh
Baik dahulu atau sekarang
Inilah sebabnya kakinya lumpuh
Menjadi budak beliau orang

Sakitnya bangsa bukan diluar
Tetapi terhujum didalam nyawa
Walau diobat walau ditawar
Semangat hancur apalah daya

Janjian Tuhan sudah tajalli
Mulailah umat yang teguh iman
Allah tak pernah mungkirkan janji
Tarikh riwayat jadi pedoman

Tidaklah Allah mengubah untung
Suatu kaum dalam dunia
Jika hanya duduk termenung
Berpeluk lutut berputus asa

Malang dan mujur nasibnya bangsa
Turun dan naik silih berganti
Terhenyak lemah,naik perkasa
Bergantung atas usaha sendiri

Riwayat yang lama tutuplajh sudah
Apakah guna lama terharu
Baik berhenti termenung gundah
Sekarang buka lembaran baru

Habis sudah madahnya puteri
Ia pun ghaib khayalpun hilang
Tinggal penyair seorang diri
Dihadapan cahaya jelas membentang

Pantai malaka kulihat riang
Nampaklah ombak kejar mengejar
Bangunlah tuan belahan sayang
Seluruh timur sudahlah sadar

Bercermin pada sejarah moyang
Kita sekarang merubah nasib
Dizaman susah ataupun riang
Tolongan tetap dari yang Ghaib

Bangunlah kasih umat Melayu
Belahan asal satu turunan
Bercampur darah dari dahulu
Persamaan nasib jadi kenangan

Semangat yang lemah dibuang jauh
Jiwa yang kecil kita besarkan
Yakin percaya,imanpun teguh
Zaman hadapan ,penuh harapan

Bukanlah kecil golonganmu tuan
Tujuh puluh juta Indonesia
Bukanlah sedikit kita berteman
Sudahlah bangun bumi Asia

Kutarik nafas,kukumpul ingatan
Akupun tegak dari renungan
Jalan yang jauh aku teruskan
Melukis riwayat shafat hidupku

Kota Malaka tinggallah sayang
Beta nak balik kepulau parca
Walau terpisah engkau sekarang
Lambat launnya kembali pula
Walaupun luas watan terbentang
Danau Maninjau terkenang Jua....
(Karya HAMKA)
Ditulis Oleh Hanif Rasyid S.Pdi

BUYA HAMKA : Pahlawan Nasional dengan Integritas

Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof Dr Azumardi Azra dalam kesaksian yang diberikan pada acara tasyakuran gelar pahlawan nasional Buya HAMKA, bahwa Buya HAMKA adalah pahlawan nasional yang penuh dengan integritas.

Prof Dr HAMKA agaknya bagi sebagian kalangan kurang begitu dikenal sebagai pejuang. Buya HAMKA lebih dikenal sebagai satrawan dan ulama; bukan sebagai pejuang bangsa. Akibatnya Buya HAMKA terlambat menerima gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah RI. Baru menjelang Hari Pahlawan 10 Nopember 2011 akhirnya Buya HAMKA mendapatkan penghargaan yang long overdue tersebut.

Meski demikian, rasa syukur patut diungkapkan dengan penghargaan negara atas jasa-jasa Buya HAMKA yang begitu lengkap dan kompleks dalam kehidupan umat/bangsa Indonesia.

HAMKA yang sejak selesai bertugas sebagai Konsul Muhammadiyah di Makasar pindah ke Medan (1936) juga aktif dalam perjuangan melawan Belanda. Karena kegiatannya melawan Belanda inilah HAMKA akhirnya merasa harus pindah ke Sumatera Barat pada 1945.

Kiprah HAMKA dalam perjuangan nasional sepanjang 1945- 1949 kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda. Pada tahun 1947 HAMKA diangkat menjadi ketua Barisan Perthanan Nasional dengan anggota Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Rasuna Said dan Karim Halim. Selain itu HAMKA juga diangkat oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai sekretaris Front Pertahanan Nasional. Demikian sekelumit sejarah keterlibatan Buya HAMKA dalam kancah kepahlawanan Nasional sering terlewatkan tertutup oleh kemashuran beliau sebagai tokoh agama dan sastrawan di Indonesia.

ProgramTahfiz Quran di MTsM Sungai Batang

Salah satu materi kegiatan pembelajaran yang sangat menonjol di MTs Muhammadiyah Sungai Batang adalah pembinaan Tahfiz Quran , kegiatan ini sudah merupakan kegiatan Kurikuler (Materi Wajib) sejak dari kelas 1 (satu) sampai Kelas 3 (tiga). Siswa yang tamat dari MTs muhammadiyah Sungai Batang harus hafal Al-Quran Juz 30 (Juz Amma) .

Alhamdulillah pada tanggal 21 Juni 2012 telah diadakan Wisuda perdana Tahfiz Quran terhadap santri di MTs Muhammadiyah dengan mendatangkan Tim Penguji Kelayakan. Bahkan pada Bulan ramadhan 1433 H / 2012 M kemaren ini salah seorang dari santri Tahfiz Quran yang juga murid MTsM atas nama SALMA SAFITRI telah mengikuti MHQ (Musabaqah Hafiz Quran) tingkat Kabupaten agam, dan Alhamdulillah juga anak kita tersebut mendapat Juara 3 (Tiga) tingkat Kabupaten Agam.

Sebagai tantangan dari Kepala Kantor Urusan Agama Tanjung Raya Bapak Muhammad Nur Akhiar terhadap program tahfiz quran yang dilaksanakan di MTsM adalah bahwa untuk Tahun 2015 hendaknya santri dari Tahfiz Quran yang juga Murid MTsM Sungain Batang mampu mengikuti Musabaqah Hafiz Quran tingkat Nasional.

Tantangan yang ditawarkan oleh Kepala KUA Tanjung Raya tersebut bukanlah isapan jempol belaka, melainkan adalah merupakan cambuk bagi kita untuk meningkatkan pendidikan kepada santri tahfiz, sehingga apa yang menjadi cita-cita akan tercapai. Memang kalau dilihat masa sekarang ini banyak generasi yang tidak peduli lagi dengan Al-Quran, jangankan untuk menghafal untuk membacanya saja pun telah jarang. Untuk itulah dalam meningkatkan program ini kami mohon dukungan dari berbagi pihak, baik dari guru-guru, wali murid, para perantau, komite, masyarakat, Pemerintahan Nagari, Camat Tanjung Raya, Kementrian Agama Kabupaten Agam, maupun Bapak Bupati Agam. Hal ini juga akan mendukung program kabupaten agam yaitu magrib mengaji dan menyemarakkan al-quran pada generasi muda, sehingga terwujudnya generasi yang akrab dengan Al-Quran dan Hafiz Quran.

Pengunjung

Rekening Donasi



 
Copyright © 2012. Website Resmi MTs Muhammadiyah Sungai Batang - All Rights Reserved
Jl Lingkar Maninjau Km 5.5 Muaro Pauah Nagari Sungai Batang
Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam 26472
Support : Ranah Maninjau
Created by MPS