Website Resmi MTs Muhammadiyah Sungai Batang
Headlines News :
Selamat Datang di MTs Muhammadiyah Sungai Batang | Jl Lingkar Maninjau Km 5.5 Muaro Pauah Sungai Batang 26472 | Kritik, Saran dan Masukan Silahkan Dikirimkan ke email : info@mtsm-sungaibatang.com

Latest Post

Hal Hal Yang Membatalkan Puasa Pada Madzhab Imam Syafi'i

Written By Unknown on Rabu, 10 Juli 2013 | 09.58

Menurut Syafi’iyah,di antara hal-hal yang membatalkan puasa dan wajib qadha atasnya adalah sebagai berikut: (1) Memasukkan sesuatu ke dalam rongga perut, walaupun jumlahnya sedikit atau kecil, seperti biji- bijian. Termasuk juga memasukkan sesuatu ke dalam otak, usus, kandung kemih, dan menyuntikkan sesuatu melalui lubang zakar atau puting susu, dan yang semisalnya. (2) Menelan dahak yang bisa dikeluarkan. Adapun dahak yang tidak sengaja tertelan, tidak membatalkan puasa. (3) Memasukkan air kumur atau air istinsyaq (air yang dimasukkan ke dalam lubang hidung) ke dalam rongga perut secara berlebih-lebihan. (4) Muntah dengan sengaja. (5) Istimna’, yaitu mengeluarkan air mani di luar persetubuhan, baik yang diharamkan yaitu dengan tangannya sendiri, ataupun yang dihalalkan seperti dengan tangan istrinya. Termasuk juga keluar mani karena sentuhan atau ciuman atau yang semisalnya tanpa pembatas. Sedangkan keluar mani karena khayalan, pandangan dengan syahwat, atau yang semisalnya tidak membatalkan puasa. (6) Makan di siang hari karena keliru, mengira sudah waktunya berbuka atau masih belum waktunya berpuasa (waktu fajar), padahal fajar telah terbit dengan jelas atau matahari belum terbenam. Namun jika ia berbuka di akhir siang karena menduga sudah tenggelam matahari, atau makan di saat fajar karena menduga masih belum terbit fajar, disertai kemungkinan dugaannya tersebut benar, maka tidak apa-apa. (7) Batal puasa karena ia tiba-tiba gila, atau murtad, atau tiba-tiba haidh dan nifas bagi perempuan. Menurut kalangan Syafi’iyah, seseorang yang batal puasanya karena sebab-sebab di atas (kecuali poin g), setelahnya tetap wajib menahan diri dari makan, minum, jima’ dan yang semisalnya sampai tenggelam matahari. Sedangkan hal yang membatalkan puasa dan wajib qadha serta kaffarah atasnya, menurut Syafi’iyah, hanya satu yaitu jima’ (persetubuhan). Selain wajib qadha serta kaffarah, pelakunya juga dikenai ta’zir dan setelahnya tetap wajib menahan diri dari makan, minum, jima’ dan yang semisalnya sampai tenggelam matahari. Hal ini jika pelaku jima’ tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (8) Ia sudah berniat puasa di malam harinya. (9) Dilakukan secara sengaja. Orang yang lupa tidak diwajibkan kaffarah. (10) Pilihan sendiri. Jika ia dipaksa, ia tidak dibebani kaffarah. (11) Mengetahui keharaman jima’ di siang hari puasa. Jika ia belum tahu, ia tidak diwajibkan kaffarah. (12) Jima’ tersebut dilakukan di siang hari bulan Ramadhan. Tidak ada kaffarah bagi yang melakukan jima’ saat puasa nadzar, qadha atau puasa sunnah. (13) Puasanya memang batal karena jima’ bukan karena yang lain. Tidak ada kaffarah bagi yang batal puasanya karena makan atau minum, kemudian ia melakukan jima’. (14) Orang tersebut berdosa karena melakukan jima’. Tidak ada kaffarah atas anak kecil, dan orang yang sedang safar atau sakit walaupun saat itu ia tetap berpuasa. (15) Ia yakin akan sahnya puasanya sebelumnya. Tidak ada kaffarah jika sebelumnya ia sudah menganggap puasanya batal. Misalnya sebelumnya ia makan karena lupa, kemudian menganggap puasanya batal karena makannya tersebut. (16) Ia tidak keliru menganggap sedang ber-jima’ di luar waktu puasa. Misalnya ia ber-jima’ di waktu terbit fajar, namun ia menduga belum masuk waktu fajar, orang ini tidak diwajibkan kaffarah. (17) Ia tidak gila atau mati setelah melakukan jima’ di siang hari tersebut. (18) Persenggamaan tersebut dinisbahkan kepadanya. Jika si wanita yang memasukkan kepala zakarnya ke farji si wanita, maka tidak ada kaffarah. (19) Jima’ dilakukan dengan memasukkan kepala zakar atau bagian zakar yang mampu dimasukkan. Jika tidak sampai masuk dan tidak ada upaya untuk memasukkannya, maka tidak ada kaffarah atasnya. (20) Jima’-nya dilakukan pada farji. Tidak ada kaffarah bagi yang tidak melakukannya pada farji. Menyetubuhi wanita pada dubur, atau liwath dianggap sama dengan jima’ pada farji. (21) Hanya berlaku bagi yang menyetubuhi (pria), bukan bagi yang disetubuhi (wanita). Tidak ada kaffarah bagi wanita, ia hanya wajib qadha. Ini berbeda dengan pendapat jumhur, yang menyatakan pria dan wanita sama-sama wajib membayar kaffarah selama mereka melakukannya dengan sengaja, tanpa dipaksa. Wallahu ‘Alam Bisshowab
Share on Facebook Share on Twitter

Rahmah El-Yunusiyyah "Pelopor Pendidikan Muslim Indonesia"

Written By Unknown on Senin, 08 Juli 2013 | 12.42

Rahmah el-Yunusiyyah. (ist)Dalam dunia pendidikan islam, Rahmah el-Yunusiyah merupakan pelopor bagi pendidikan muslimah di Indonesia maupun Dunia. Pada usianya yang relatif muda, 23 tahun, Rahmah el-Yunusiyah telah mendirikan lembaga pendidikan khusus bagi kaum perempuan, yaitu Diniyah School Putri (1923 M.) guna memberikan pendidikan bagi kaum perempuan Minang pada masa itu.
Diniyyah School Putri merupakan sebuah langkah maju dalam pendidikan muslimah di Indonesia bahkan di dunia. Karena sekolah yang digagas oleh Rahmah el-Yunusiyah ini tidak hanya memberikan pelajaran agama maupun umum, tetapi juga mengajarkan berbagai keterampilan yang diperlukan oleh seorang muslimah sebagai ibu yang mandiri. Maka ketika Rektor Universitas Al-Azhar Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyyah Putri pada 1955, beliau tertarik dengan sistem pembelajaran khusus yang diterapkan disana dan menginspirasinya untuk mendirikan Kuliyyatul-Lil-Banat (kampus Al-Azhar khusus putri) di Universitas Al-Azhar. Dan Rahmah pun dinobatkan sebagai Syaikhah (Guru Besar Wanita) pertama dari Universitas Al-Azhar.[1]
Biografi Rahmah el-Yunusiyyah
Rahmah el-Yunusiyah lahir di sebuah rumah gadang jalan Lubuk Mata Kucing, Kanagarian Bukit Surungan, Padang Panjang pada hari jum’at tanggal  29  Desember 1900 M, bertepatan  dengan  tanggal  1 Rajab 1318 H,  dari keluarga Syekh Muhammad Yunus dan Rafi’ah. Terlahir sebagai anak terakhir dari lima bersaudara yaitu Zainuddin Labay  (1890-1924 M),  Mariah (1893-1972 M), Muhammad Rasyad (1895-1956 M), dan Rihanah (1898-1968 M).  Namun  Rahmah  masih  mempunyai saudara lain ibu, yaitu Abdus Samad, Hamidah, Pakih Bandaro, Liah, Aminuddin, Safiah, Samihah dan Kamsiah.
Ayah  Rahmah  el-Yunusiyah,  Syekh  Muhammad  Yunus adalah seorang ulama besar di zamannya. Syekh Muhammad Yunus  (1846-1906 M)  menjabat  sebagai  seorang Qadli di negeri Pandai Sikat dan pimpinan Tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah.   Selain  itu Syekh Muhammad Yunus juga ahli ilmu falak dan hisab. Ia pernah menuntut ilmu di tanah suci Mekkah selama 4 tahun. Kakeknya ialah Syeikh Imaduddin, tokoh tarekat Naqsabandiyyah di Minangkabau.[2] Ulama yang masih  ada darah  keturunan dengan pembaharu  Islam yang juga seorang tokoh Paderi, Tuanku Nan Pulang di Rao.
Adapun  ibunda  Rahmah  el-Yunusiyah yang  biasa disebut Ummi Rafi’ah,  nenek  moyangnya  berasal  dari negeri Langkat, Bukittinggi Kabupaten Agam dan pindah ke bukit Surungan Padang Panjang pada abad XVIII M yang lalu. Ummi Rafi’ah masih berdarah keturunan ulama, empat tingkat diatasnya masih ada hubungan dengan mamak Haji Miskin, sang pembaharu gerakan Paderi. Ummi  Rafi’ah  yang  bersuku  Sikumbang  adalah anak  keempat  dari  lima  bersaudara. Ia menikah dengan Syekh Muhammad Yunus  saat  berusia  16 tahun, sedangkan  Syekh  Muhammad  Yunus berusia 42 tahun.
Rahmah el-Yunusiyyah. (ist)
Dalam  usia enam belas tahun  Rahmah menikah  dengan  seorang  alim  dan mubaligh bernama Haji Bahauddin Lathif dari Sumpur Padang Panjang. Perkawinan  ini  tidak  berlangsung  lama,  hanya  enam  tahun, pada tahun 1922 keduanya  bercerai  atas  kehendak kedua belah pihak dan selanjutnya menganggap sebagai  dua  orang  bersaudara.
Dari perkawinan ini Rahmah tidak mempunyai anak. Sejak  perceraian tersebut, ia  tidak  bersuami  lagi. Rupanya  hal  ini  memberi  faedah  kepadanya  sendiri, sehingga  ia dapat menempatkan seluruh hidupnya kepada perguruan yang didirikannya. Ia  berpulang  ke rahmatullah  pada  hari  Rabu  tanggal 9 Zulhijjah 1388 Hijriah atau  tanggal 26 Februari 1969 pada pukul 19.30 di rumahnya sendiri di Padang Panjang.  Jenazahnya dikuburkan di perkuburan keluarga disamping rumahnya yang juga di samping  perguruan  yang  ia dirikan di  pinggir  jalan  Lubuk  Mata  Kucing.
Rahmah Kecil yang Haus Ilmu
Sedari kecil, Rahmah tidak pernah mengecap pendidikan formal yang dibuat oleh pemerintah Belanda. Walaupun saat itu sudah ada sekolah Bumiputera tingkat pertama di Minangkabau. Tetapi, Rahmah yang sudah menjadi yatim semenjak kanak-kanak itu mendapatkan pendidikan terbaik dari keluarga dan murid-murid ayahnya.
Engku Uzair Malim Batuah –yang juga murid ayah rahmah- mengajarinya membaca Al-Qur’an semenjak usianya enam tahun. Ketika  usianya delapan  tahun, Rahmah  dituntun  tulis–baca huruf latin oleh kakaknya  Zainuddin Labay dan  Muhammad  Rasyad yang pernah belajar di Sekolah Desa. Umi Rafi’ah, ibunya juga ikut mengajari Rahmah berhitung dengan angka–angka Arab (angka Melayu).[3] Rahmah juga secara rutin mengikuti pengajian-pengajian dari surau ke surau untuk memambah pengetahuannya di bidang agama. Ia juga dikenal sebagai anak yang rajin membaca buku.
Ketika kakaknya Zainuddin Labay mendirikan Diniyyah School pada tanggal 10 Oktober 1915 berdiri, ia ikut belajar di perguruan ini. Rahmah sempat mengikuti Diniyyah School hingga kelas tiga. Namun ia masih belum puas dengan apa yang ia dapatkan di sekolah ini, ia merasa banyak persoalan yang masih belum terpecahkan, termasuk persoalan wanita.[4] Rasa ketidak-puasannya ini dibicarakan  dengan  tiga  temannya  sesama wanita, yaitu Rasuna Said dari Maninjau, Nanisah dari Bulaan Gadang Banuhampu, dan Jawana Basyir (Upik Japang) dari Lubuk Agung.  Mereka berempat bersepakat untuk membentuk kelompok belajar. Rahmah mengajak ketiga  temannya ini untuk menambah ilmu agama secara mendalam di luar perguruan di antaranya  di  Surau  Jembatan  Besi.[5] Surau Jembatan Besi yang dipelopori oleh Syekh Haji Abdullah Ahmad ini kelak menjadi PGAI.
Tampaknya di Surau Jembatan Besi inilah Rahmah bertemu dengan sosok Haji Abdoel Karim Amrullah (ayahanda dari Buya HAMKA), dan memintanya untuk mengajarinya berbagai disiplin ilmu agama secara privat di rumahnya di Gatangan. Di sini ia memperdalam pengajian mengenai masalah agama dan wanita,  di samping  itu  juga  ia  mempelajari  bahasa  Arab,  fiqih  dan  ushul fiqih.[6] Rahmah juga belajar dari ulama minang lainnya seperti, Tuanku Muda Abdul Hamid Hakim (pimpinan sekolah Thawalib Padang Panjang), Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdul Latif Rasjidi, dan Syekh Daud Rasjidi.[7] Ia baru merasakan adanya kepuasan dan telah menemukan apa yang dicarinya  selama  ini.
Diusianya yang ke-23 tahun, Rahmah mendirikan Madrasah lil-banat yang menjadi cikal bakal Diniyyah Putri School. Setelah tujuh tahun mengembangkan sekolahnya, Rahmah tertarik untuk menambah pengetahuan dan keterampilan yang kelak dibutuhkan oleh kaum muslimah. Sekitar tahun 1931-1935, ia mengikuti kursus ilmu kebidanan di RSU Kayu  Tanam  dan  mendapat izin praktek / ijazah bidan dari dokter. Dalam bidang  kebidanan  ini ia juga mendapat bimbingan yang mula-mula diberikan dari kakak ibunya Kudi Urai, seorang bidan yang menolong kelahiran dirinya dan  Sutan  Syahrir (Mantan Perdana Menteri RI).[8]
Selain itu, ia belajar ilmu kesehatan dan pertolongan pertama pada kecelakaan  (P3K) dari  enam  orang  dokter  yang  juga gurunya dalam kebidanan: dokter  Sofyan  Rasyad  dan  dokter Tazar di  rumah  sakit  umum Kayu Tanam  (mendapat izin praktek dan ijazah dengan kedua dokter ini), dokter A. Saleh  di RSU Bukittinggi, dokter Arifin dari Payakumbuh, dan dokter Rasjidin dan dokter A. Sani  di Padang Panjang.  Untuk mendalami praktek kebidanan  dan  ilmu  kesehatan ini ia belajar sambil praktek di RSU Kayu Tanam.[9]
Rahmah  juga  mempelajari olahraga  dan  senam dari Mej. Oliver seorang guru  di  Normaal School di Guguk Malintang.  Kemudian ia juga mempelajari cara  bertenun  tradisional, yakni: bertenun dengan menggunakan alat  tenun bukan mesin yang pada masa itu banyak dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Ia mendatangi beberapa pusat pertenunan rakyat seperti Pandai Sikat, Bukittinggi dan Silungkang. Ilmu bertenun ini ia lengkapi dengan belajar jahit-menjahit. Kedua ilmu ini yakni: bertenun dan jahit-menjahit dimasukkannya kedalam kurikulum perguruannya kemudian.
Seluruh pengalaman Rahmah el-Yunusiyyah menjadi pelajaran berharga dan mempengaruhi metode pendidikan yang ia terapkan pada Diniyyah Putri School.
Mengapa Harus Sekolah Khusus Muslimah?
Berdasarkan perjalanan hidupnya dalam mencari ilmu dan berguru kepada tokoh-tokoh ulama besar, maka timbullah sebuah keinginan kuat dari Rahmah agar mencerdaskan kaum perempuan. Rahmah merasa kaum muslimah saat itu belum mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Dalam sebuah catatan hariannya, Rahmah pernah menuliskan:
“Ya Allah Ya Rabbi,  bila ada dalam ilmu-Mu apa yang menjadi cita–citaku ini  untuk mencerdaskan anak bangsaku  terutama anak-anak perempuan yang masih jauh  tercecer dalam bidang pendidikan dan pengetahuan, ada baiknya Engkau ridhai, maka mudahkanlah Ya Allah jalan menuju cita–citaku itu. Ya Allah, berikanlah   yang terbaik untuk hamba-Mu yang lemah ini. Amin.”
Berbeda dengan perjuangan Raden Ajeng Kartini yang mengusung agar kaum wanita mendapatkan hak sama dengan kaum lelaki, terutama dalam bidang pendidikan. Di Ranah Minang, justru hal itu bukanlah menjadi sebuah masalah, karena madrasah dan sekolah yang sudah ada saat itu memperbolehkan siapapun untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar tanpa memandang perbedaan gender. Walaupun kebanyakan masyarakat awam masih memandang kurang perlunya pendidikan bagi wanita, tetapi para muslimah keturunan tokoh-tokoh ulama saat itu didorong untuk mendapatkan pendidikan yang baik oleh orang tua mereka, sebut saja Rahmah el-Yunusiyyah, Rasuna Said dan masih banyak wanita lain yang dapat mengecap pendidikan selayaknya kaum laki-laki.
Namun mengapa Rahmah seakan-akan memaksakan diri untuk mendirikan sekolah khusus putri, jika kaum muslimah saat itu sebenarnya sudah mendapatkan kesempatan untuk belajar di sekolah-sekolah yang ada?.
Kemungkinan motivasi Rahmah untuk membangun sekolah khusus putri di karenakan Rahmah melihat bahwa pendidikan yang ada saat itu belum menjawab semua permasalahan yang dihadapi oleh kaum wanita. Hal inilah yang dialami oleh Rahmah sampai ia bertemu dengan sosok Haji Abdul Karim Amrullah. Pandangan Rahmah ini menegaskan bahwa penyamaan kurikullum antara pelajar putra dan putri bukanlah sesuatu yang bijak, karena keduanya memiliki karakter dan peran yang berbeda dalam masyarakat walaupun keduanya memiliki tanggung jawab yang sama sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesunguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 21)
Muhammad Quthb mempunyai pandangan yang sama terhadap hal ini, bahwa kaum wanita dan lelaki harus dipisahkan dalam pendidikan saat karakter keduanya mulai mulai terbangun. Ia mengatakan:
“Dan jiwa keprajuritan haruslah tampak pada sekolah-sekolah putra, dan jiwa keibuan harus terlihat pada sekolah-sekolah putri, untuk mempersiapkan peran keduanya di masa yang akan datang. Dan tidaklah dicampurkan sebagaimana jahiliyyah modern mencampurkan keduanya, yang akhirnya hanya akan menghasilkan generasi lembek yang saat ini menyesaki muka bumi. Generasi yang tidak tampak pada pandangan pertama –atau bahkan sampai pandangan terakhir- apakah ia anak lelaki atau anak perempuan?”[10]
Rahmah el-Yunusiyyah. (ist)Rahmah el-Yunusiyyah. (ist)
Pembangunan nilai dan karakter islamiyyah tidak akan terwujud tanpa memisahkan proses pendidikan keduanya. Permasalahannya bukanlah pelajaran apa yang harus dipelajari putra atau putri, karena keduanya bisa saja mendapatkan pelajaran yang sama. Tetapi bagaimana suasana yang kondusif bagi anak laki-laki untuk membangun sikap kejantanannya dan bagi anak perempuan untuk membentuk karakter kewanitaanya.[11]
Maka Rahmah memiliki cita-cita agar wanita indonesia memiliki kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita hingga bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mendidik, ia bertujuan agar wanita sanggup untuk menjadi ibu pendidik yang cakap, aktif dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air.[12]
Cita-cita Rahmah ini kemudian dimanifestokan dalam bentuk sebuah lembaga pendidikan yang didirikan khusus untuk kaum wanita, yaitu Diniyyah Putri School.
Diniyyah Putri School
Atas sokongan dari Zainuddin Labay dan para alumni Diniyyah School yang dipimpinnya. Rahmah pada mulanya mengusulkan gagasannya dirundingkannya dengan teman–temannya di Persatuan Murid-murid Diniyah School  (PMDS), usulan itu mendapat sambutan baik. Dan Rahmah mampu mendirikan al-Madrasah Lil-Banat pada tanggal 1 November 1923. Awalnya hanya terdapat 71 orang murid yang kebanyakan berasal dari kalangan ibu-ibu rumah tangga yang masih berusia muda. Pelajaran diberikan tiap hari selasa selama 3 jam di sebuah masjid di Pasar Usang, Padang Panjang, dan terdiri dari pelajaran agama serta ilmu alat.[13] Setelah beberapa lama, nama sekolah ini diganti menjadi Diniyyah Putri School dan terakhir menjadi Peguruan Diniyyah Putri.
Pada awalnya banyak kalangan masyarakat yang tidak yakin akan kemampuan para kaum wanita muslimah untuk menjalankan sebuah pendidikan yang baik. Bahakan tidak sediikit diantara mereka yang mencemooh karena menurut mereka kaum wanita itu seharusnya bekerja di dapur.[14]
Pada tahun 1924 sekolah itu pindah ke sebuah rumah di dekat masjid, dan mulai diadakan kelas-kelas yang dilengkapi dengan bangku, meja dan papan tulis. Bagian atas dari rumah ini dipergunakan sebagai asrama pada tahun 1925 dan ditempati oleh kira-kira 25 orang.[15]
Ketegaran dan sikap mandiri Rahmah terlihat dengan jelas saat Madrasah Lil-banat ini rusak berat karena gempa yang terjadi pada 1926. Rahmah membangun kembali madrasahnya tanpa mau bergantung pada bantuan orang lain. 45 hari  sesudah  gempa  ia bersama-sama dengan majelis guru dan  dibantu  oleh  murid-murid Thawalib School Padang Panjang, kembali  secara  gotong  royong mendirikan beberapa rumah bambu diatas sebidang tanah wakaf dari ibunya, Ummi Rafi’ah, dengan atap daun rumbia berlantaikan tanah. Setelah rumah  bambu  Ini berdiri, kemudian dijadikan  rumah  darurat  untuk  memulai  kembali  kegiatan  perguruannya.
Pengumuman disebarkan ke seluruh daerah asal murid, bahwa sekolah akan memulai kembali kegiatannya. Pembangunan sekolah dilaksanakan sesuai kemampuan sambil melanjutkan kegiatan belajar mengajar di kelas darurat tersebut. Para wali murid yang bersimpati kemudian mendirikan satu  komite penyelamat perguruan ini untuk mencari dana guna pembangunan sekolah.[16]
Pada tahun 1927, Rahmah pergi ke Sumatera Utara untuk mengumpulkan dana guna membangun sebuah gedung permanen yang baru. Gedung ini selesai di tahun berikutnya, yaitu sebuah bangunan dengan tujuh kelas.[17]
Dalam proses pendidikan di Diniyyah Putri School,  Rahmah menerapkan sistem pendidikan  terpadu, yaitu : memadukan  pendidikan  yang  diperoleh  dari rumah  tangga, pendidikan yang diterima sekolah dan pendidikan yang diperoleh dari masyarakat di dalam pendidikan asrama. Dengan sistem terpadu ini, teori ilmu pengetahuan dan agama serta  pengalaman yang dibawa oleh masing–masing  murid  dipraktekkan  dan  disempurnakan dalam  pendidikan  asrama di bawah asuhan guru–guru asrama. Kurikulumnya terdiri dari kelompok bidang studi agama, bahasa Arab, ilmu pengetahuan dan kelompok bidang studi ini di orientasikan kepada  pembentukan  pribadi  muslimah dan kualitas diri.
Sekolah Putri yang Independen
Dalam menjalankan sekolahnya, Rahmah berusaha untuk tidak terikat dengan pihak manapun sehingga ia berusaha tidak tergantung kepada pihak manapun secara finansial ataupun ideologis.
Secara finansial, Rahmah pernah menolak bantuan dari kawan-kawannya di Diniyyah School untuk membangun kembali gedung yang rusak akibat gempa pada 1927. Ia dengan halus menolak bantuan tersebut, dan berkata :
“Usul ini sangat dihargakan oleh pengurus dan guru-guru sekaliannya, akan tetapi buat sementara golongan perempuan (puteri) akan mencoba melayarkan sendiri pencalangnya sampai ke tanah tepi dan mana kala tenaga putri tidak sanggup lagi menyelamatkan pencalang itu, maka dengan sepenuh hati pengharapan guru-guru dan pengurus akan memohonkan kembali usul-usul engku-engku sekarang, kepada engku-engku yang menurut kami patut kami menyerahkan pengharapan kami itu”.
Rahmah el-Yunusiyyah. (ist)
Rahmah el-Yunusiyyah. (ist)
Pernah juga pemerintah Belanda menawarkan bantuan untuk membantu sekolahnya dengan subsidi penuh dengan syarat Diniyyah Puteri menjadi lembaga yang berada dibawah pengawasan Belanda. Rahmah pun menolak dengan tegas, ia tidak mau sistem pendidikan yang sudah terbangun dengan baik dibelokkan oleh Belanda.[18] Subsidi pemerintah kolonial akan membuat dirinya terikat, dan mengakibatkan keleluasan pemerintah kolonial mempengaruhi pengelolaan program pendidikan Diniyah School Putri ini. Kondisi seperti itu telah di alami Adabiyah School yang pada tahun 1915 menerima subsidi pemerintah kolonial.[19]
Pada tahun 1932 peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai pemerintah yang disebut Ordonasi Sekolah Liar (Wilde Schoool Ordonantie),[20] Rahmah melawan dengan mendirikan “Komite Penolakan Ordonansi Sekolah Liar”  pada tahun 1933 di Sumatera Barat.
Rahmah juga menolak jika pendidikan dicampurkan dengan kegiatan politik, walaupun ia sendiri sebenarnya terlibat dengan kegiatan politik. Rahmah berpendapat bahwa pemimpin-pemimpin politik pada masanya di daerah Minangkabau terdiri dari orang-orang yang didalam masa mudanya, mereka memperoleh pelajaran agama di lembaga-lembaga yang mereka masuki di mana tidak ada pelajaran khusus tentang politik yang diberikan. Pandangan Rahmah ini bertolak belakang dengan apa yang diyakini oleh sahabatnya Rasuna Said, hingga akhirnya Rasuna memilih untuk keluar dai Diniyyah Puteri.[21]
Maka ketika PERMI berusaha untuk mengumpulkan dan menghimpun sekolah-sekolah pembaharu dibawah supervisinya, Rahmah tidak menyetujui hal itu. Maka saat PERMI mengadakan permusyawaratan besar guru-guru agama Islam se-Minangkabau di Padang Panjang pada tahun 1931, guru-guru dari Diniyyah Puteri tidak merespon dengan baik. Sebagai pemimpin Permi, Mukhtar Lutfi mempertanyakan hal tersebut. Rahmah pun mengemukakan pendapatnya, “Biarkan perguruan ini terasing selama-lamanya dari partai politik, dan tinggalkanlah ia menjadi urusan dan tanggungan orang banyak (umum), sekalipun umum itu dalam aliran politiknya bermacam warna dan ragam, tapi untuk perguruan dan penanggung jawab atasnya haruslah mereka itu satu adanya”[22] Maka pada saat PERMI membuat Dewan Pengajaran Permi, Rahmah membuat wadah bagi pengajar-pengajar diniyyah puteri yang dinamakan Perikatan Guru-Guru Agama Putri Islam (PGAPI) pada tahun 1933. Begitu juga di saat Dr. Mahmud Yunus berusaha menyamakan kurikullum di sekolah-sekolah islam di Sumatera Barat agar sejalan dan memiliki kesamaan visi.
Sikap Rahmah yang menolak campur tangan pihak lain, baik dalam pendanaan ataupun penyusunan kurikullum dan lainnya menunjukkan keteguhan beliau untuk mempertahankan cita-cita beliau agar anak-anak didiknya mempunyai karakteristik yang berbeda dari sekolah-sekolah lainnya.
Kontribusi Tak Pernah Putus
Dalam dunia pendidikan, kontribusi Rahmah tidak hanya dengan mendirikan Diniyyah Puteri School saja , tetapi ia juga mendirikan beberapa sekolah lainnya, diantaranya;
  1. Menyesal  School, yaitu sekolah pemberantasan  buta huruf di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Sekolah  ini  didirikan  pada  tahun  1925 dan  berlangsung  selama  tujuh tahun  yaitu  sampai  tahun  1932. Kemudian sekolah ini tidak dilanjutkan.
  2. Yunior Institut Putri, sebuah sekolah umum  setingkat dengan Sekolah Rakyat pada masa penjajahan Belanda atau Vervolgschool, didirikan pada tahun 1938.
  3. Islamitisch Hollandse School (IHS) setingkat dengan HIS (Hollandsch Inlandse School), yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
  4. Sekolah DAMAI (Sekolah Dasar Masyarakat Indonesia).
  5. Kulliyatul Mu’allimin El-Islamiyah  (KMI), yaitu sekolah Guru Agama Putra yang didirikan  pada tahun  1940. KMI  Putra  ini didirikan  untuk  memenuhi  kebutuhan masyarakat akan guru–guru agama putra yang banyak didirikan oleh masyarakat di Sumatera Barat. Keempat sekolah ini berhenti beraktivitas semenjak zaman penjajahan Jepang.
  6. Pada tahun 1947 ia kembali mendirikan empat buah lembaga pendidikan agama   putri dalam bentuk lain, yaitu Diniyah Rendah Putri (SDR), sekolah setingkat Sekolah Dasar dengan lama pendidikannya tujuh tahun,
  7. Sekolah Diniyah Menengah Pertama Putri Bagian A Tiga Tahun (DMP Bagian A), Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian B Lima Tahun (DMP Bagian B), dan  Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian C Dua Tahun  (DMP Bagian C). Tiga  buah  sekolah  yang  disebut  terakhir setingkat  dengan  Sekolah  Menengah  Pertama  ( SMP ) dengan bidang studi  agama  dan  bahasa  Arab  menjadi  mata pelajaran  pokok.
  8. Akademi  Diniyah  Putri yang lama pendidikannya tiga tahun pada tahun 1964. Tanggal 22 November 1967 Akademi  ini dijadikan Fakultas Dirasat Islamiyah dan merupakan fakultas dari  Perguruan  Tinggi Diniyah Putri. Fakultas ini “diakui” sama dengan Fakultas Ushuluddin Institut  Agama Islam Negeri (IAIN) untuk tingkat Sarjana Muda.
Rahmah el-Yunusiyyah. (ist)
Rahmah el-Yunusiyyah. (ist)
Disamping sebagai pendidik, Rahmah juga dikenal sebagai seorang pejuang. Dialah orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di sekolahnya setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan indonesia. Jiwa nasionalisme dan patriotismenya memang tertanam kuat dalam dirinya. Karenanya ia sangat mendambakan kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, semasa revolusi kemerdekaan, ia dipenjarakan oleh Belanda dan baru dibebaskan tahun 1949 setelah pengakuan kedaulatan. Hingga tahun 1958 ia aktif di bidang politik. Dalam kaitan ini, ia antara lain menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Sumatra Tengah, ketika Barisan Sabilillah dan Sabil Muslimin di Padang, dan anggota Konstituante mewakili Masyumi. Peranannya yang paling menonjol adalah kepeloporannya dalam pembentukkan Tentara Keamanan Rakyat pada tanggal 2 Oktober 1945.[23]
Penutup
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa Rahmah El-Yunusiyyah ialah seorang tokoh pelopor pendidikan muslimah di indonesia dengan uraian sebagai berikut;
Pertama, Pendidikan di Minangkabau secara khusus dan pendidikan islam secara umum, bukanlah pendidikan yang diskriminatif terhadap kaum perempuan sebagaimana terjadi di Tanah Jawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya sekolah-sekolah yang berkualitas bagi kaum laki-laki atau wanita dengan kesempatan yang sama. Rahmah el-Yunusiyyah ialah termasuk salah satu wanita yang berkesempatan mendapatkan pendidikan dari ulama-ulama terbaik pada masanya walaupun ia hanya sebentar mengecap pendidikan formal.
Kedua, cita-cita Rahmah untuk mendirikan sekolah khusus untuk kalangan muslimah adalah untuk membentuk kepribadian muslimah yang mandiri baik sebagai ibu ataupun tokoh di masyarakatnya. Pendidikan seperti ini tidak akan berhasil tanpa mengkhususkan kalangan muslimah saja, karena ada pelajaran dan skill tersendiri yang harus dimiliki oleh mereka. Dengan itu, Rahmah menjadi pelopor dalam pendidikan muslimah di Minagkabau dan Indonesia. Bahkan model pendidikannya di adopsi oleh Al-Azhar University untuk membuat Kulliyyah Lil-banat di Al-Azhar.
Ketiga, Bagi Rahmah pendidikan agama ialah yang paling utama dalam pembentukkan karakter anak didiknya. Ia lebih memilih untuk memperbanyak pelajaran agama daripada aktivitas politik pada anak didiknya karena agama akan mengarahkan seseorang kearah kebaikan sebagai apapun ia. Dengan sikapnya ini, ia akhirnya berselisih paham dengan Rasuna Said.
Keempat, Rahmah ialah seorang pendidik yang memiliki jiwa patriotisme tinggi, terbukti bahwa kontribusinya terhadap negara tidaklah kecil dan ia menerima segala konsekuensi yang harus ia hadapi dengan keyakinannya itu.
Perjuangan, pengorbanan dan segala kontribusi yang Rahmah berikan terhadap bangsa indonesia secara umum dan kaum wanita secara khusus, seharusnya layak membuat namanya disandingkan dengan pahlawan-pahlawan wanita lainnya seperti Cut Nyak Dien, R. A. Kartini dan lainnya. Kontribusi Rahmah terhadap pendidikan, terutama pendidikan kaum muslimah seharusnya menjadi bahan kajian bagi sekolah-sekolah islam dan pakar pendidikan supaya mendapatkan formula yang tepat dalam mendidik anak-anak bangsa terutama bagi kaum muslimah. Walahu ‘alam bishowab.

Disadur dari makalah penulis dengan judul yang sama dalam Mata Kuliah; Kapita Selecta Pendidikan Islam di Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun, Magister Pendidikan dan Pemikiran Islam

MUI dan Organisasi Islam Sepakat Awal Puasa pada 9 Juli 2013

Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama dengan Organisasi Islam menggelar pertemuan untuk membahas penetapan awal Ramadhan 1434 Hijriyah.
Disepakati, awal bulan puasa atau 1 Ramadan 1434 Hijriyah jatuh pada 9 Juli 2013. Penetapan itu sesuai dengan suara mayoritas dalam menentukan hari pertama umat Islam berpuasa.
Demikian dikatakan Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan di Kantor MUI, Jakarta Pusat, Kamis (13/6). Keputusan MUI bersama organisasi Islam lain itu. Keputusan ini serempak dengan penetapan Pengurus Pusat Muhammadiyah yang juga sudah menetapkan bahwa awal puasa jatuh pada tanggal 9 Juli 2013.
Namun, cara menentukannya berbeda. Ada yang melakukan hitungan hisab atau rukyat, Ada pula yang melihat bulan baru alias hilal.
Amirsyah berharap tak ada kelompok yang memiliki penetapan berbeda. Karena, penetapan MUI itu sesuai dengan kesepakatan suara mayoritas organisasi Islam. Ia pun berharap pemerintah segera mengumumkan penetapan tersebut.

Semoga keseragaman penetapan awal puasa oleh MUI dan Muhammadiyah ini menjadi angin segar bagi umat Islam yang tidak lama lagi akan menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/06/13/35163/mui-dan-organisasi-islam-sepakat-awal-puasa-pada-9-juli-2013/#ixzz2YQUf4I00
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Perbanyak Sedekah

Written By Unknown on Kamis, 04 Juli 2013 | 13.30



DEMI mengisi bulan yang penuh rahmat ini, salah satu hal yang diajarkan Rasulullah SAW adalah memperbanyak sedekah. Memberikan harta terbaik yang kita miliki untuk dirasakan juga oleh mereka yang kurang beruntung. Sehingga, terciptalah rasa toleransi serta berbagi nasib dan penderitaan.

Hal ini sungguh telah Rasulullah SAW contohkan kepada umatnya. Ramadan merupakan momen yang tepat untuk memperbanyak sedekah atau berbagi kepada sesama.

Dari Ibnu Abbas RA berkata, “Rasulullah SAW adalah manusia yang paling dermawan. Saat di mana beliau paling suka berderma adalah pada bulan Ramadan saat beliau sering bertemu Jibril. Jibril kerap datang menemui Beliau pada setiap malam di bulan Ramadan untuk mengajari Alquran. Sungguh Rasulullah SAW saat sering bertemu Jibril adalah manusia yang paling suka berderma bahkan bisa mengalahkan angin yang bertiup kencang.” (Muttafaqun Alaihi).

Rasulullah SAW adalah manusia yang paling mengerti akan kebenaran dan balasan-Nya. Beliau adalah manusia yang amat percaya dengan janji Allah SWT atas ganjaran kebaikan. Sebab pahala dan kebaikan adalah rahasia langit yang dijanjikan dan hingga kini belum dapat diindera oleh ummat manusia.

Karenanya, Rasulullah SAW hanya mencontohkannya dan beliaulah sebaik-baik contoh yang pernah ada.

Rasulullah SAW bersedekah begitu sering bahkan mengalahkan angin yang bertiup kencang. Ini berarti bahwa tangan Beliau begitu ringan untuk membantu sesama.

Tidak ada jeda waktu yang diperlukan untuk memenuhi permintaan orang yang kekurangan. Beliau hanya berharap balasan Allah SWT yang berlipat ganda.

Manusia pada hakikatnya gemar dengan harta. Banyak sekali manusia yang terobsesi untuk mendapatkanya, meski ia tahu bahwa harta tak akan memberinya kebahagiaan dan kecukupan.

Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (QS. 92:11)

Bila manusia sudah menyadari hakikat harta yang binasa, semestinya ia berpikir untuk mentransformasikan harta yang ia miliki sehingga dapat dijadikan modal untuk mengarungi hidup di akhirat. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak sedekah.

Untuk apa harta banyak digunakan kalau hanya habis karena dimakan. Maka gunakanlah harta yang Allah berikan secukupnya, dan selebihnya habiskanlah dengan bersedekah.

Dengan sedekah, harta yang tadinya hanya akan habis kita gunakan atau makan, maka akan menjadi pahala yang besar di sisi Allah SWT hingga berlipat ganda dan akan ditemukan kembali sebagai kebaikan di akhirat. Apalagi bila hal itu dilakukan dalam Ramadan. Setiap amal manusia dilipatgandakan.

Perbanyaklah sedekah di jalan Allah SWT dan hiasilah Ramadan kali ini dengan sedekah.

Konsep Ilmu dalam Islam

Written By Unknown on Rabu, 03 Juli 2013 | 10.11

Abstrak
Ilmu sebagaimana akan kita uraikan nanti, merupakan system pemaknaan akan realitas dan kebenaran, bersumber pada wahyu yang didukung oleh rasio dan intuisi. Dengan proses nadzar dan fikr, rasio akan dapat berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, membuat analogi, membuat keputusan, serta menarik kesimpulan. Dalam worldview Islam, ilmu berkaitan erat dengan iman, ‘aql, qalb, dan taqwah. Tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi ilmu juga merupakan suatu metodologi. Dimana metodologi yang haq tentu tidak akan bertentangan dengan yang haq. Namun seiring berjalannya waktu, hegemoni dan kolonialisme menyebabkan umat Islam cenderung meniru dan mengadopsi konsep ilmu pengetahuan Barat secara buta. Sikap ini tentu saja menyebabkan kebingungan (confusition) yang berlanjut pada hilangnya identitas. Maka, upaya menggali dan mengembangkan konsep ilmu dalam al-Qur`an dapat dijadikan landasan bagi upaya merumuskan kerangka integrasi ilmu pengetahuan yang genuine.

A. Prolog
Ilmu dan derivasinya muncul berulang kali dalam al-Quran dan menempati posisi kedua setelah kata tauhid. Dalam shahih Bukhari, bab ilmu (kitab al-`ilm) disandingkan dengan bab iman (Kitab al-iman). Hal ini menunjukkan betapa konsep terpenting dan komprehensif yang terkandung dalam al-Qur`an dan as-Sunnah adalah ilmu (`ilm) setelah iman. Signifikansi ini dapat dilihat dari fakta lima ayat pertama yang diturunkan dalam al-Qur`an, serta puluhan hadith nabi yang menegaskan wajibnya mencari ilmu. Senada dengan hal ini, Franz Rosental mengungkapkan bahwa di dalam Islam ilmu menempati posisi yang tidak ada padanannya dalam peradaban atau agama lain.

Namun seiring berjalannya waktu, hegemoni dan kolonialisme menyebabkan umat Islam cenderung meniru dan mengadopsi konsep ilmu pengetahuan Barat secara buta. Kecenderungan sikap imitative ini menyebabkan kebingungan (confusition) yang berlanjut pada hilangnya identitas. Dengan demikian, upaya membangkitkan kembali konsep ilmu dalam Islam, urgen dan krusial. Tentu saja dengan menggali dan mengembangkan konsep ilmu dalam al-Qur`an dapat dijadikan landasan bagi upaya merumuskan kerangka integrasi ilmu pengetahuan yang genuine.

Berangkat dari pemikiran ini, makalah ini mencoba mendeskripsikan konsep ilmu dalam Islam sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Berikut akan dikemukakan defenisi ilmu, ilmu dan kaitannya dengan pandangan hidup (worldview) , sumber, metode, klasifikasi dan tujuan memperoleh ilmu dalam Islam.

B. Defenisi Ilmu
Secara etimologis, kata `ilmu berasal dari bahasa Arab al-`ilm yang berarti mengetahui hakekat sesuatu dengan sebenar-benarnya. Badr al-Din al-‘Aini mendefinisikan, bahwa ilmu secara bahasa merupakan bentuk masdar dari pecahan kata kerja ‘alima yang berarti tahu; meskipun demikian, tambahnya, kata ilmu berbeda dengan kata ma’rifah. Kata ma’rifah memiliki makna yang lebih sempit dan spesifik, sementara ilmu mempunyai makna yang lebih umum.

Tidak sedikit upaya yang telah dilakukan para pemikir Muslim terdahulu untuk mendefinisikan kata ilmu. berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli teolog dan ahli hukum, filsuf dan linguists. Yang pertama menurut al-Raghip al-Ishfahani (443/1060). Dalam Mufradat Alfaz al-Qur’annya, ilmu didefinisikan sebagai "Persepsi akan realitas sesuatu" (al-ilmu idrak al-shay’ bi-haqiqatihi) Ini berarti bahwa hanya memahami kualitas (misalnya bentuk, ukuran, berat, volume, warna, dan properti lainnya) dari suatu hal bukan merupakan ilmu. Definisi ini didasari pandangan filosofis bahwa setiap substansi terdiri dari esensi dan eksistensi. Esensi adalah sesuatu yang menjadikan sesuatu itu, sesuatu itu akan tetap dan sama sebelum, selama, maupun setelah perubahan. Artinya, ilmu adalah semua yang berkenaan dengan realitas abadi itu.

Definisi kedua diajukan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 505/1111) yang menggambarkan ilmu sebagai “pengetahuan akan sesuatu sebagaimana adanya” (ma‘rifat al-shay’ ‘ala mahuwa bihi) : Pada definisi ini, untuk mengetahui sesuatu adalah dengan mengenali sesuatu sebagaimana ia. Artinya, ilmu adalah pengakuan, merupakan keadaan pikiran-yaitu, suatu kondisi dimana sebuah objek tidak lagi asing bagi seseorang sejak objek itu diakui oleh pikiran seseorang. Pemaknaan ini tentu tidak seperti istilah idrak (digunakan dalam definisi al-Ishfahani) yang tidak hanya menyiratkan aktivitas olah fikir atau perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, tetapi juga menunjukkan bahwa pengetahuan datang ke dalam pikiran seseorang dari luar, dalam definisi Imam al-Ghazali istilah ma'rifah menyiratkan fakta bahwa ilmu selalu merupakan jenis penemuan makna pada diri subjek akan suatu objek. Pada pemaknaan ini; firasat, dugaan, ilusi, halusinasi, mitos, dan sejenisnya tidak bisa dikatakan sebagai ilmu.

Definisi lain ditawarkan oleh pemikir yang dikenal sebagai ahli logika Atsir al-Din al-Abhari (d. 663/1264). Ilmu, ia tegaskan adalah sampainya gambar maupun abstraksi dari suatu hal dalam akal subjek (حصول صورة الشيئ في العقل) . Konon definisi ini berasal dari Ibnu Sina (w. 428/1037) pemaknaan ini menjelaskan bahwa upaya mengetahui suatu objek adalah membentuk ide tentang objek tersebut, untuk memiliki gambar hal ini diwakili dalam pikiran. Dengan kata lain, upaya mengetahui adalah konseptualisasi. Pengetahuan adalah representasi atau konsepsi dari hal yang dikenal.

Al-Sharif Al-Jurjani (w. 816/1413) dalam at-Ta’rifatnya mendefinisikan ilmu sebagai sampainya pikiran pada makna dari suatu objek. Definisi al-Jurjani dan definisi yang dikemukakan Ibnu Sina dan al-Abhari selanjutnya dipadukan oleh Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam monografnya yang berjudul The Concept of Education in Islam. Menurut al-Attas, definisi terbaik atas ilmu adalah 'sampainya makna dalam jiwa serta sampainya jiwa pada makna' العلم هو حصول معني الشيئ في النفس و حصول النفس إلي معني الشيئ)) Satu hal yang jelas dalam definisi ini; ilmu adalah tentang makna. Objek apapun, fakta maupun suatu peristiwa dikatakan diketahui seseorang jika bermakna baginya. Dengan demikian, dalam proses kognisi, pikiran tidak sekedar penerima pasif, tetapi ia aktif dalam arti mempersiapkan diri untuk menerima apa yang ia ingin terima (mengolah dan menyeleksi makna yang diterima secara sadar).
Dari sekian defenisi yang dikemukan, tampak bahwa sebenarnya untuk mendefinisikan ilmu bukanlah hal yang mudah. Definisi ilmu telah jadi bahan perdebatan yang melibatkan tidak sedikit dari pemikir Muslim. Namun fakta tersebut mengukuhkan betapa dalam peradaban Islam, ilmu mendapat perhatian yang tiada bandingannya dalam peradaban lain.

C. Ilmu dan Pandangan Hidup (worldview)
Setiap masyarakat dalam kehidupannya senantiasa dipenuhi oleh nilai-nilai, aturan-aturan, dan sistem kepercayaan yang mampu membentuk pola berfikir dan berperilaku para anggotanya. Dalam kehidupan sosial, biasanya seperangkat nilai, aturan, dan kepercayaan itu akan teralirkan dari satu generasi ke generasi melalui suatu proses sosialisasi yang pada akhirnya membentuk suatu tradisi di tengah masyarakat. Itu sebabnya, sebagai suatu konsep sosio-logis, tradisi biasa diartikan meliputi worldview yang terkait dengan nilai-nilai, aturan-aturan, sistem kepercayaan, dan pola berfikir masyarakat dalam keseluruhan tata cara hidupnya.

Masyarakat muslim adalah suatu kelompok masyarakat yang dikenal memiliki akar-akar tradisi yang kokoh, karena Islam yang mereka peluk menjadi bagian dari mata rantai sistem kepercayaan universal yang telah ada -mungkin- ratusan abad sebelumnya, sejak masa Nabi Adam. Pandangan ini didasarkan pada penegasan berbagai surat di dalam al-Qur’an, bahwa para nabi dan rasul terdahulu mewariskan paham Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid) kepada umatnya masing-masing sebagaimana Nabi Muhammad mengajarkannya pada umat Islam. Kokohnya akar tradisi ini juga dikarenakan al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang Islam agar menjadikan tawhid sebagai titik temu ‘kalimah sawa’ dan pandangan hidup bersama di antara sesama agama samawi. Dengan kata lain, Tuhan menegaskan kepada umat Islam agar terus menghidupkan tauhid itu sebagai akar-akar tradisinya, yang menjadi sumber nilai, aturan, norma, dan landasan kepercayaan hidup di berbagai fase sejarah dan dalam sistuasi sosio-kultural apapun.
Berangkat dari makna ilmu sebagaimana didefinisikan oleh al-Attas, jelas bahwa dalam worldview Islam ilmu berkaitan erat dengan iman, ‘aql, qalb, dan taqwah. Ilmu tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi juga merupakan suatu metodologi. Dimana metodologi yang haq tentu tidak akan bertentangan dengan yang haq.

D. Sumber Ilmu dan Metode Memperoleh Ilmu
Sumber ilmu adalah bahasan fundamental dalam bahasan epistemology. Dari mana kita mendapatkan pengetahuan? Adakah suatu sumber ilmu? Dalam hal ini, tidak sedikit ditemukan ayat-ayat dalam al-Quran yang mengisyaratkan bahwa realitas (tampak maupun tidak ) bisa menjadi sumber ilmu. Walau dalam kedudukannya, realitas sebagai sumber ilmu berada setelah Allah dan wahyu. Dalam surat al-ghasiyah misalnya, terdapat isyarat bahwa realitas fisik, jika diteliti akan menyampaikan informasi yang bisa dikembangkan jadi sebuah ilmu bagi penelitinya. Atau dengan kata lain, ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa dalam proses pencapaian ilmu dibutuhkan proses penalaran yang melibatkan rasio. Senada dengan hal ini, Imam al-Bazdawiy menyatakan (cara manusia mengetahui sesuatu itu) ada tiga; Perspektif indera, reportase (khabar) dan Pembuktian (akal/rasio).

Al-Attas menyatakan ilmu dapat diperoleh melalui empat jalan. (1), Panca indera yang sehat (sound senses). Panca indera kemudian dibagi menjadi dua, yakni eksternal dan internal. (2), Khabar yang benar dan otoritatif (authoritative true reports). Di sini, khabar tersebut di bagi menjadi dua, yakni mutlak (absolute authority) yang meliputi otoritas ketuhanan yang berasal dari Al-Qur’an dan otoritas kenabian yang berasal dari Rasulullah. Sedangkan yang nisbi (relative authority) meliputi kesepakatan ulama dan khabar dari orang terpercaya secara umum. (3) Akal yang sehat (sound reason). (4), Ilham (intuition).

Dengan demikian ilmu dari Allah yang sampai pada manusia melalui empat jalan di atas, ditanggapi oleh akal sebagai realitas ruhani dalam kalbu manusia sekaligus yang mengendalikan proses kognitif manusia. Melalui kalbu, jiwa rasional (an-nafsu an-natiqah) bisa membedakan antara kebenaran (al-haq) dari kesalahan (al-bathil). Akal dalam arti kata ratio atau reason tidak berlawanan dengan intuisi (wijdan). Artinya, dalam hal ini, akal dan intuisi saling berkaitan dan bersatu melalui intelek (intellect).

E. Klasifikasi Ilmu
Berangkat dari keterbatasan potensi yang dimiliki rasio. Dalam proses pencariannya dibutuhkan pembatasan-pembatasan yang berkaitan dengan ilmu itu sendiri. Pembatasan-pembatasan ini kita sebut sebagai klasifikasi ilmu. Pengklasifikasin ini bisa berdasarkan sifat absoluditasnya ilmu, objek yang diteliti, metode ilmu itu dihasilkan ataupun subjek dari objek ilmu itu sendiri. Menurut Imam al-Baqillani ilmu makhluk (yakni pengetahuan manusia) itu ada dua jenis; Pengetahuan yang bersifat pasti dan pengetahuan yang diperoleh melalui nalar akal. Pengetahuan yang bersifat pasti itu adalah pengetahuan inderawi, pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan pengetahuan khabar/laporan mutawatir lebih lanjut Imam Ibnu Jawziy mengklasifikasikan ilmu dalam tiga macam. Ilmu pasti yang diperoleh secara a prioriy atau intuitif maupun secara diskursif, Ilmu yang didapat melalui panca indera, dan Ilmu yang diperoleh lewat berita, secara mutawatir maupun perorangan.

Abu Hamid Al-Ghazali membagi ilmu menjadi empat sistem klasifikasi yang berbeda: pertama, berdasarkan pembedaan antara intelek teoretis dan intelek praktis, yang umumnya diterapkan pada ilmu-ilmu agama, bukan filosofis. Kedua, pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan huduri dan pengetahuan husuli yang didasarkan atas perbedaan tentang cara-cara mengetahui. Pengetahuan huduri terbebas dari kesalahan dan keraguan, yang memberikan kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran spiritual. Ketiga, pembagian atas ilmu-ilmu agama (syari`ah) dan intelektual (`aqli,yah, gayr al-syari`ah), yang didasarkan atas pembedaan sumber wahyu dan sumber akal. Keempat, pembagian ilmu-¬ilmu menjadi fardlu ain dan fardlu kifayah, didasarkan atas perbedaan hukum keharusan dalam pencarian ilmu.

“Ilmu nonagama” masih bisa diklasifikasikan kepada ilmu yang terpuji (mahmud), dibolehkan (mubah) dan tercela (madzmum). Sebagai contoh: ilmu sejarah bisa dikategorikan ilmu mubah; sihir dikategorikan “ilmu” tercela. Ilmu-ilmu terpuji, yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, bisa dikategorikan wajib kifayah. Misalnya; Ilmu tentang obat, matematika, politik dan kerajinan-kerajin¬an yang diperlukan oleh masyarakat.

Al-Ghazali mengklasifikasikan "ilmu agama" dalam dua kelompok: terpuji (mahmud) dan tercela (madzmum). Yang dimaksud dengan "ilmu agama tercela" adalah ilmu yang tampaknya diarahkan kepada syariah, tapi nyatanya menyimpang dari ajaran-ajarannya. Sedangkan "ilmu agama terpuji" dan dikategorikan wajib kifayah, dibagi dalam empat kelompok: pertama; Ilmu Ushul (dasar-dasar; yaitu: Al-Quran, Al-Sunnah, ijma' atau konsensus dan tradisi [kebiasaan] para sahabat Nabi). Kedua; Furu`(masalah-masalah sekunder atau cabang; yaitu: masalah-masalah fiqih, etika, dan pengalaman mistik. Ketiga; Studi-studi pengantar (qaidah, sharaf, bahasa Arab, dan lain¬-lain). Keempat; Studi-studi pelengkap (membaca dan menerjemahkan Al-¬Quran, mempelajari prinsip-prinsip fiqih, `ilm al--rijal atau penyelidikan biografi para perawi hadis-hadis, dan lain-¬lain). Dalam hal ini, Al-Ghazali memandang ilmu yang tercakup di dalam empat ke-lompok di atas sebagai wajib kifayah.

Konsep klasifikasi ilmu yang telah dikemukakan baik oleh Imam al-Baqillani, Ibnu Jawziy maupun al-Ghazali diatas dapat dinilai sebagai pendapat yang saling menguatkan dan melengkapi. Kesemua pandangan tersebut sangat erat kaitannya dengan pandangan hidup Islam (worldview Islam), dan sejalan dengan epistemologi Islam. Ini tentu secara tegas berbeda dengan Barat, yang tidak melibatkan Tuhan dalam kelahiran, proses dan arah pengembangan ilmunya. Ilmu yang dikonsepsikan insan bertauhidy tentunya akan melahirkan hasil maupun karya yang sejalan dengan fitrahnya sebagai manusia. Sebagai contoh; peneliti biologi yang bertauhidi tentunya tidak akan membenarkan teori evolusi sebagaimana dirumuskan oleh Darwin. Dan satu hal terpenting, berbeda dengan peradaban lain, dalam Islam memperoleh Ilmu adalah upaya sesempurna mungkin untuk memanfaatkan potensi diri. Hal tersebut dilakukan demi mendapatkan derajat yang tinggi dihadapan Sang Khaliq.

F. Epilog
Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan betapa Islam sebagai peradaban sangat menaruh perhatian besar pada ilmu. Baik pemaknaan, sumber dan klasifikasinya diwarnai oleh pandangan akan hadirnya Tuhan dalam setiap proses kehidupan manusia. Ilmu sebagaimana diuraikan diatas merupakan system pemaknaan akan realitas dan kebenaran, bersumber pada wahyu yang didukung oleh rasio dan intuisi. Olah rasio tersebut meliputi nalar (nadzar) dan alur fikir (fikr). Dengan proses tersebut akal akan dapat berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, membuat analogi, membuat keputusan, serta menarik kesimpulan. Sebagai instrumen penuntun manusia, ilmu memungkinkan manusia untuk mengetahui (‘ilm), mengenal (ma‘rifah), memilih (ikhtiyar), memilah (tafriq), membedakan (tamyiz), menilai dan menentukan (hukm) atas segala sesuatu. Wa Allah al-Hadi Ila al-Shawab.


Daftar Pustaka
A. Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Islamabad, 1970)
Abd al-Rahman Badawi, Mu’allafat al-Ghazali (Kuwait: Wakalat al-Matbu‘at, 1977).
Abdul Hamid Rajih al-Kurdi, Nazariah al-ma`rifah bain al-Qur`an wa al-Falsafah, Riyadh, Makrabah Muayyad wa al-Ma`had al-`Ali li al-Fikr al-Islami, al-Mamlakah al-`Arabiyah al-Su`udiyah
Abi ‘Abdillah al-Bukhari. Sahih Bukhari. Hadits ke 77
Al-Isfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, ed. Safwan ‘A. Dawudi (Damascus: Dar al-Qalam, 1412/1992)
Dr Syamsuddin Arif, Defining and Mapping Knowledge In Islam, dalam makalah yang disampaikan pada seminar Pascasarjana di ISID
Fazlurrahman, Major Thems of The Qur`an, Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994,
Franz Rosental, Knowledge Triumphat: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, Leiden: E.J.Brill, 1970
Imam al-Ghazali, Freedom and Fulfillment: An Annotated Translation of al-Munqidz min al-dhalal and Other Relevant Works of al-Ghazali, terj. R.J. McCarthy, Boston, 1980
Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1420/1999), Jilid I
Imam Fakhruddin Ar-Razi, Muhashal Al-Afkar Al-Mutaqaddimin wa Al-Mutaakhirin, Al-Mathba’ah Al-Husayniyyah, Kairo
Majma` al-Lughah al-Arabiyah, Mu`jam al-Wasith, Istanbul: Dar al-Da`wah, 1990 Badr al-Dîn al-‘Aini. ‘Umdah al-Qârî. Juz 2, (Bairut: Dar al-Fikr). Tth.
Maulana Muhammad Ali, A Manual of Hadith, London: Curzon, 1977
Mehdi Goslani, The Holy Qur`an and Science of Nature, Teheran; Islamic Propagation organization, 1984
Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, cetakan pertama, Gema Insani Press, Jakarta: 2008
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, A Commentary on The Hujjat Al-Siddiq of Nur Al-Din Al-Raniri, The Ministry of Culture, Malaysia: 1986, h. 31.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995)
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for An Islamic Philosophy of Education, ISTAC, Kuala Lumpur: 1991, h. 14.
Wan Muhammad Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam: its Implications for Education In Developing Country
Yasien Mohammed, The Path to Virtue (Kuala Lumpur: ISTAC, 2006).

Pengunjung

Rekening Donasi



 
Copyright © 2012. Website Resmi MTs Muhammadiyah Sungai Batang - All Rights Reserved
Jl Lingkar Maninjau Km 5.5 Muaro Pauah Nagari Sungai Batang
Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam 26472
Support : Ranah Maninjau
Created by MPS